NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6

Hari-hari berlalu tanpa terasa, berganti dari kemarin menjadi hari ini. Setelah keributan terakhirnya dengan Adam di kantor, Jovita sempat berpikir gosip dan omongan orang akan perlahan mereda. Tapi kenyataannya tidak. Justru muncul kabar baru yang jauh lebih menjengkelkan.

Entah siapa yang memulainya, tapi isinya sungguh kejam: katanya alasan Jovita masih bertahan di perusahaan itu karena ia belum bisa move on dari Adam. Lebih parah lagi, ada yang bilang prototipe proyek yang ia buat sebenarnya bukan miliknya, melainkan milik Arum, dan Jovita sengaja menyebarkan kabar palsu bahwa Arum lah yang menjiplak idenya.

Kabar itu sampai ke telinga Adam. Belakangan, ia terlihat lebih sering bersama Arum, sengaja menunjukkan kedekatan mereka, bergandengan tangan, tertawa lepas.

Namun Jovita tetap menahan diri. Ia bersikap dingin, seolah tidak peduli, bahkan ketika Adam berdiri tepat di depannya. Hingga akhirnya Adam, dengan penuh percaya diri, berbicara.

“Jo, aku tau, kamu masih menginginkanku. Kalau kamu berpikir gitu, kita kembali lagi kayak dulu, melanjutkan pernikahan kita. Aku akan memperlakukanmu dengan baik.”

Jovita hampir tertawa mendengar ucapannya. Masih menginginkannya? Kembali seperti dulu? Astaga, pikirnya sambil menertawakannya dalam hati.

“Jangan harap, bajingan. Aku akan mengasihani diriku sendiri kalau masih menginginkanmu dan mengharapkan pernikahan denganmu,” ucap Jovita dingin dan tajam, tanpa ragu sedikit pun. Lalu ia meninggalkan Adam sendirian di sana.

Adam terdiam, ucapan Jovita barusan seperti tamparan keras di wajahnya. Selama ini ia yakin Jovita masih menyimpan perasaan padanya, belum bisa lepas. Tapi kenyataannya salah besar. Kata-kata itu meruntuhkan semua rasa percaya dirinya. Untuk pertama kalinya, Adam menyadari bahwa dirinya bukan siapa-siapa lagi di mata Jovita. Perasaan panas, malu, dan sakit bercampur sekaligus.

Meski begitu, setiap kali Arum menghampirinya dengan sikap manis, Adam memperhatikan Jovita selalu menghindari pemandangan itu. Pikirannya tentang cintanya kepadanya kembali tumbuh, hanya saja wanita itu menutupinya rapat. Adam berpikir, jika ia berusaha lebih keras, mungkin Jovita akan tersadar bahwa dia masih mencintainya. Maka dari itu, ia mendekati Arum, memanfaatkannya untuk memancing reaksi Jovita.

Siang itu kejadian yang sama terulang lagi. Jovita tengah asik berdiskusi dengan tim barunya ketika Adam dan Arum baru saja keluar dari ruang meeting, masih berbicara ringan. Jovita hanya melirik mereka sekilas, lalu kembali fokus pada pekerjaannya.

“Kita jadi makan malam, kan?” tanya Arum, tangan menggandeng Adam sambil mengayunkannya perlahan.

Adam terdiam sesaat, kemudian mengangguk dengan senyum tipis. Sudut matanya terus mengintip Jovita, sementara tangannya membelai kepala Arum pelan. Arum sempat menyadari tatapan itu, senyumnya memudar sejenak, tapi segera kembali ketika Adam kembali menatapnya.

Saat itu telepon Jovita berdering. Ia pun berdiri dan meninggalkan meja. Inilah yang selalu terjadi, bukan karena ia sengaja menghindar, tapi memang ada urusan lain. Hanya saja Adam terlalu cepat mengira bahwa Jovita sengaja menjauhinya.

“Jo!” sapa Karen, teman dekat Jovita semasa SMA, lewat telepon.

“Kenapa? Aku lagi kerja,” balas Jovita dengan nada sedikit malas.

“Akhir pekan sibuk gak? Ayo kita jalan, aku nemu resto baru nih.”

“Oke, atur aja,” jawab Jovita singkat, lalu menutup telepon tanpa bicara lebih lanjut.

Saat Jovita kembali, Arum dan Adam masih berdua. Namun ia tak peduli, langsung melanjutkan diskusi dengan rekan timnya. Sementara itu, Sena mulai kesal melihat Arum. Di tengah jam kerja, Arum malah asyik berduaan dengan Adam.

“Arum,” seru Sena tegas. “Bukannya kita harus diskusi sekarang? Bisa gak fokus sedikit kalau kerja?”

Arum mengedipkan mata malas, mendecik kesal, lalu menatap Adam. “Kita ketemu lagi nanti malam,” ucapnya sebelum akhirnya berjalan menghampiri timnya sendiri.

Adam menatapnya dengan ekspresi datar, tapi matanya tak lepas dari Jovita yang sedang asik menjelaskan konsep, sesekali tertawa. Pemandangan itu jelas membuatnya kesal. Jovita sama sekali tak menyadarinya, meski begitu Adam terus berusaha mencari cara agar perhatian wanita itu kembali padanya.

Saat jam pulang kerja, Jovita segera bergegas menuju rumahnya. Namun baru sampai di lobi gedung, hujan turun deras, dan dia lupa membawa payung. Tepat saat itu, Adam muncul di depannya, menyerahkan sebuah payung lipat.

“Pakai ini,” ucapnya sambil mengulurkan payung.

Jovita menatap payung itu sejenak. Namun sebelum sempat ia bergerak, Arum muncul, langsung menggandeng tangan Adam.

“Gak perlu,” kata Jovita. Kebetulan, Sena baru saja keluar dari lift dan berjalan menuju pintu, sudah siap membuka payung. Jovita segera berlari ke arahnya, menumpang di bawah payung Sena.

“Kenapa? Kamu ngapain?” tanya Arum penasaran.

Adam cuma menggeleng, lalu dengan enggan membuka payung untuk mereka berdua.

Meski hujan sempat deras, ia segera reda. Saat Jovita melangkah pulang, jalanan masih basah dan memantulkan cahaya lampu. Bau tanah sehabis hujan tercium samar di hidungnya. Tak jauh di depannya, seorang bocah kecil sedang berjongkok. Jovita mengenali punggung mungil itu.

“Eden,” panggil Jovita sambil mendekat. “Kamu ngapain di sini?”

Bocah kecil itu, keponakannya yang baru berusia lima tahun, menoleh dan tersenyum polos pada bibinya.

“Ada anak anjing,” jawab Eden sambil menunjuk ke sebuah kardus setengah basah. Di dalamnya, seekor anak anjing berbulu cokelat tampak melas, menatap mereka dengan mata sedih.

Jovita ikut berjongkok di samping Eden, hatinya mencelos melihat anak anjing itu meringis, menatap mereka dengan mata polos dan jernih.

“Tatty, bawa dia pulang,” ucap Eden, terdengar seperti perintah tegas.

“Ayahmu alergi bulu hewan. Jadi gak bisa dibawa pulang,” jawab Jovita dengan sabar, mencoba menenangkan keponakannya.

Eden memanyunkan bibirnya, mata berkaca-kaca, sedih. Mereka berdua terdiam, menatap anak anjing malang itu. Siapa yang tega membuangnya?

Sebenarnya, Jovita ingin sekali membawanya pulang. Tapi ia ragu, kakaknya alergi bulu hewan. Di sisi lain, hatinya tak tega meninggalkan makhluk kecil itu sendirian.

“Eden,” panggil Jovita pelan, suaranya hangat. Eden menoleh, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Ayo kita bawa pulang,” katanya perlahan namun tegas. Senyum lebar langsung merekah di wajah Eden, matanya bersinar kegirangan.

“Tapi jangan bilang kalau aku yang bawa, ya,” tambah Jovita, menambahkan syarat dengan nada bercanda. Eden hanya mengangguk semangat, hampir melonjak kegirangan.

Jovita kemudian menggendong anak anjing itu dengan hati-hati sambil menggandeng tangan mungil Eden. Sesampainya di rumah, Jovita meletakkan anak anjing itu di lantai ruang tamu yang hangat, membuatnya duduk sambil menatap sekeliling dengan mata polos. Kakak dan kakak iparnya belum pulang, sehingga hanya ART yang ada di rumah, aman untuk memulai kehidupan baru sang anak anjing di rumah itu.

“Kita harus mandiin dia dulu, bulunya kotor,” ucap Eden, duduk di karpet sambil menatap anak anjing itu dengan mata berbinar.

Mereka pun memandikannya dengan hati-hati menggunakan air hangat, mengeringkan bulunya yang kini mengilap, lalu memberinya makan. Setelah itu, mereka bermain-main di kamar Jovita. Tawa Eden pecah, riang terdengar memenuhi ruangan.

Jovita keluar sebentar untuk mengambil minum, namun anak anjing itu mengikuti langkahnya keluar kamar, tepat saat Noah, kakaknya, baru saja tiba di rumah.

Noah langsung membelalak saat melihat anak anjing itu, lalu menatap Jovita yang berdiri membeku di ambang pintu. “Siapa yang bawa anak anjing ke sini?” tanyanya tegas.

Jovita mengangkat bahu, pura-pura tak tahu. Tapi tepat saat itu, Eden keluar dari kamar. “Tatty yang bawa,” ujarnya polos.

Jovita cepat menoleh padanya, bibirnya menyungging kecewa. “Hei, kita udah sepakat tadi,” bisiknya lirih. Bahkan anak kecil itu tampaknya baru saja mengkhianatinya.

“Jovita,” panggil Noah sambil menutup hidungnya. “Bawa keluar. Sekarang,” ucapnya tegas.

Jovita merengek, bersikap seperti anak kecil manja, bahkan lebih dari Eden. Ia melontarkan kata-kata menyedihkan tentang anak anjing itu, berharap kakaknya luluh. Namun Noah tetap teguh, meski sebenarnya ia juga merasa kasihan.

Akhirnya, anak anjing itu boleh tetap tinggal di rumah, tapi tidak diperkenankan masuk ke dalam. Jovita meletakkannya di kardus baru yang lebih hangat. “Aku akan belikan kamu rumah baru. Untuk sekarang, tinggal di sini dulu,” ujarnya lembut.

***

Jovita dan Karen sepakat menghabiskan waktu bersama untuk mencoba restoran baru. Jovita tiba lebih dulu, menunggu di depan bangunan sambil sesekali mengecek ponsel dan mengirim pesan pada Karen.

Sementara itu, Karen datang terlambat karena harus mengirim paket ke luar kota lebih dulu. Sayangnya, tempat pengiriman sedang ramai, membuatnya harus menunggu lama di antrean.

Tak lama, pesan dari Karen masuk, menyuruh Jovita untuk masuk lebih dulu karena ia sebentar lagi akan tiba. Jovita menuruti, melangkah masuk ke dalam restoran.

Begitu membuka pintu, matanya menelusuri ruangan mencari meja kosong. Namun sebelum sempat memilih, seseorang tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dan membawanya ke arah meja di sudut.

Devan.

Pria itu hanya tersenyum tenang, lalu, tanpa peringatan, merangkul pinggangnya di hadapan beberapa orang yang duduk di meja itu. Dari tatapannya, Jovita langsung tahu: mereka keluarganya.

“Dia kekasihku,” kata Devan lantang, membuat semua mata tertuju pada mereka.

Jovita terpaku, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Namun yang lebih mengejutkan, seseorang di meja itu menatapnya tajam, tatapan yang membuat darahnya seolah berhenti mengalir.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!