Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Di sudut dapur, kue-kue yang sudah jadi ditata rapi.
“Ini buat hidangan tamu,” jelas Bu Santi.
“Yang itu buat pengantar ke pihak lelaki. Jangan sampai ketukar.”
Aira menatap tumpukan kue. Dadanya bergetar aneh. "Ini semua… buat aku?"
Untuk pertama kalinya ia benar-benar merasa: pernikahan ini nyata.
Sementara itu di luar rumah, suara ketukan palu dan gesekan besi terdengar. Orang dari perias sedang memasang tenda. Kain putih dan hijau digantung, rangka pelaminan mulai berdiri di teras.
Aira mengintip dari balik pintu. “Ya Allah… itu pelaminan di rumah gue?”
“Lah iya,” jawab Bibi Nur. “Masa di rumah Pak RW.”
“Serem juga ya,” gumam Aira. “Biasanya di situ aku duduk sambil marahin kucing. Sekarang duduk jadi pengantin.”
Bu Maryam mendekat, menepuk punggung anaknya. “Takut?”
“Bukan takut,” jawab Aira pelan. “Kayak… deg-degan tapi aneh. Ramai tapi kok rasanya sendiri.”
Bu Maryam tersenyum lembut. “Itu tandanya kamu sedang melangkah ke fase baru, Ra.”
Aira mengangguk kecil, lalu kembali ke tikar. “Oke. Kalau gitu aku ikat souvenirnya yang rapi. Masa calon istri ustadz ngasih souvenir pita miring.”
Para ibu tertawa lagi.
Di luar, tenda makin kokoh.
Di dalam, kue terus matang.
Dan di dada Aira, untuk pertama kalinya, kegaduhan rumah itu terasa… hangat.
***
Malam menjelang, rumah Aira kembali terang. Lampu-lampu tambahan dipasang, karpet digelar rapi. Suasana berubah menjadi khidmat.
Malam ini akan diadakan siraman dan dilanjutkan pengajian untuk rangkaian pernikahan Aira.
Acara siraman tiba, Aira duduk di kursi kecil yang sudah dihias sederhana. Rambutnya terurai, kain batik membalut tubuhnya. Di hadapannya, bokor berisi air bunga... mawar, melati, kenanga... harumnya memenuhi udara.
Bu Maryam berdiri paling depan. Tangannya bergetar saat mengambil gayung. “Bismillah…” ucapnya lirih.
Air pertama disiramkan ke kepala Aira.
Belum juga siraman kedua, Aira sudah terisak. “Ma… aku bau kembang banget,” katanya di sela tangis.
Beberapa ibu menahan tawa.
Bu Maryam mengusap pipi Aira yang basah. “Fokus, Ra. Ini momen sakral.”
Pak Hadi kebagian siraman berikutnya. Tangannya besar, tapi gerakannya hati-hati. Begitu air menyentuh kepala Aira, suaranya ikut pecah.
“Papa titip Aira…” katanya serak. “Kalau nanti Aira keras kepala… tolong dimengerti. Dari kecil memang begitu.”
Aira terisak semakin kencang. “Pa… jangan curhat di depan umum dong,” protesnya sambil nangis.
Air mata, tawa, doa... semuanya bercampur.
Siraman ditutup dengan doa bersama. Para ibu mengamini dengan khusyuk.
Sesuai adat, setelah siraman selesai, Aira yang masih mengenakan kain basah digendong Pak Hadi.
Tubuh Aira meringkuk di dada ayahnya.
“Pa… berat nggak?” tanyanya pelan.
Pak Hadi tersenyum sambil menahan air mata. “Dari kamu bayi sampai sekarang, nggak pernah berat.”
Bu Maryam ikut berjalan di samping mereka, sesekali menyeka air mata sendiri.
Langkah itu terasa panjang.
Langkah terakhir seorang ayah menggendong anak gadisnya… sebelum kelak diserahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada lelaki lain.
Usai siraman, acara dilanjutkan dengan pengajian.
Ibu-ibu, bapak-bapak, dan tetangga memenuhi ruang depan hingga teras. Ayat-ayat suci dilantunkan, doa dipanjatkan agar Aira diberi ketenangan dan keberkahan.
Aira duduk di kamar, mengganti pakaian, masih terisak kecil.
“Kenapa rasanya kayak mau pindah planet ya…” gumamnya.
Pengajian berjalan dengan lancar, semuanya diberi kemudahan.
Di waktu yang sama, di pondok pesantren, suasana tak kalah khidmat.
Tidak ada siraman.
Hanya pengajian sederhana, sebagaimana kebiasaan pondok.
Kyai Huda duduk di depan para santri, Ummi Maysaroh di sisi lain. Malam itu juga diadakan santunan anak yatim... atas nama Ustadz Fathur.
Ustadz Fathur sendiri duduk sedikit menunduk.
Doa-doa dipanjatkan untuk pernikahannya, untuk masa depan yang akan ia bangun.
“Menikah itu bukan soal bahagia saja,” nasihat Kyai Huda. “Tapi tentang tanggung jawab, kesabaran, dan keberanian untuk memperbaiki satu sama lain.”
Ustadz Fathur mengangguk pelan.
Di dadanya, ada rasa tenang… dan degup yang kian jelas.
Malam itu, dua tempat berbeda, dua suasana yang tak sama... namun satu tujuan yang sama sedang dipanjatkan ke langit:
Agar esok, langkah yang diambil benar-benar menjadi jalan terbaik.
Sementara di tempat yang jauh dari hiruk pikuk persiapan pernikahan itu, Neng Azwa duduk bersandar di dinding asrama putri. Mushaf Al-Qur’an terbuka di pangkuannya, tapi matanya tak benar-benar membaca.
Ayat yang sama diulang berkali-kali.
Salah.
Berhenti.
Diulang lagi.
Hatinya penuh, kepalanya sesak.
Kanapa harus sekarang?
Kenapa bukan aku?
Suara ustadzah pengampu hafalan memanggil namanya. “Neng Azwa, lanjutkan.”
Azwa berdiri. Tangannya gemetar memegang mushaf.
Baru dua ayat, suaranya tersendat. Ayat yang biasanya lancar kini terasa asing.
“Berhenti.” Nada ustadzah itu tenang, tapi tegas. “Kamu tidak fokus.”
Azwa menunduk. Pipinya panas. “Maaf, Ustadzah.”
“Kamu sudah tiga kali lalai hari ini. Setoran hafalan kosong, pelajaran pagi tertinggal, dan sekarang ini.”
Ustadzah menarik napas. “Kamu tahu konsekuensinya.”
Azwa mengangguk pelan.
Sore tadi, Azwa diminta membersihkan halaman asrama sendirian. Menyapu daun, merapikan sandal, dan membersihkan selokan kecil di belakang.
Langkah kakinya berat.
Setiap sapuan sapu terasa seperti menggesek hatinya sendiri.
Air matanya jatuh, bercampur debu.
Abi... Kenapa Abi izinkan itu?
Apa salahku selama ini?
Malam harinya, saat waktu muroja'ah, Azwa kembali lalai. Tatapannya kosong, bibirnya kaku.
Ustadzah kembali menegurnya. “Neng Azwa, kamu ini anak yang Allah jaga. Jangan biarkan urusan hati mengalahkan amanahmu.”
Kalimat itu menusuk.
Azwa mengangguk, tapi dadanya semakin sesak.
Di kamar, Neng Azwa duduk memeluk lutut. Teman-temannya sudah terlelap. Lampu dipadamkan, hanya cahaya bulan menyelinap dari jendela.
Air matanya jatuh tanpa suara. “Apa aku kurang baik?” bisiknya.
“Atau aku cuma salah berharap?”
Ia memejamkan mata.
Untuk pertama kalinya sejak mondok, hafalan yang biasa jadi pelarian justru terasa jauh.
Di balik dinding pesantren yang sunyi itu, Neng Azwa sedang berjuang... bukan melawan pelajaran, tapi melawan hatinya sendiri yang belum siap menerima kenyataan.
***
Keesokan harinya.
Pagi ini, rumah Aira berubah total.
Halaman depan dipenuhi suara orang berlalu-lalang. Dapur mengepul asap, ruang tengah dipenuhi tampah berisi kue, dan halaman samping dipakai ibu-ibu untuk menyiangi ikan serta sayuran dalam jumlah yang bikin Aira merinding.
Ikan bertumpuk di ember besar.
Cabe segunung.
Kol, wortel, buncis, kentang... semua seperti hasil panen satu kecamatan.
Aira berdiri di ambang pintu dapur, masih pakai daster tidurnya, rambut dicepol asal. “Ma…”
Ia menelan ludah. “Ini mau bikin pesta rakyat apa gimana sih?”
Belum sempat Bu Maryam menjawab, Bu Rina... tetangga yang terkenal cerewet tapi baik itu menyambar. “Eh calon manten dilarang masuk dapur!”
“Sana duduk manis aja!”
“Kalau capek, tidur!”
“Iya, Ra,” sahut Bu Yati sambil menyiangi ikan. “Tangan kamu itu buat akad, bukan buat pegang bau amis.”
Aira meringis. “Bu… aku ini anak rumah, bukan tamu.” tumben saja dia juga ingin membantu padahal biasanya malas-malasan.
“Sekarang kamu tamu kehormatan,” timpal Bu Iis sambil ketawa.
“Besok statusnya naik level.”
Aira menoleh ke mamanya, memelas.
“Ma, aku bisa bantu nyuci cabe kek...”
“Tidak,” potong Bu Maryam cepat. “Kamu duduk. Titik.”
“Kenapa sih semua orang kompak banget sama mama?” gumam Aira.
Dari ruang tengah, terdengar ibu-ibu lain ngobrol sambil menata kue.
“Ini kue nastarnya taruh depan ya.”
“Yang pastel jangan ketindihan, nanti hancur.”
“MasyaAllah… calon mantennya cantik ya anak kota tapi gak manja.”
“Eh jangan salah, manja itu kelihatan.”
Aira yang dengar langsung nyeletuk, “Bu… aku dengar loh.”
Semua tertawa.
Di dapur, obrolan makin riuh.
“Bu Maryam, ikannya segini cukup gak?”
“Cukup, Bu. Ini masih ada ayam kampung lagi.”
“Waduh… rezekinya ngalir deras ya.”
“Anaknya dinikahin ustadz pula.”
Aira refleks menutup telinga. “Lagi-lagi ustadz… ustadz…”
Bu Rina menoleh sambil senyum penuh arti. “Kenapa? Gak terima?”
Aira manyun. “Bukan gak terima… cuma masih kerasa kayak mimpi.”
Bu Yati menatap Aira lembut. “Memang begitu, Nak. Kalau jodoh datangnya cepat, Allah pengin kamu lebih banyak belajar ikhlas.”
Aira terdiam.
Dadanya terasa hangat, tapi juga aneh.
Riuh suara ibu-ibu, bau masakan, tawa, doa yang terselip di sela obrolan... semuanya terasa asing tapi menenangkan.
Ia melangkah mundur, duduk di kursi ruang tengah, memeluk bantal kecil.
“Ya Allah…” gumamnya pelan. “Ini serius ya… besok aku nikah.”
Dan di luar, suara ibu-ibu kembali menguat... seperti simfoni kesiapan, doa, dan kebersamaan untuk satu perubahan besar dalam hidup Aira.
Sampai malam pun semua orang masih sibuk menyiapkan segala halnya untuk acara esok hari yang pastinya semua akan sibuk.
Aira sendiri tidak diberi celah, dia diminta untuk tidur segera karena besok ia harus bangun pagi.
***
Waktu subuh belum juga datang ketika pintu kamar Aira diketuk bertubi-tubi.
“Ra… bangun, Nak.” Suara Bu Maryam terdengar lembut tapi tegas. “Sudah hari H.”
Aira mengerang dari balik selimut. “Ma… matahari aja belum bangun…”
“Justru kamu harus bangun duluan,” sahut Bu Maryam sambil membuka pintu. “Cepat mandi. Airnya keburu dingin. Baru saja mama campur air panasnya.”
Aira langsung duduk, rambutnya awut-awutan. “Mandi sekarang?”
“Ma, ini jam biologisku masih loading…”
“Tidak ada loading,” potong Bu Maryam.“Hari ini kamu pengantin.”
Glek!
Bersambung