Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Arcane yang kembali bangkit
Cahaya sore yang lembut menembus tirai tipis di kamar Kate, memandikan ruangan dengan semburat keemasan yang hangat. Di sudut ruangan, sebuah meja kecil dipenuhi botol-botol ramuan dan gulungan kertas catatan latihan Arcane. Kate duduk di tepian ranjangnya, bersandar ringan pada bantal, mengenakan pakaian santai yang jauh dari kesan ksatria.
Pintu kamar berderit pelan saat seseorang mengetuk dan membukanya tanpa menunggu jawaban.
"Leon..."
Kate menoleh, sedikit terkejut kemudian tersenyum lemah saat melihat sosok pria dengan mata tajam namun penuh kehangatan itu masuk.
Leon mengangguk kecil, lalu menutup pintu di belakangnya. Ia membawa sebuah kotak kayu kecil di tangan kirinya.
"Kudengar kau belum benar-benar pulih. Jadi kupikir, sudah waktunya aku memeriksa adik kecilku secara langsung."
Kate terkekeh pelan, duduk lebih tegak. "Aku baik-baik saja. Danzzle sudah merawatku dengan sangat baik."
Leon menarik kursi dan duduk di hadapan Kate, menatapnya dalam-dalam. Ada ketenangan dalam tatapannya, sekaligus sorot waspada dari seseorang yang tak pernah berhenti mengamati dunia dengan teliti.
"Justru itu yang ingin kubicarakan. Izinkan aku memeriksa Arcanemu, hanya sebentar," kata Leon. Ia membuka kotak kayu itu, mengeluarkan kristal kecil berbentuk oval.
Kate mengangguk patuh. Leon mendekat dan menyentuhkan kristal itu ke pergelangan tangan Kate. Cahaya lembut muncul dari dalam kristal, membentuk gelombang biru keperakan yang bergetar sangat halus.
"Hmm..." gumam Leon. "Stabil. Meski masih belum kembali ke kondisi idealmu, tapi jauh lebih baik dari terakhir kali kita bicara."
"Itu berkat Danzzle. Dia membimbingku setiap hari. Kami mencari tahu bagaimana menenangkan Arcaneku," kata Kate mengangguk pelan.
Leon menyimpan kembali kristal itu, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Aku senang kau akhirnya mempercayainya."
"Mempercayainya?" tanya Kate menoleh sedikit bingung.
Leon tersenyum samar. Ia menatap Kate serius. "Kate, aku tidak menempatkanmu di Tim Orion secara acak. Aku tahu benar siapa yang bisa melindungimu. Orion adalah pemimpin terbaik yang kami punya, dan meski Lyra punya ketajaman dalam bertarung serta Jasper punya kekuatan bertahan luar biasa, hanya Danzzle yang memiliki pemahaman mendalam soal Arcane."
Kate terdiam, merenungkan ucapan itu.
"Orang-orang meremehkan Danzzle karena kekuatannya tak terlihat dalam bentuk serangan. Tapi dia menyelamatkanmu dengan caranya sendiri. Ia menyentuh sesuatu yang bahkan para penyembuh senior sulit mengurai. Arcane campuran yang kau miliki sejak kembali dari Nether. Itu bukan Arcane biasa, Kate," lanjut Leon.
Kate menggenggam tangannya sendiri, menatap lantai. "Aku... aku tahu. Tapi aku tidak tahu bagaimana mengendalikannya. Kadang aku merasa seperti ada sesuatu yang bangun di dalam diriku."
Leon berdiri dan berjalan ke jendela, memandang ke luar, ke arah halaman pelatihan yang mulai sepi menjelang malam.
"Danzzle akan membantumu. Orion akan menjagamu. Tapi pada akhirnya, hanya kau yang bisa memilih jalan mana yang akan kau ambil dengan kekuatan itu." Ia menoleh, menatap Kate lembut.
Kate menatap punggung Leon, lalu bertanya pelan, "Kau percaya aku tidak akan berubah?"
Leon diam sejenak. Lalu ia menoleh dan tersenyum, kali ini lebih lebar dari sebelumnya.
"Aku percaya pada dirimu, Kate. Bukan hanya sebagai pengajar atau sebagai kakak. Tapi sebagai seseorang yang melihat kekuatan besar dan potensi yang kau miliki dan memilih untuk tidak takut karenanya."
Kate terdiam. Matanya sedikit berkaca, sembari mengangguk perlahan.
"Terima kasih, Leon."
Leon berjalan kembali ke arah pintu. Sebelum pergi, ia berkata pelan, “Beristirahatlah malam ini. Besok, waktunya untukmu menunjukkan apa yang telah kau pelajari.”
Lalu pintu menutup lembut, meninggalkan Kate dalam keheningan yang hangat. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, senyum kecil terukir di wajahnya.
***
Mentari pagi baru saja menyinari batu-batu kastil Ceaseton yang dingin, memantulkan cahaya keemasan di dinding lorong panjang yang mengarah ke taman belakang. Suasana masih tenang, hanya suara burung-burung dan langkah kaki yang sesekali bergema di antara lengkungan-lengkungan batu.
Kate berjalan pelan di lorong itu, rambutnya tergerai santai, dan wajahnya tampak lebih segar dari hari sebelumnya. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, semangatnya untuk kembali melatih Arcane bersama Danzzle membuat langkahnya terasa ringan. Namun langkahnya terhenti begitu mendengar suara yang sangat ia kenal.
“Kate.”
Suaranya berat, tenang, tapi terdengar lebih seperti perintah dari pada sapaan. Orion berdiri di persimpangan lorong, mengenakan pakaian latihan berwarna gelap. Matanya mengunci pandangan pada Kate, tatapan tajam yang menyimpan kekhawatiran yang sulit disembunyikan.
Kate menegakkan tubuhnya, mencoba tersenyum. “Selamat pagi, Orion.”
Orion melangkah mendekat, menatapnya dari kepala hingga kaki. “Kau masih belum pulih sepenuhnya. Jangan ikut latihan hari ini. Istirahatlah.”
Kate membuka mulut, hendak membalas dengan tenang. Ia ingin menjelaskan bahwa ia tidak akan ikut latihan tempur, hanya ingin menstabilkan Arcanenya dengan bantuan Danzzle. Namun sebelum sempat berkata apapun, suara langkah cepat terdengar dari arah belakangnya.
“Kate, maaf membuatmu menunggu,” ujar Danzzle yang baru saja muncul di ujung lorong. Ia membawa gulungan kertas dan botol ramuan di tangan, senyumnya hangat seperti biasa.
“Oh… Hai Orion,” sapa Danzzle dengan senyum khasnya sebelum kembali menoleh ke arah Kate.
“Kita lanjutkan latihan Arcane hari ini. Kau sudah siap kan?” ajak Danzzle.
Kate menoleh cepat, agak kikuk. Ia menatap Orion sejenak, lalu Danzzle, lalu kembali pada Orion. “Aku hanya akan berlatih pengendalian Arcane, bukan tempur...”
Orion tidak menjawab langsung, tapi sorot matanya sedikit mengeras saat tatapannya berpindah pada Danzzle. Danzzle hanya mengangguk sopan pada Orion, lalu menatap Kate kembali.
“Ayo, kita akan terlambat ke tempat biasa,” ucap Danzzle.
Kate menggenggam tali kecil di pinggangnya dengan canggung. “Aku pergi dulu, Orion...”
Tanpa menunggu jawaban, Kate mengikuti Danzzle melewati persimpangan lorong, langkah mereka menghilang di tikungan menuju taman belakang. Suara percakapan ringan di antara mereka memudar perlahan, digantikan kembali oleh keheningan lorong batu.
Orion berdiri di tempatnya, menatap arah kepergian mereka. Rahangnya mengencang, dan tangan kirinya mengepal sesaat sebelum akhirnya ia berbalik pergi, tanpa sepatah kata pun.
Langkahnya berat dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang mengganggu hatinya lebih dari sekadar tugas atau strategi tempur. Sesuatu yang jauh lebih rumit.
***
Di balik taman kastil yang sepi, tersembunyi sebuah rumah kaca tua kecil yang yang biasa mereka jadikan tempat latihan tersembunyi. Cahaya matahari menerobos atap kaca, membanjiri permukaan lantai rumah kaca itu dengan kehangatannya.
Pagi itu Kate berdiri di tengah lingkaran Arcane yang digambar Danzzle dengan debu kristal putih. Nafasnya teratur, dan aura tenangnya terpancar jelas. Tak ada lagi ketegangan atau kilatan liar di matanya seperti beberapa hari lalu.
Danzzle mengawasinya dari sisi luar lingkaran, gulungan kertas berisi catatan Arcane di tangan kirinya.
“Bagaimana rasanya sekarang?” tanya Danzzle lembut.
Kate mengangguk pelan, kedua matanya tertutup. “Tenang. Tidak seperti sebelumnya. Rasanya tidak memberontak lagi di dalam.”
“Kalau begitu, kita mulai tahap berikutnya.” Senyum Danzzle mengembang kecil.
Ia menjentikkan jari, dan lingkaran di sekeliling Kate menyala redup, memancarkan pola energi ringan yang bersinar biru lembut. “Gunakan Arcanemu untuk membentuk barikade pelindung. Fokuskan energi pada pola spiral di sekitarmu.”
Kate mengangkat tangannya perlahan. Cahaya keemasan menyelimuti jarinya, lalu mengalir membentuk pusaran pelindung yang menyelimuti tubuhnya. Sekarang tidak lagi bergoyang tidak stabil seperti sebelumnya, aliran itu sudah padat, kokoh, dan jernih.
Danzzle melemparkan mantra kecil ke arahnya, bola api berukuran kelereng. Namun sebelum menyentuh perisai, bola itu langsung terpantul, seolah menghantam dinding tak kasat mata.
“Bagus.” Danzzle mengangguk puas. “Sekarang coba sihir pelepas tekanan. Pindahkan kekuatanmu ke sekitarmu, sebarkan ke tanaman-tanaman di sekitar.”
Kate menghela napas, lalu membuka kedua tangannya. Aliran Arcanenya bergerak turun ke tanah, menjalar melalui akar-akar tua dan rerumputan. Dalam beberapa detik, tanaman-tanaman kecil di sekitarnya tampak hidup kembali, daunnya menjadi lebih segar, bahkan beberapa bunga liar bermekaran dalam kilatan cahaya lembut.
Kate membuka mata, menatap hasilnya dengan senyum bahagia. Untuk pertama kalinya, ia merasa Arcane di tubuhnya bukan beban, melainkan bagian dari dirinya sendiri.
“Aku berhasil. Aku bisa mengendalikannya,” ucap Kate lirih, hampir tak percaya.
Danzzle menyilangkan tangan dan tertawa ringan. “Tidak hanya bisa, Kate. Arcanemu sekarang jauh lebih kuat dan bersih dari sebelumnya. Aku bahkan bisa merasakannya meningkat dua tingkat penuh dari saat kita pertama kali berlatih.”
“Kau serius?” tanya Kate menoleh pada Danzzle, wajahnya bersinar cerah.
“Sangat serius. Dan bukan hanya itu. Arcane merah yang melilit arcane murnimu juga mulai menyatu lebih baik. Ini pertama kali aku melihatnya, sekaligus takjub dibuatnya. Bahkan di antara para ksatria cahaya yang pernah kutemui, aku belum pernah menemukannya sekalipun.”
Kate menghela napas panjang, menengadah menatap langit di balik dedaunan.
Rasa syukur, kelegaan, dan harapan baru bercampur dalam hatinya. Setelah semua penderitaan dan ketakutan yang ia lalui, akhirnya, ia bisa melangkah lebih yakin. Kate mulai percaya bahwa mungkin ia memang ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar.
***
Kantin utama kastil Ceaseton tengah dipenuhi hiruk-pikuk para ksatria dan kadet yang beristirahat setelah sesi pelatihan pagi. Suara alat makan beradu, percakapan bercampur tawa, dan aroma makanan hangat memenuhi udara.
Di salah satu meja panjang di sudut kanan, Kate duduk di antara Danzzle dan Lyra, sedangkan di seberangnya duduk Orion dan Jasper. Di hadapannya, nampan makan Kate tampak lebih penuh dari biasanya. Ada potongan daging merah muda yang kaya zat besi, sayuran berakar, dan semangkuk sup herbal hangat. Kate menatap makanannya dengan sedikit bingung.
“Kenapa banyak sekali?” gumam Kate, memandang Danzzle di sebelahnya.
Danzzle menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya sendiri sebelum menjawab sambil tersenyum kecil. “Tubuhmu sedang dalam masa pemulihan. Jadi kau perlu asupan lebih dari biasanya.”
Kate mengangguk pelan. Ia tahu Danzzle benar, tapi tak bisa menahan diri dari perasaan kikuk karena menjadi pusat perhatian.
Danzzle melanjutkan sambil menunjuk pada lauk-lauk di nampan Kate. “Daging itu untuk meningkatkan regenerasi dalam tubuhmu. Sup herbal ini bagus untuk sistem syaraf dan juga bisa membantumu menstabilkan Arcanemu. Dan wortel hitam ini…” Ia mengedip iseng. “Kudengar bisa bikin kulitmu bersinar seperti dewi.”
“Kau serius?” Kate terkekeh kecil.
Danzzle hanya mengangkat bahu, membuat Kate tertawa pelan. Keduanya tampak begitu akrab dan hangat, seperti sahabat lama yang sedang bercengkerama ringan. Namun di seberang meja, Orion menatap pemandangan itu dalam diam.
Ia tetap makan seperti biasa, tidak menampakkan emosi apa pun, tapi tatapannya tidak lepas dari wajah Kate atau lebih tepatnya, dari interaksi Kate dan Danzzle. Tangan kirinya mengepal pelan, menahan perasaan yang bahkan ia sendiri enggan akui. Senyuman Kate untuk Danzzle itu, tidak pernah ia lihat selama perjalanan mereka kemarin.
Jasper sempat menoleh dan melirik Orion sekilas, seolah menyadari perubahan sikap pria itu. Tapi seperti biasa, ia memilih untuk diam dan pura-pura tak tahu. Sedangkan Lyra yang duduk di sebelah Kate menatap piringnya tanpa selera, mendengus lirih setiap kali Kate tertawa kecil. Ia menyuapkan makanannya dengan kasar, seolah tiap kunyahan adalah bentuk protes yang tidak bisa ia ucapkan.
Makan siang itu berlalu dalam kebisuan yang penuh makna. Di tengah suara ramai kantin, meja mereka justru dipenuhi ketegangan diam-diam. Tak satu pun dari mereka membicarakannya, tapi semua bisa merasakannya.
Terutama Orion. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa bukan hanya kondisi Kate yang mulai berubah, hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya pun perlahan bergeser. Dan itu menimbulkan perasaan asing di dadanya. Perasaan yang belum tentu bisa ia kendalikan.
***
Mentari sore mulai meredup di langit Ceaseton, meninggalkan rona jingga keemasan yang menyebar di balik pepohonan dan atap bangunan kastil. Di pelataran belakang yang biasa digunakan untuk latihan fisik tambahan, para anggota tim satu mulai membubarkan diri setelah sesi latihan yang lebih berat dari biasanya.
Danzzle menjatuhkan dirinya ke bangku panjang di dekat sumur air, mengelap peluh di dahinya sambil menghela napas berat. Pakaiannya basah oleh keringat, rambutnya berantakan, dan lengannya tampak sedikit memar.
"Astaga… Kalau ini bukan upaya pembunuhan diam-diam, aku tidak tahu lagi namanya apa. Orion benar-benar menghabisiku hari ini, dia pikir aku samsak apa?!" gerutu Danzzle sambil menoleh ke arah arena latihan yang mulai sepi.
Tak jauh darinya, Jasper datang dengan sebotol air di tangan, lalu duduk di sebelahnya dengan santai. Ia menyerahkan air itu pada Danzzle, yang langsung meminumnya tanpa ragu.
“Kalau boleh jujur, kupikir dia sedang cemburu,” ujar Jasper setelah Danzzle selesai minum.
Danzzle yang tengah menengadahkan kepala menutup botolnya pelan. “Cemburu? Maksudmu… aku dan Lyra? Aku bahkan tidak pernah ngobrol panjang dengan dia. Dekat pun tidak. Dia itu menyebalkan.” Wajahnya menunjukkan ekspresi jijik.
“Siapa bilang soal Lyra?” tanya Jasper mengangkat alis.
Danzzle terdiam beberapa detik, menatap Jasper dengan bingung. “Eh? Bukan…?”
Jasper hanya menggeleng sambil menepuk pundak sahabatnya keras-keras. “Bodoh,” katanya datar, lalu bangkit dan berjalan pergi.
Danzzle hanya ternganga di tempat. Matanya perlahan membulat seiring pikirannya mencoba memproses maksud Jasper barusan.
“…Eh… tunggu… jangan bilang…”
Ia menoleh pelan ke arah arena tempat Kate dan Orion tadi masih tampak berbicara sebentar sebelum bubar latihan. Keduanya berdiri cukup dekat. Kate tampak sedikit kelelahan, sedangkan Orion menunduk sedikit untuk mendengar ucapannya.
Mata Danzzle menyipit. “Oh…”