Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Perasaan yang Samar
Fajar menyelinap perlahan di sela dinding gua, menyiramkan cahaya keemasan pada batu-batu lembab dan dedaunan liar. Asap terakhir dari sisa api unggun semalam mengepul tipis, membawa aroma hangat kayu dan abu.
Sion perlahan membuka mata—dan segera membeku.
Di sampingnya, kepala Sissel bersandar di lengannya. Tangan mereka—saling menggenggam, seolah mencari kehangatan dalam tidur. Nafas Sissel lembut dan teratur, mata tertutup damai. Tapi yang paling membuatnya kaget adalah kedekatan tubuh mereka. Jubah Sissel sebagian menyelimuti dirinya, sementara jubah Sion terlipat setengah di bawah punggung wanita itu.
Detik itu juga, Sion langsung menarik diri, dengan gerakan panik namun tetap hati-hati agar tidak membangunkannya.
Terlambat.
Sissel mengerjapkan mata. Kesadarannya datang perlahan, tapi cukup untuk membuat wajahnya memerah ketika menyadari posisi mereka.
“A-apa… yang…,” gumamnya sembari buru-buru duduk, menyibakkan rambut merahnya yang kusut ke belakang telinga.
“Aku… aku tidak bermaksud…,” ujar Sion gugup.
“Kau pikir aku yang sengaja memelukmu?” balas Sissel tajam, tapi wajahnya memerah seketika. Ia cepat-cepat berdiri, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Beberapa detik hening.
Sion berdehem, mencoba memecah suasana. “Sudahlah. Lebih baik kita harus bersiap melanjutkan perjalanan.”
Mereka mulai merapikan barang, tapi tiba-tiba Sissel berseru, “Makananku … mana makananku … makananku hilang semua!”
Sion menoleh. Ia memeriksa buntalannya. Hal yang sama terjadi padanya. “Punyaku juga.”
Mereka mencari seisi gua, tapi hasilnya sama. Semua makanan lenyap, hanya sisa air dan pakaian yang masih utuh.
Sissel mendengus kesal. “Siapa yang tega mencuri makanan pagi-pagi begini?”
“Mungkin ada elf yang kelaparan,” tebak Sion.
Sissel memandangnya sejenak, lalu menarik napas. “Hah … kalau kelaparan, kenapa mencuri makanan dari pengembara miskin seperti kita? Bagaimana kita punya tenaga untuk melanjutkan perjalanan tanpa makan?” gerutunya.
Sion menatap aliran sungai kecil yang mengalir tak jauh dari mulut gua. Airnya bening dan dingin, memantulkan cahaya pagi seperti kaca cair.
“Kau cuci muka saja dulu,” katanya. “Atau mandi sekalian. Airnya segar. Aku akan mencari ikan.”
Sissel memutar bola matanya. “Aku tidak tahan lapar. Jangan terlalu lama.” Ia membawa sehelai kain dan beranjak ke arah sungai bagian atas.
Sion tersenyum kecil, lalu berjalan ke arah sungai bawah yang lebih tersembunyi, di balik semak berbunga dan akar pohon yang menjuntai.
Begitu ia tiba di tepian batu datar, ia duduk, melepas sepatu dan jubah luarnya. Air menyentuh telapak kakinya seperti bisikan dingin yang mengundang. Dengan gerakan tenang, ia melepas rambut palsunya yang hitam kusam. Rambut putihnya mengembang, berkilau halus bagai serat perak yang disentuh sinar pagi.
Pelan-pelan, ia melangkah ke dalam air, hingga setengah tubuhnya terendam.
Saat kulitnya basah oleh sungai, ramuan penyamar yang ia oleskan sejak malam lalu mulai larut, hanyut bersama riak air yang bergerak lembut.
Dan… tubuh Sion mulai berubah.
Aura suci yang selama ini ia sembunyikan menyala perlahan. Kulitnya memantulkan kilau samar seperti cahaya bintang yang jatuh ke bumi. Wajah yang selalu tersembunyi di balik bayangan dan kotoran pekerja kini tampak jelas, indah bercahaya.
Ia bukan lagi pekerja perkebunan.
Ia adalah Revalant, darah kerajaan yang hilang, berdiri sendirian di sungai kecil dengan cahaya yang tidak bisa disembunyikan lagi.
Sion merunduk, menyibak air, dan dengan satu gerakan cepat, tangannya menangkap seekor ikan yang berenang ke arah bebatuan. Lalu satu lagi. Ia melemparkannya ke daratan, membiarkan ikan-ikan itu menggeliat di atas rumput basah.
Setelah tiga ekor, ia merasa cukup. Ia menarik napas panjang, menatap bayangannya sendiri yang terpantul di air.
“Ini bukan waktunya,” bisiknya lirih. “Belum…”
Ia berjalan pelan ke tepi sungai lalu mengenakan pakaiannya. Dibawanya ikan-ikan itu ke dekat gua. Ia hendak mengoleskan ramuan lagi ke tubuhnya sebelum Sissel kembali.
Namun—bungkusan itu…
Kosong.
Ia membuka kain penyimpanannya dengan cepat, mengguncangnya. Tak ada botol ramuan. Tak ada sisa cairan penyamar.
Matanya membelalak.
“Tidak mungkin...”
Panik mulai menjalari nadinya. Kalau Sissel kembali dan melihatnya seperti ini...
Suaranya tercekat. “Ramuan itu... mungkin dicuri juga.”
Ia menoleh ke segala arah. Tidak boleh ada yang melihatnya. Ia berlari ke hutan. Menjauh dari sungai dan dari arah Sissel.
Tak lama kemudian, Sissel kembali dari sungai bagian atas. Rambutnya masih basah, namun wajahnya tampak segar. Ia bersenandung kecil, membawa handuk yang tergulung dan baju ganti yang kini sudah kering karena dijemur di batu hangat.
Namun, tak ada Sion di sekitar gua.
Yang ada hanya… ikan-ikan.
Tiga ekor, masih hidup, menggeliat di atas rumput.
Sissel meletakkan barangnya, menatap ikan-ikan itu dengan bingung. “Apa-apaan ini?” gumamnya.
Ia melihat sekeliling. “Sion?”
Tidak ada jawaban.
Ia menatap ikan-ikan itu dengan jengkel. “Jadi, kau pikir aku bisa sarapan dengan ikan mentah?”
Ia mendengus, mengambil salah satu ikan dengan dua jari, memegangnya jauh dari tubuhnya seperti memegang benda kotor.
Sissel menghela napas panjang.
Setelah memeriksa sekitar dan memastikan Sion tak juga kembali, ia akhirnya menyerah. Ia mengumpulkan ranting kering dari sekitar gua, menumpuknya di atas batu datar, lalu menyulut api dengan batu gesek yang diselipkan Sion ke dalam tas cadangannya kemarin.
Nyala kecil itu tumbuh pelan, meliuk seperti nyanyian pagi yang lelah.
Ia menusuk ikan-ikan yang ditinggalkan ke ranting panjang, memanggangnya satu per satu di atas bara. Bau daging yang terbakar perlahan menguar, menciptakan aroma yang seharusnya mengundang selera—tapi baginya, hanya membuat perutnya makin kesal.
“Dia bahkan tidak membantu menyalakan api…,” gerutunya pelan, “Kalau memang ingin berbagi perjalanan, seharusnya tahu diri.”
Matanya sesekali melirik ke arah hutan.
Sepuluh menit. Dua puluh. Hampir satu jam.
Tak ada tanda-tanda Sion.
Api mulai padam. Ikan-ikan sudah matang—garing di luar, masih lembap di dalam. Ia meniupnya sebentar, lalu menggigit satu ujungnya.
Namun, saat ia mengunyah, sesuatu mengganjal.
Bukan rasa, tapi perasaan. Ada kekesalan yang menggumpal, perlahan tumbuh menjadi ketakutan. Apa Sion… kabur? Atau lebih buruk lagi, dibunuh oleh elf yang mencuri bekal mereka?
Hatinya mulai disesaki dugaan.
Lalu… suara dedaunan.
Langkah tergesa.
Sissel segera berdiri, tubuhnya menegang.
Dan dari balik semak, muncullah Sion—bernapas terengah, rambut sedikit kusut, jubahnya terlumuri noda tanah dan rempah liar.
“Kau… ke mana saja?” suara Sissel tajam, penuh tuntutan.
Sion berhenti sejenak, matanya membaca ekspresi wanita itu. Ia tahu tak bisa berkata sembarangan. Lalu ia tersenyum kecil, berusaha terlihat santai.
“Aku kira melihat sesuatu tadi,” katanya. “Ada elf yang tampaknya mencurigakan. Aku pikir… dia yang mencuri bekal kita.”
Sissel menyipitkan mata. “Kau mengejar pencuri sendirian? Tanpa memberitahuku?”
Sion mengangkat bahu. “Aku tak ingin kau ikut terseret. Lagi pula, aku tak yakin. Hanya bayangan. Tapi aku harus pastikan.”
Ia tidak berbohong sepenuhnya—ia memang masuk hutan, tapi bukan untuk mengejar siapa pun. Ia mencari ramuan penyamar. Menggali tanah, mencabuti daun-daun tertentu yang menurut ingatannya akan membantu menutupi aura tubuhnya. Setetes pun ramuan asli tak ia temukan. Ia takut terlalu lama berada di dekat Sissel dengan kondisi aslinya.
Sissel menghela napas kasar. “Kau tahu betapa khawatirnya aku?”
Sion menunduk. “Maaf.”
Hening.
Lalu Sissel menunjuk ikan panggang di batu datar. “Sudah matang. Meski tanpa bumbu. Kau akan memakannya juga, bukan?”
Sion tersenyum. “Tentu.”
Ia duduk di atas batu datar, mengambil satu ikan dan menggigitnya pelan. Tak ada rasa gurih. Tapi rasa damainya… cukup kuat.
Sissel ikut duduk. Ia tak melanjutkan kemarahannya. Sebaliknya, ia memandangi Sion diam-diam, memperhatikan napasnya, tatapan matanya, dan… ada sesuatu yang berbeda. Tapi ia tak tahu apa.
“Mungkin hanya karena aku kesal,” batinnya. “Atau… karena aku sedikit khawatir.”
Mereka makan dalam diam. Di sela celah-celah sunyi, hanya terdengar kicau burung dan gemericik air dari sungai di kejauhan.