Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 23.
Sudah dua hari Anindya tidak berkunjung ke rumah. Oma pun jadi gelisah. Terlebih katanya telepon tidak diangkat dan pesan yang Oma kirimkan hanya dibalas singkat. Oma mendesak Malik untuk berkunjung ke sebelah. Barangkali Anindya sedang sakit atau tertimpa musibah. Tapi Malik menolak. Dia meyakinkan Oma bahwa Anindya hanya butuh waktu sendiri--untuk merenungi segala hal yang sudah terjadi.
Akan tetapi, menjelang maghrib ini, Malik malah jadi ikut kepikiran. Di saat dirinya sudah rapi dan wangi sehabis mandi, lalu siap bekerja sampai subuh nanti, Malik malah melamun cukup lama di balkon kamar. Memandang jauh ke balkon rumah sebelah. Tempat Anindya biasanya menjemur kepala bersama Caca sebelum memulai aksi merecoki dirinya sejak masih pagi-pagi sekali.
Mungkin karena sudah terbiasa diganggu, Malik jadi merasa ada yang kurang. Hidupnya terasa kembali damai dan tentram tanpa gangguan. Harusnya dia senang. Bukan malah merasa kehilangan.
Karena lubang kehampaan di dadanya perlahan semakin melebar, Malik pun pergi menemui Oma. Dia setuju untuk mengecek keadaan Anindya di rumahnya. Tapi dia butuh alasan. Yang logis. Agar kedatangannya tidak terkesan sekadar untuk bertemu Anindya. Agar gadis itu tidak besar kepala.
"Bilang aja Yudhis yang belikan." Oma menyodorkan satu paper bag warna putih. Isinya beragam camilan sehat. Mulai dari buah-buahan dan sayuran kering, biskuit rendah lemak rendah gula, sampai snack bar rendah kalori.
"Kenapa harus bilang Yudhis yang beli?" tanya Malik bingung. Karena semuanya dia yang beli di market place. Harus pre-order selama sembilan hari.
Oma tersenyum tipis. "Karena Oma tahu kamu gengsi kalau harus bilang ini semuanya pemberian kamu."
Oh, tepat sasaran sekali. Memang sulit menemukan seseorang yang mengerti Malik lebih baik daripada omanya sendiri.
"Terus alasannya apa Yudhis kasih ke Anin?"
"Nggak ada alasan. Bilang aja Yudhis beli pas lagi business trip ke Malang. Lagi jalan-jalan, terus keinget Anin. Beli deh," celoteh Oma.
Gagasan itu kedengarannya tidak menyenangkan di telinga Malik. Bagaimana kalau Anindya jadi terkesan pada perhatian Yudhis (yang padahal Yudhis tidak melakukan apa-apa)? Bagaimana kalau gadis ingusan itu malah salah paham dan kegeeran mengira Yudhis menyukainya? Malik sih bodo amat kalau Yudhis masih jomblo. Ini kan Yudhis sudah punya tunangan. Masa dia akan membiarkan calon istrinya jadi perusak hubungan orang.
Alah Malik, bilang aja cemburu...
Malik toleh kanan-kiri. Suara siapa itu barusan yang berkelibat di sekitar telinganya? Bisikan setan kan? Rayuan iblis? Atau tipu daya alien yang ingin mengambil alih kendali atas bumi?
"Nggak mau. Malik nggak akan ikutin saran Oma," tolaknya seraya mengambil alih paper bag dari tangan Oma.
"Kenapa?"
"Malik nggak mau bohong. Dosa."
Kalaulah ini orang lain, jawaban Malik akan masuk akal dan langsung dilupakan setelahnya. Tapi karena ini adalah Oma yang sudah paham betul tabiat cucunya, wanita itu malah tersenyum geli.
Sebenarnya Oma ingin menggoda Malik lebih jauh. Tapi urung karena takut Malik akan pundung lalu tidak jadi pergi ke rumah Anindya. Jadinya Oma hanya mengangguk seraya berkata, "Ya udah iya, sana pergi. Titip salam dari Oma. Bilang Oma kangen mau ngeteh bareng lagi."
"Iya." Malik langsung balik badan gerak jalan. Telinganya mulai terasa panas. Malik yakin warnanya sudah perlahan berubah semerah kepiting rebus.
Malik berkejaran dengan waktu. Mempertimbangkan sampai di rumah Anindya sebelum matahari sepenuhnya hilang agar tidak mengganggu acara makan malam. Begitu tiba di depan pintu, ia langsung menarik handle dan melesak keluar secepat embusan angin.
Hanya untuk berhenti di teras dan terbengong.
Anindya berdiri di halaman rumahnya bersama Caca. Si anjing menjulurkan lidah dan tampak tersenyum, sedangkan Anindya sendiri tampak canggung. Satu tangannya garuk-garuk leher (Malik yakin bukan karena gatal belum mandi, karena sore ini Anindya tampak cantik dengan rambut ditata rapi), sementara satu tangannya lagi menenteng kotak makan warna pink.
"Wooofff!" Caca si baik hati dan pengertian, mengajukan diri memecah es kebisuan. Sehabis itu, dia berlari meninggalkan Anindya sendirian. Bersemangat menghampiri Malik.
"Wooofff! Wooofff!"
Sampai detik ini pun, Malik belum belajar bahasa anjing. Jadi dia hanya say hi sebentar pada Caca dengan mengusap puncak kepalanya beberapa kali. Setelahnya dia melanjutkan langkah. Mendekat ke arah Anindya. Karena tak tahu apa-apa sebabnya, gadis itu malah diam saja di tempat. Seperti sengaja ingin jual mahal supaya Malik yang datang kepadanya.
"Ini."
"Ini."
Tidak dikomando. Real no fake, fake. Bukan setingan. Bukan sulap bukan sihir. Malik dan Anindya bicara bersamaan, seraya menyodorkan bawaan masing-masing.
Malik mengamati kotak makan pink, Anindya juga menyoroti paper bag putih milik Malik.
"Buat Anin?"
Malik kembali fokus. Dia mengangguk. "Isinya camilan sehat. Saya beli banyak," ucapnya.
Anindya ragu-ragu menerima paper bag itu. Soalnya Malik juga tak kunjung menyambut kotak makan pink miliknya.
"Yang ini isinya apa? Buat saya atau Oma?"
"Rendang. Buat Mas Malik." Setelah menyerahkan kotak makan pink ke tangan Malik, barulah Anindya mengambil paper bag dan menyimpannya di samping tubuh.
"Makasih."
"Iya, sama-sama."
Terus hening. Dua-duanya diam salah tingkah. Ada banyak topik obrolan yang bisa dibawa ke permukaan. Namun keduanya sama-sama blank. Efek ketegangan yang terjadi terakhir kali.
Di ambang krisis, Caca lagi-lagi jadi penyelamat. Lagaknya mirip wasit saja dia berdiri di tengah-tengah Malik dan Anindya. Kepalanya menoleh bergantian. Seperti sedang bilang, ayo ngobrol, jangan diem-dieman kayak orang asing.
Kalau biasanya Anindya yang cerewet mampus dan Malik terlampau pasif, kali ini keadaannya berbalik. Malik lebih dulu buku suara. Menanyakan apakah keadaan baik-baik saja dan apa yang Anindya lakukan selagi tidak berkunjung ke rumahnya. Tak lupa memasukkan nama Oma sebagai alasan utama.
"Oh itu ... Anin lagi sibuk belajar masak sama Mama."
Malik mengernyit. "Belajar masak?"
Anindya mengangguk malu-malu. Seperti sebuah kebiasaan, tangannya lagi-lagi menggaruk leher. "Omongan Mas Malik bikin Anin sadar beberapa hal," ungkapnya. "Selama ini Anin hidup terlalu nyaman. Mama sama Papa nggak pernah maksa Anin buat lakuin apa pun. Semuanya serba ada, serba disiapkan. Saking nyamannya, sampai masak mi instan aja Anin nggak bisa. Padahal itu kan basic life skill yang semua orang harus punya."
Untuk pertama kalinya, Malik menemukan sisi lain dari gadis kekanakan yang gemar mengganggunya ini. Maka Malik tidak menyela. Dia memberikan waktu lebih banyak agar Anin bisa mengungkapkan semua yang dipikirkannya.
"Selama ini Anin terbuai sama kasih sayang Mama dan Papa. Sebagai anak tunggal, Anin terbiasa dapetin apa pun yang Anin mau dengan mudah. Makanya, pas Papa tiba-tiba minta Anin buat menikah, Anin marah besar. Anin mikir, Papa kan nggak pernah nuntut apa pun, tapi kok sekarang tiba-tiba berubah?" Anin menjeda ceritanya. Pandangannya mulai berlari ke tempat lain. Terkahir mendarat di kepala Caca.
"Karena nggak mau merasa dituntut, Anin akhirnya cari jalan keluar sendiri. Anin nggak mau hidup Anin diatur oleh Papa, makanya ngide cari solusi sendiri."
"Dan akhirnya sekongkol sama Oma?" tebak Malik.
Anindya mengangkat kepalanya dan tersenyum kikuk.
"Kenapa kamu pikir itu bisa jadi sebuah solusi?" tanya Malik penasaran. Ia ingin tahu bagaimana otak Anindya bekerja waktu itu, sampai bisa mengambil sebuah keputusan yang akan mengubah seluruh alur hidupnya.
"Karena nggak penting dengan siapa Anin menikah, asalkan itu atas kemauan Anin sendiri."
Malik menaikkan sebelah alisnya, masih tidak mengerti.
"Kalau Anin bisa menentukan sendiri dengan siapa Anin menikah, Anin merasa masih punya kendali atas hidup Anin sendiri. Sedangkan kalau ikutin Papa...."
"Kamu merasa terjajah?"
Anindya mengangguk semangat.
"Tapi kamu jadi menjajah hidup saya."
Air muka Anindya langsung berubah murung. Dia kembali menunduk. Tali paper bag dia genggam erat-erat.
Melihat itu, Malik mengulurkan tangannya, menaikkan dagu Anindya agar tatapan mereka bisa kembali bertemu. "Kamu harus tanggung jawab," katanya.
Anindya tidak tahu harus menjawab apa. Karena tiba-tiba Malik mendekat. Membuat wajah mereka hanya terpisah jarak yang tak berarti. Ia refleks memejamkan mata. Sambil menerka apa gerangan yang akan terjadi.
Aduh... Bisiknya di dalam hati.
Semakin lama, deru napas Malik semakin terasa dekat. Anindya ingin membuka mata, atau setidaknya melakukan sesuatu untuk meredakan gejolak hebat di dalam dada.
Tapi sebelum sempat melakukan apa pun, Malik sudah lebih dulu...
Bersambung.....
Hayooo ngapain hayooo... bubar, bubar...