Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 35.
Ternyata Malik memang pergi cukup lama. Anindya sampai sudah menghabiskan dua film sendirian. Mau tidur duluan rasanya ogah. Lebih baik melihat dulu Malik masuk kamar, tidur, lalu Anindya ikutan tidur dengan damai di sisinya.
Ketika Anindya hampir memutar film yang ketiga, barulah terdengar suara pintu dibuka. Dia yang tadinya rebahan santai, cepat-cepat bangun.
Benar saja, Malik muncul dari sana. Tapi air mukanya terlihat campur aduk tidak keruan. Tidak sedih, tapi juga tidak terlihat senang. Membuat Anindya bingung dan bertanya-tanya, suaminya itu habis bertemu siapa di lounge? Membicarakan apa sampai ekspresi wajahnya jadi begitu?
"Mas Ma--"
Belum juga kelar bibirnya bicara, Malik sudah nyamber duluan. Bukan pakai omongan, tapi pakai tangan.
Anindya refleks menjauhkan kepala, takut tiba-tiba ditoyor atau ditabok oleh Malik. Sambil berpikir, sekiranya habis berbuat salah apa yang bisa membuat Malik menganiaya dirinya.
Tapi bukannya ditoyor atau ditabok, Anindya malah dibuat terheran-heran karena Malik ngusap kepalanya lembut, berkali-kali.
Oh... Kesambet setan baik. Pikirnya.
"Good girl," kata Malik.
Anindya jelas semakin bingung. Malik juga malah ikutan duduk di tepi ranjang. Bibirnya tersenyum pula, matanya juga menatap begitu dalam.
"Mas Malik," Anindya takut-takut menjauhkan kepalanya lagi. Melihat Malik kalem kok rasanya malah creepy. "Kenapa? Sakit?"
Malik tidak mendengus. Tidak mendengus, pemirsa. Padahal biasanya gampang sekali berubah jadi reog, hanya dengan diusili sedikit.
"Saya habis ketemu Papa."
Anindya menarik mundur tubuhnya sampai punggungnya mentok di headboard. Selimut ditarik sampai menutup pinggang. "Terus?"
"Tadinya saya mau ngomongin soal kehamilan palsu kamu."
Dia mengerjap pelan, agak lama baru bisa connect.
"Oh...." gumamnya pelan. "Mas Malik habis dengar penjelasan dari Papa, ya?"
Malik mengangguk. "Good job," pujinya lagi.
Anindya jadi besar kepala mendengar pujian itu. Dia senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Tapi tidak selesai sampai di situ. Muncullah ide jahilnya lagi. Akhir-akhir ini, dia senang melihat telinga Malik merah karena salah tingkah. Semacam hiburan tersendiri untuknya yang sedang berusaha upgrade diri.
Dengan tampang usil, dia memajukan wajah, pupil matanya melebar antusias. "Anin good girl, kan?" pancingnya.
Malik masih belum curiga. Malah mengangguk sambil tersenyum manis. Manis sekali. Seperti teh yang habis ketumpahan gula sekilo.
"Karena Anin udah jadi good girl, Mas Malik nggak mau kasih hadiah?"
"Boleh." Malik menjawab tanpa pikir panjang. Menurut dia, tidak ada salahnya memberikan apresiasi untuk tindakan Anindya kali ini.
"Beneran boleh?"
Malik mengangguk.
"Mas Malik bakal kasih?"
Malik mengangguk lagi, sama sekali belum menaruh curiga. Kewaspadaannya yang biasa tinggi itu, kini hilang entah ke mana rimbanya. "Bilang aja."
Makin-makin besar kepala Anindya. Dia cengar-cengir lalu berkata, "Kiss," sambil bibirnya monyong-monyong dan kepalanya makin maju mendekat ke wajah Malik.
Malik yang awalnya bangga, sekarang jadi sebal mampus dengan kelakuan istri bocilnya. Tidak pakai ba-bi-bu, Malik mengulurkan tangan, meraup muka Anin sambil didorong ke belakang.
Anindya ngomel-ngomel, berontak, tapi Malik ogah melepaskan tangannya dari muka Anindya. Sampai-sampai Anindya dibuat terjungkal ke kasur, lalu Malik buru-buru bangun dan menjauh.
Malik balik kanan siap kabur. Begitu sampai pintu, Anindya berteriak, "Mas Malik mau ke mana? Hadiah Anin belum dikasih!"
Malik menyahut, "Mau buka kamar. Saya ogah tidur sama orang mesum!" Kemudian lari terbirit-birit.
Anindya di belakang tertawa terbahak-bahak sampai guling-guling di kasur, senang kali rupanya sudah berhasil mengerjai suaminya lagi.
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Malik tidak betulan pesan kamar lagi. Dia memutuskan nongkrong sendirian di lobby. Mainan ponsel, membaca berita, tapi kepalanya malah makin pening. Sebab isi beritanya tidak ada yang benar. Pembunuhan lah, korupsi lah, sengketa lahan lah, pembunuhan gajah di taman konservasi lah. Tidak ada satu pun berita baik. Seolah dunia ini memang sudah mau kiamat saja.
Dua setengah jam Malik di lobby. Dari yang awalnya ada beberapa orang, sekarang tinggal dia sendiri. Dia melirik jam, sudah hampir setengah 2 pagi. Dia berpikir, Anindya sudah beneran tidur atau belum. Karena kalau belum, Malik malas, nanti Anindya meledek dia terus. Kalau dipikir-pikir, istrinya itu tengil juga. Berani sekali menjahili Malik begitu. Kalau diladeni, apa masih akan tengil juga?
Masalahnya, Malik juga ogah meladeni. Takut kebablasan.
Malik coba tunggu sekitar 15 menit lagi, setelahnya ia memutuskan kembali ke kamar. Di lift, Malik sendirian. Siapa pula yang mau keluyuran di jam setengah dua pagi.
Selama di lift, Malik memandangi refleksi dirinya. Tapi yang muncul bukanlah keadaan dia saat ini (pakaian santai, kaus dan celana pendek) melainkan potret dirinya saat pemberkatan nikah di gereja sore tadi. Jas, dasi kupu-kupu, celana bahan. Di sampingnya, Anindya memegang lengannya erat. Senyumnya lebar dari balik veil. Malik ikut tersenyum, tapi kemudian merenung. Setengah tidak percaya dia bisa menikahi anak orang. Terlebih baru kenal, belum cinta, belum pula tahu mau dibawa ke mana pernikahan mereka.
Saat pintu lift terbuka, Malik menghela napas panjang. Dia keluar dari lift, langkahnya berat. Rasanya seperti mau putar balik, tapi dia pun tidak tahu harus ke mana. Tidak mungkin juga mengetuk pintu kamar Oma. Dia tidak ingin mengganggu istirahat neneknya.
Sampai di depan kamar, Malik berhenti dan berpikir lagi agak lama. Kartu hotel sudah di tangan, tinggal ditempel, tapi Malik malah mematung seperti baterai di punggungnya habis dicabut. Lalu, dia menghela napas lagi, setelahnya baru menempelkan kartu di pintu. Pintu terbuka, Malik mendorongnya perlahan.
Dari celah yang baru terbuka setengah, Malik mengintip keadaan Anindya. Istrinya itu meringkuk memunggungi pintu. Selimutnya hanya membalut sampai perut. Dari alunan napasnya yang teratur, Malik yakin Anindya sudah tidur nyenyak.
Dia menutup pintu pelan-pelan, meletakkan kartu di slot, kemudian melangkah hati-hati agar tidak membangunkan Anindya. Dia letakkan pula dompet dan ponsel di meja sebelah kasur, lalu naik cimit-cimit, mengendap-endap seperti maling. Pelan-pelan sekali Malik masuk ke dalam selimut dan merebahkan tubuhnya terlentang.
Malik melirik sekali lagi ke arah Anindya. Istrinya masih anteng. Dia menghela napas lega.
Kedua tangan Malik teratur di atas perut. Matanya terpejam, mencoba untuk tidur. Tarik napas, buang. Tarik napas, buang. Tarik napas, buang. Dia lakukan itu berulang-ulang. Biasanya efektif untuk membantu terlelap.
Lumayan berhasil memang. Malik mulai setengah lelap. Nyawanya sudah mulai melayang meninggalkan tubuh. Tapi, belum sepenuhnya tidur, nyawa Malik tertarik lagi masuk ke tubuh.
Penyebabnya adalah Anindya. Istrinya itu mendadak bergerak. Tidak hanya berganti posisi tidur biasa, Anindya balik badan dan langsung memeluk erat lengan Malik dengan kedua tangannya.
Jantung Malik rasanya seperti dipaksa berhenti berdetak. Dia sampai menahan napas saking kagetnya. Takut-takut melirik Anindya. Kepala gadis itu menempel sekali di bahunya, membuat Malik susah gerak, karena takut akan mengganggu tidur Anindya.
Malik deg-degan parah. Pikirannya mendadak semrawut. Dia tidak bisa berpikir jernih. Tidak mengerti harus bagaimana. Apalagi Anindya tidak bisa diam. Terus mendusal, seperti anak kucing yang sedang mencari kehangatan dari tubuh induknya.
Selagi Malik gelisah, Anindya justru diam-diam tersenyum bangga. Dia tidak betulan tidur. Sengaja menguatkan matanya supaya tidak terpejam, hanya untuk menunggu Malik kembali dan curi kesempatan.
Dalam tidur pura-puranya itu, Anindya bersorak gembira di dalam hati. Sambil memunculkan bayangan wajah Malik yang malu-malu dan telinganya yang merah lucu.
Bersambung...