The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....
Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Cemburu?
Liona mengusap rahangnya yang mulai terasa nyeri—memar baru tampaknya mulai muncul. Malam telah larut dan gelap, dan setelah mengabari Mikael, yang paling ia inginkan hanyalah merebahkan diri di atas seprai dingin di tempat tidurnya.
...****************...
Perumahan itu sendiri sunyi, sepi—dan itulah yang dibutuhkan Harry setelah seharian menjalani pekerjaan berat… berperan sebagai orang jahat. Sebelumnya, semua itu tak pernah mengganggunya—melakukan hal-hal kejam dan melihat pria-pria besar itu menangis di hadapannya. Tapi sekarang, ia bahkan tak ingin pulang.
Ia takut tak sengaja berpapasan dengan Liona, gadis yang beberapa kali dilihatnya bermain-main dengan rottweiler di taman belakang. Ia tak ingin gadis itu melihat sisi dirinya yang satu ini—yang lelah, babak belur, dan… rapuh.
Ia membuka pintu kulkas dan mengaduk-aduk isinya, mencari apa pun yang bisa ia tempelkan ke wajahnya. Tangannya akhirnya meraih sekantong kacang polong beku. Ia menempelkannya ke rahangnya yang membengkak sebelum mengambil sebotol air mineral.
Tiba-tiba, suara tawa lembut mengalun dari ujung lorong—membuat langkahnya terhenti seketika.
Suara itu… indah. Terlalu indah.
Seluruh otot tubuhnya menegang. Perlahan, ia melangkah mengikuti arah suara itu. Menuju kamar Liona.
Cahaya kuning lembut merembes keluar dari celah pintu yang tak tertutup rapat. Tawanya kembali terdengar, menggetarkan dada lelaki itu. Ya Tuhan… tak ada yang pernah terdengar sesempurna ini. Dan itu mengingatkannya—akan kali pertama ia mendengar tawa itu… saat ia mengantarnya ke salon, sebelum ia tahu kisah memilukan di balik statusnya sebagai pembantu mereka.
“Aku juga merindukanmu,” suara Liona terdengar dari balik pintu.
Darahnya membeku.
Ia seharusnya tidak mendengarkan ini.
Ia seharusnya berbalik, memberinya ruang dan menghormatinya. Tapi kakinya menolak bergerak.
Ia berdiri terpaku.
Siapa yang sedang dia ajak bicara di jam selarut ini?
“Tidak. Secepatnya, aku janji.” Suara itu terdengar hangat, tapi menyimpan getar emosi yang tak bisa ia mengerti. Mendengarnya mengucapkan kata-kata itu pada orang lain—mengoyak dadanya. Sebuah rasa tak nyaman merayap pelan di dalam dirinya.
Dengan napas tertahan, ia mencondongkan tubuh, mengintip dari celah sempit antara pintu dan kusennya.
Liona duduk bersila di tempat tidurnya. Ponsel tergeletak di atas bantal di depannya. Ia mengenakan kaus longgar yang menutupi sebagian besar tubuhnya, tapi yang paling menarik perhatian lelaki itu adalah kulit pahanya—lembut dan bersih, kontras dengan kain tipis yang membungkus tubuhnya.
Sial. Apakah itu yang biasa ia kenakan saat tidur?
Dia terlihat… terlalu sempurna.
Genggamannya mengencang pada kantong kacang beku yang masih menempel di pipinya. Matanya menatap gadis itu yang kini mengusap kelopak matanya—seolah habis menangis.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
“Aku tahu. Aku mencintaimu juga.”
Dunia seperti berhenti berputar. Dadanya mengencang. Lubang hidungnya mengembang, dan darah mengalir deras di pelipisnya.
Kepada siapa dia mengucapkan kata-kata itu?
Dan kenapa… kenapa ia begitu peduli?
Liona jelas telah meninggalkan suaminya. Tapi… apakah sekarang dia memiliki kekasih?
Informasi itu menyesak di kepalanya, membuat dadanya panas. Tapi yang paling menyakitkan bukan kemarahan… melainkan perasaan asing yang menggelitik perutnya.
Mungkin Mikael benar—perhatiannya terlalu teralihkan oleh Liona. Dan jika itu benar… maka mungkin, ia memang tidak lagi bisa menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
“Selamat malam. Aku mencintaimu.”
Aku mencintaimu.
Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinganya.
Tubuhnya bergerak sebelum Liona sempat menyadari keberadaannya. Ia melangkah cepat menjauh, menyusuri lorong, menaiki tangga, dan menutup dirinya dalam kamar.
Amarah membara di dadanya.
Apa yang sebenarnya ia harapkan akan terjadi? Bahwa Liona akan menoleh padanya, menyadari keberadaannya… dan tidak lari?
Bahwa seorang perempuan seperti dia—yang terbiasa dengan segala kemewahan dunia—akan memberi waktu kepada pria sepertinya?
Ia meraih tas olahraga dan menggenggamnya kuat-kuat. Ia harus pergi ke pusat kebugaran. Ia harus menghilangkan semua ini… sebelum ia kehilangan kendali.
Dan saat ia melangkah keluar dengan rahang masih membiru dan dadanya sesak, ia mencoba membujuk dirinya:
Ia tidak cemburu.
Tidak.
Karena kalau iya… itu berarti ia peduli.
Dan ia tidak boleh peduli.