Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.
Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.
Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.
Mulai saat itu, dunianya pun berubah.
(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Kemarin aku menanda tangani sebuah surat kontrak. Juga diberitahu aturan apa saja yang harus dipatuhi.
Tidak boleh merokok, minum-minuman keras, memakai obat-obatan terlarang. Pergi ke klub malam atau diskotek.
Hm ... perasaan semua aturan tadi berlaku selama menjadi anak di bawah umur deh.
Selain itu, masih ada satu aturan lagi yang membuatku geleng-geleng kepala.
Dilarang menjalin hubungan dengan lawan jenis dalam bentuk apapun.
Aturan yang bisa saja lebih berat daripada aturan-aturan lain. Mengingat hubungan dengan lawan jenis adalah hal yang wajar.
Entah itu yang belia sampai yang berumur pun masih tetap eksis. Adik kelas temanku saja sudah berpacaran dari kelas 3 SD. Bahkan aku menjadi anggota dari grup ini pun didorong oleh masalah dalam hubungan itu.
Tunggu sebentar! Kalau begini, bagaimana cara agar aku bisa menolaknya kalau berpacaran saja tidak boleh? Bagaimana caraku untuk balas dendam?
Duh, sepertinya aku harus mencari cara lain. Terlepas dari itu, yang penting aku harus menjadi idol yang menarik terlebih dahulu.
Aku diberi arahan oleh miss Myeong. Jujur aku menahan ketawa saat mendengar panggilan yang disematkan orang-orang. Seolah mendengar kata "meong", yang mana menurutku imut dan lucu. Bertolak belakang oleh si pemilik nama yang berwibawa dan tegas.
Arahannya adalah untuk jadwal pertama kami para generasi ketiga. Hanya ada latihan, latihan dan latihan.
Ya, hanya ada latihan saja.
Karena itu, aku telah memiliki porsi latihan harian. Menjadikan latihan adalah hal yang wajib bagi idol.
Di sela sesi latihan yang panjang, aku yang sedang beristirahat, melihat segerombolan orang melewati kami. Kudengar kalau Flow ada konser hari ini.
Mereka melewati ruang latihan, lurus ke ruangan lain.
"Mereka itu mau kemana?" Tanyaku penasaran.
"Kemana?" Tanya Viola heran.
"Iya, di ujung sana emang ada apa?"
"Hah? Kamu kan yang paling sering ke sini, masa enggak tau?"
"Aku enggak pernah lihat-lihat."
"Hah? Serius?"
Aku hanya mengangguk pelan.
"Astaga Kirana."
Aku hanya tersenyum ironis.
"Di sana itu ruang make up."
"Oh, di sana. Kita boleh kesana enggak?"
"Boleh dong, kamu lupa, kita sudah jadi bagian dari mereka?"
"Iya juga ya."
"Kalau mau ke sana, tinggal ke sana aja, Ran."
Apa hanya aku yang baru tahu kalau itu adalah ruang make up? Karena aku tidak pernah berias, jadi aku benar-benar tidak tahu ada ruangan seperti itu. Apa mungkin hanya aku yang kudet?
Aku berdiri. Rasa penasaranku tak terbendung lagi. Langkah segera menyeretku ke sana.
Aku melewati sebuah pintu yang tertutup. Tak jauh di depan terlihat pintu yang terbuka dan suara gema samar terdengar.
Aku yakin ruangan itu yang dimaksud ruang make up.
Langkahku terus berlanjut. Sampai di depan pintu. Kukendurkan langkah. Mengelukan kepala.
Mataku termanjakan oleh kilapan cahaya lampu yang lebih ramai ketimbang ruangan lain. Meja rias tersusun rapi, warna-warni produk kecantikan berbaris di atasnya.
Jujur aku belum pernah berdandan seumur hidup. Bahkan, aku benci yang namanya dandan. Aku pernah mencoba pakai bedak, hanya bertahan beberapa detik, langsung kuhapus.
Rasanya risih. Harus sering memantau bedak tiap kali ada kesempatan, ketika melakukan aktivitas yang berpotensi mengundang keringat.
Belum lagi, kalau terhapus, harus memperbaruinya, kalau tidak, wajah akan belang. Apalagi kalau kulitnya seperti punyaku.
Aku ingin masuk, tapi entah mengapa kakiku serasa di lem. Ruangan ini adalah ruangan di mana para gadis biasa yang masuk, ketika keluar berubah menjadi sosok yang berbeda. Menjadi gadis sempurna yang merupakan sosok ideal bagi umat manusia.
Image cantik, lucu, imut, dan manis dibentuk bersamaan dengan penampilan. Ditambah dengan pakaian yang menyempurnakan keindahan mereka. Dengan begitu, ruangan ini adalah ruang penyucian.
"Hei, lu!"
Aku yang terlalu fokus memperhatikan, terkejut mendengar suara yang sepertinya ditujukan padaku.
Seseorang wanita muncul dihadapan. Menatap dalam bola mataku.
"Lu anggota 'kan?" Tanyanya.
Aku mundur satu langkah, diikuti anggukan kecil. Rasanya tak nyaman kalau tiba-tiba ditatap sinis seperti itu.
"Ya ampun, burik amat."
Sudah berapa lama ya aku tidak mendengar kata itu?
"Lu pernah ngaca kagak sih? Wajah kusam, berminyak, bibir pucat, kulit gosong begitu. Lu kagak perawat hah?"
Kupandangi wanita itu dari kepala hingga kaki. Wanita berambut pendek berwarna biru mengkilat.
Tingginya melebihiku dengan wajah yang mulus. Terlihat dari guratan wajahnya kalau ia telah berumur. Tak henti-hentinya memicingkan mata.
Aku menggeleng cepat.
"Aduh lu ini, harusnya enggak begini." Ucapnya geram.
Langkahnya mendekat dengan cepat. Mendadak menyambar lenganku.
"Sini, ikut gue!" perintahnya sembari menarik lenganku.
Aku yang masih kelimpungan, tak mempunyai kalimat penolakan.
Aku diseret ke sebuah kursi kosong. Didudukkan di hadapan meja rias dengan seisi produk kecantikan yang beraneka ragam.
Wanita itu mengambil beberapa krim, menatap wajahku intens. Tak hanya menatap, kini jempolnya menyentuh pipiku lembut. Menggesernya sampai ke dagu. Ia mengangguk-angguk sendiri.
Tangannya menyodorkan empat buah krim dengan kemasan berbeda warna.
"Ini lu pakai, kalo yang dua ini, pagi sama malam. Kalo yang ini, lu pakai tiap mau keluar rumah. Ingat, jangan sampai lupa!"
"Ini saya bawa pulang, Bu?"
"Ya iyalah! Greget gue lihat cewek kurang perawatan kaya lu."
Kuangkat sebuah krim. Kubaca beberapa kalimat yang tertulis di sana.
"Oh iya, satu lagi, jangan potong tuh rambut. Panjangin, entar gue yang atur gayanya."
"Tapi ...."
Tanpa sempat mengeluarkan pembelaan, wanita itu menyela, "Enggak ada tapi-tapi!"
Wanita itu pun berjalan meninggalkanku. Namun, baru beberapa langkah, ia berbalik.
"Satu lagi, jangan panggil gue ibu, panggil gue kakak, ok?"
Aku yakin wanita eksentrik tadi tak layak dipanggil kakak, tapi, ya sudahlah. Daripada aku diomeli lagi, akan kuturuti semua kata-katanya.
...----------------...
Aku bertanya siapa sebenarnya wanita nyentrik kemarin. Sosok itu adalah Bu Desi—tepatnya Kak Desi—, penata rias girls group ini. Pantas saja ia gregetan melihatku yang memang tak peduli dengan penampilan.
Sebenarnya aku sudah punya feeling kalau beliau adalah orang penting di sini. Maka dari itu, meski kemarin aku belum tahu siapa beliau, aku tetap mencoba mengikuti sarannya.
Sudah kupakai beberapa kali sih, yah walaupun terkadang lupa. Selain itu, sarannya soal rambut, juga kupertimbangkan.
Jujur saja, aku orang yang malas merawat rambut. Bayangkan saja, semua kegiatanku hanya ada latihan dan latihan. Kalau latihan, sudah pasti berkeringat. Kalau berkeringat, rambut akan mudah lepek.
Rambut pendek saja sudah risih, apalagi rambut panjang? Betapa ribetnya mengurus rambut itu.
Belum lagi, kalau panjang, perawatannya juga merepotkan. Membayangkannya saja sudah cukup membuatku lelah. Aku yang sudah terbiasa berambut pendek, pasti akan merasa keberatan. Tapi, tetap akan kucoba.
Meski sudah berjalan sebulan, aku masih tetap latihan. Tujuh lagu sudah kukuasai. Beberapa masih menghafal gerakan. Semuanya adalah lagu yang pernah dibawakan oleh para senior.
Jujur aku kurang jago dalam menghafal. Maka dari itu, aku tidak menghafalnya dengan mengingat keseluruhan gerakan dalam otak, tapi menanamkan gerakannya ke anggota tubuh.
Karena alasan itu, bahkan ketika pelajaran pun, tangan atau kakiku bergerak kecil sementara kepalaku memutar lagunya agar tubuhku dapat cepat mengingatnya.
Bel istirahat berkicau, seperti biasa, waktu itu kugunakan untuk bercengkrama dengan teman-teman di kelas sembari menikmati makanan ringan.
"Eh Ran, kok lu makin glowing aja ya?" Celetuk Ratna.
"Masa sih?" Citra pun memandang ke arahku lekat-lekat, "eh iya lho. Kok bisa sih, Ran? Kasih tau rahasianya dong!"
"Mungkin ini gara-gara kenalan gue. Tapi serius, gue enggak tahu mereknya, gue ikut saran dia doang."
"Dih, pelit."
"Tau nih, parah."
Mau bagaimana lagi? Aku sendiri saja tidak tahu apa yang kupakai.
"Eh tau enggak sih, kalo Farrel bikin band?" celetuknya.
Ah datang juga. Topik yang paling kubenci.
Benar deh. Manusia itu makhluk yang rumit. Ada kalanya, kemarin cinta, sekarang benci. Dengan mudahnya perasaan itu berubah arus. Bahkan, yang dulunya kupuja, sekarang mendengar kabar tentangnya pun muak.
Hanya karena beberapa kalimat. Semuanya berubah.
"Katanya lagi, dia mau tampil pas 17-an nanti."
"Oh pas penutupan ya?"
"Iya sih, tiap tahun selalu ada penampilan siswa gitu."
Aku tak menimpali sedikitpun.
"Eh lu masih ngincer Farrel ya?" Tanya Ratna padaku.
"Begitulah." Jawabku cepat.
"Serius lu? Enggak kapok?"
"Enggak, makanya gue berubah pelan-pelan."
Maaf, aku berbohong. Orang bodoh macam apa yang setelah ditolak seperti itu, masih mengincarnya?
"Kalo gitu, gue semangatin lu deh."
"Pokoknya kita dukung."
"Makasih ya."
Aku sedikit terharu dengan kebaikan mereka. Mereka memang teman yang baik.
Sebenarnya aku tidak peduli dengan dia dan bandnya. Aku justru tertarik dengan perayaan di dalamnya.
17-an adalah acara tahunan yang seru. Dimana berbagai lomba diadakan. Terlebib class meeting. Di mana perlombaan antar kelas berlangsung. Tentu saja aku ingin ikut bermain voli setelah tahun kemarin kalah di final.
Lalu perayaan itu akan ditutup dengan penampilan para siswa. Mungkin saja Farrel mengincar acara ini untuk tampil.
Sebentar-sebentar ...
Mendadak kepalaku disusupi sebuah ide cemerlang.
Oh benar juga. Aku juga siswa, aku juga bisa tampil dong?
Kalau begitu, kenapa tidak sekalian saja?