Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Sore mulai meremang saat Karan menghentikan motornya di depan rumah Puri.
“Makasih ya, Mas, udah nemenin hari ini,” ucap Puri sambil tersenyum kecil.
Karan membalas senyumnya, lalu membelai kepala Puri lembut.
“Aku yang makasih. Kamu udah mau jalan sama aku, meski pikiranmu lagi campur aduk.”
“Mas hati-hati ya di jalan,” ujar Puri sambil membuka pagar.
“Aku pulang dulu. Nanti kabarin kalau udah di dalam, ya,” kata Karan, lalu melajukan motornya perlahan sambil melambaikan tangan.
Puri menghela napas lega, tapi begitu membuka pintu rumah, senyumnya langsung menghilang.
Di ruang tamu, Om Sasongko adik Mama dan Tante Mamik tengah duduk sambil menyeruput teh. Mama duduk di sisi lain dengan ekspresi datar.
“Puri,” panggil Om Sasongko dengan nada berat.
“Dari mana saja kamu?”
Puri menelan ludah, merasa jantungnya langsung berdetak lebih cepat.
“Tadi… jalan sebentar, Om.”
“Jalan? Sama siapa?” tanya Tante Mamik ikut menyelidik.
Puri berdiri di depan mereka, berusaha tegar.
“Sama... Mas Karan.”
Om Sasongko saling pandang dengan Tante Mamik, lalu menatap Mama yang hanya diam.
“Kamu tahu Mama kamu khawatir? Sudah semalam kamu menginap di luar, sekarang pulang makin sore,” ujar Om Sasongko.
“Dan sekarang kamu bilang jalan-jalan sama laki-laki?”
Puri tertunduk. “Maaf, Om…”
Mama akhirnya angkat bicara. “Puri, masuk ke kamar. Nanti Mama bicara sama kamu.”
Puri menatap mamanya sejenak, kemudian berjalan menuju kamar.
Tapi langkahnya terasa berat, seolah membawa beban penyesalan dan ketakutan akan apa yang akan datang.
Setelah suasana di rumah agak tenang, Om Sasongko mengajak Puri keluar membeli makanan.
“Yuk, temenin Om beli nasi goreng buat makan malam. Tante kamu pengin yang di ujung gang itu,” katanya sambil mengambil kunci motor.
Puri mengangguk pelan dan mengikuti Om Sasongko ke motor.
Mereka melaju dalam keheningan beberapa menit, sampai akhirnya Om membuka suara.
“Pur, Om tahu kamu udah dewasa. Om nggak marah soal kamu jalan bareng Karan.”
Puri menoleh, sedikit terkejut.
“Tapi sebentar lagi kamu ujian praktik, dan skripsi kamu belum kelar, kan?”
Puri mengangguk pelan.
“Kurangi dulu keluar-keluar sama… Yana itu,” lanjut Om.
Puri langsung mengoreksi, “Karan, Om. Bukan Yana.”
Om tertawa kecil. “Ya, itu maksud Om. Maaf, Om kadang salah nama.”
Suasana jadi agak cair. Tapi nada suara Om tetap serius saat melanjutkan, “Om bukan nggak suka kamu punya teman dekat. Tapi kamu tahu kan, dunia kerja nanti nggak mudah. Gelar sarjana itu bukan cuma buat dibanggain… tapi fondasi hidup kamu ke depan.”
Puri menunduk, mendengarkan dengan saksama.
“Om percaya kamu anak baik. Fokus dulu ya. Selesaikan skripsimu dengan sungguh-sungguh. Kalau cowok itu serius, dia pasti ngerti dan dukung kamu,” kata Om sambil menepuk pundaknya lembut.
Puri tersenyum kecil, merasa tersentuh. “Makasih, Om. Puri janji akan lebih fokus.”
Om tersenyum lega. “Nah, gitu dong. Ayo, nasi gorengnya udah deket. Jangan sampai kelamaan, nanti Tante Mamik ngambek.”
Malam mulai larut. Mama baru saja selesai merapikan meja makan dan hendak masuk ke kamar.
Puri berdiri di ambang pintu, ragu sejenak sebelum akhirnya bersuara pelan.
“Ma…”
Mama menoleh. “Ya, Pur?”
Puri menunduk, suaranya bergetar. “Puri minta maaf… udah bikin Mama kecewa.”
Mama menatap anaknya lekat-lekat.
“Aku janji, Ma… Puri bakal fokus kuliah, menyelesaikan skripsi. Puri nggak mau sia-siakan semua perjuangan Mama selama ini.”
Mama terdiam sebentar, lalu melangkah mendekat. Dengan lembut, ia menyentuh pipi Puri dan mengecup keningnya hangat.
“Mama nggak marah, Nak. Mama cuma khawatir,” ucap Mama lembut.
“Mama nggak mau masa depan kamu hancur seketika cuma karena kamu terlalu larut dalam perasaan.”
Puri menahan air matanya yang mulai menggenang.
“Kamu pacaran boleh,” lanjut Mama, “tapi harus ada batas. Harus ada prioritas. Kalau orang itu sayang sama kamu, dia pasti ngerti dan bantu kamu jaga fokus.”
Puri mengangguk cepat. “Iya, Ma. Terima kasih sudah tetap percaya sama Puri.”
Mama tersenyum, lalu menepuk pundaknya pelan.
“Sekarang istirahat, ya. Besok mulai lagi semuanya dengan niat yang baru.”
Keesokan harinya, Puri mengenakan jas lab dan memasuki ruang ujian praktik dengan napas panjang. Ia menatap alat-alat di depannya dan berkata dalam hati, "Kamu bisa, Pur."
Beberapa jam berlalu, ujian berjalan lancar. Meski ada beberapa bagian yang membuatnya gugup, Puri berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Begitu keluar dari ruang ujian, ia tersenyum lega. Di ponselnya, ada pesan dari Karan:
[Semangat terus ya, Sayang. Aku yakin kamu luar biasa!”]
Puri membalas cepat, [Sudah selesai, Mas. Alhamdulillah lancar.]
Sore harinya, Puri mengetuk pintu ruang kerja Om Sasongko di rumah.
“Masuk,” suara Om terdengar dari dalam.
Puri masuk sambil membawa lembaran nilai ujian praktik. “Om, nilai ujian Puri sudah keluar.”
Om Sasongko mengambil kertas itu, menatap angkanya, lalu tersenyum puas. “Wah, ini baru keponakan Om.”
Puri tersipu malu.
“Tapi ingat ya, Pur,” lanjut Om dengan nada serius tapi hangat. “Jangan lengah. Fokus sampai semuanya selesai. Ujian akhir dan skripsi itu medan sesungguhnya.”
“Iya, Om. Puri sudah mulai buat kerangka skripsinya juga tadi pagi,” jawab Puri semangat.
Om mengangguk puas. “Bagus. Kalau ada yang kamu nggak ngerti, tanya Om atau dosen pembimbing. Jangan jalan sendiri.”
“Siap, Om!”
Puri keluar dari ruangan itu dengan hati yang lebih ringan, merasa percaya diri untuk menuntaskan semua perjuangannya.
Saat Puri keluar dari ruang Om Sasongko dan berjalan ke halaman, ia terkejut melihat sosok Yudha berdiri di dekat pagar rumah. Tangan Yudha menyembunyikan sesuatu di balik jaketnya.
“Yudha?” sapa Puri, masih sedikit bingung.
Yudha mendekat, lalu tersenyum tipis. “Selamat ya, Pur. Dengar-dengar ujian praktik kamu lancar.”
Puri tersenyum malu, “Iya, alhamdulillah. Makasih ya…”
Yudha mengeluarkan sebungkus kecil dari balik jaketnya—sebatang coklat favorit Puri, yang dulu sering dia berikan saat mereka masih dekat.
“Ini... coklat kesukaan kamu. Nggak banyak, cuma hadiah kecil. Kamu pantas dapat lebih dari ini.”
Puri menerima coklat itu pelan, hatinya berdesir.
“Yud, makasih... Kamu masih inget aja.”
Yudha tertawa kecil, tapi ada kesedihan yang terselip di matanya.
“Susah lupa, kalau tentang kamu.”
Hening sesaat. Puri memandang Yudha dengan campuran haru dan rasa bersalah.
“Sekarang kamu fokus aja ya. Selesaikan semua. Aku cuma... pengin lihat kamu sukses,” ujar Yudha sambil menatap langit sejenak.
“Yud…” Puri ingin berkata sesuatu, tapi Yudha langsung tersenyum dan mengangkat tangan.
“Udah, aku pergi dulu. Jaga dirimu ya, Pur.”
Dan sebelum Puri sempat menahan, Yudha sudah melangkah pergi dan meninggalkan jejak kenangan yang belum sepenuhnya hilang.