Sebuah novel romansa fantasi, tentang seorang gadis dari golongan rakyat biasa yang memiliki kemampuan suci, setelahnya menjadi seorang Saintes dan menjadi Ratu Kekaisaran.
Novel itu sangat terkenal karena sifat licik dan tangguhnya sang protagonis menghadapi lawan-lawannya. Namun, siapa sangka, Alice, seorang aktris papan atas di dunia modern, meninggal dunia setelah kecelakaan yang menimpanya.
Dan kini Alice hidup kembali dalam dunia novel. Dia bernama Alice di sana dan menjadi sandera sebagai tawanan perang. Dia adalah pemeran sampingan yang akan dibunuh oleh sang protagonis.
Gila saja, ceritanya sudah ditentukan, dan kini Alice harus menentang takdirnya. Daripada jadi selir raja dan berakhir mati mengenaskan, lebih baik dia menggoda sang duke yang lebih kejam dari singa gurun itu. Akankah nasibnya berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Banjir
Lucian sudah bersiap, Alice pun demikian. Dibantu para pelayan, kini Alice sudah tampil dengan glamor dan mempesona.
Gaunnya yang dihiasi banyak tiara indah, rambut pirangnya juga tampak mempesona dengan mahkota kecil yang membuatnya semakin menawan.
Lucian beberapa kali tak berkedip melihat wanita bergaun putih yang amat mempesona itu. Sorak-sorai terdengar di sepanjang Kota Corvin, para pekerja dan juga warga turun ke jalan untuk merayakan pernikahan tersebut.
Alice dengan kereta kuda tanpa atap melintasi sepanjang jalan, dia juga menerima bunga dan lemparan kelopak mawar yang indah. Alice terharu, hatinya terenyuh, bahkan air matanya hampir jatuh.
Lucian tampak sudah mengulurkan tangannya di kastil setelah melakukan arak-arakan dan akhirnya berakhir pada momen sumpah suci.
Di hadapan batu dan patung dewa serta seorang pendeta, mereka melakukan sumpah suci pernikahan. Mereka juga menyatukan darah mereka di atas batu sebagai pertanda penyatuan hidup mereka.
Setelah pengesahan dilakukan oleh pendeta dan suara lonceng berbunyi nyaring, warga kembali terdengar bersorak, suara kembang api meletus beberapa kali tanda kebahagiaan mereka.
.
.
.
Berbeda dengan Kota Corvin yang tengah berbahagia, kini banjir melanda Ibu Kota Kerajaan Vincent. Salju yang tertumpuk selama lebih dari seribu tahun itu mencair dan menyebabkan aliran Sungai Gletser melebar.
Bahkan akibat dari aliran sungai besar itu juga mengakibatkan Ibu Kota Kerajaan Vincent lumpuh total karena banjir yang melanda.
“Yang Mulia, ini tidak bisa dibiarkan. Air bah yang mengalir tiada henti selama satu bulan ini bukan musibah biasa!” ucap salah satu bangsawan. Raja tampak menatap bawahannya itu sinis.
“Bukankah baru sebentar saja melanda ibu kota? Buat parit atau apa pun itu untuk dapat menyingkirkan air-air itu secepatnya!” titah Raja. Para bangsawan itu tampak saling bersitatap.
“Maafkan kami, Baginda Raja, namun kami sudah melakukannya dan hasilnya hanya seperempat air yang dapat dialirkan karena tempat kita berada di dataran rendah,” jawab seorang yang memiliki pengetahuan di bidang konstruksi.
“Apa gunanya ada kalian bila banjir saja tidak dapat kalian tangani! Aku tak mau tahu, keuangan kerajaan baru saja diberikan untuk melakukan penuntasan bencana ini. Dan sekarang aku juga tak mau tahu! Kalian harus menyelesaikan tugas ini!” ucap sang Raja tanpa peduli bagaimana kesulitan para bawahannya sendiri.
“Rapat selesai. Bila dalam satu minggu kalian belum menemukan cara untuk menangani banjir, aku akan memenggal kepala kalian semua!” ancam Raja. Semua bangsawan merinding mendengarnya.
Namun karena ancaman mati di hadapan mata, maka batin mereka juga memberontak dalam kesetiaan. Mereka tak ingin menumpahkan kepercayaan mereka pada orang yang justru ingin menjerumuskan mereka.
Namun anehnya, di antara begitu banyak tempat yang terkena bencana banjir, mal yang berdiri kokoh di tengah ibu kota tak sedikit pun mengalami musibah tersebut.
Berdasarkan analisis para ahli, bangunan itu dibangun cukup tinggi. Selain itu, di sekitar bangunan juga dibuat penghalang serta parit kecil antibanjir sehingga tak akan ada air yang masuk ke wilayahnya.
“Siapa sebenarnya pemilik dari tempat perbelanjaan ini?” gumam salah satu bangsawan yang merasa takjub dengan kemampuan pemilik pusat perbelanjaan tersebut.
Di ibu kota kini bencana tengah melanda. Di pinggiran ibu kota, seorang wanita muda cantik dengan rambut pirang dan mata hijau tampak mengibaskan tangannya malas.
“Aku tak suka tempat seperti ini. Sebelum banjir surut, aku tak akan turun tangan langsung,” ucapnya malas melihat air yang begitu tinggi tengah menggenangi Ibu Kota Kerajaan Vincent.
“Nona, Anda adalah calon Saintes. Membantu rakyat adalah hal utama bagi seorang Saintes,” ucap seorang pendeta yang menemaninya.
“Hai, lihatlah air kotor itu. Aku melihatnya saja sudah merasa jijik. Kalian saja sana yang turun tangan!” ucapnya lagi bergidik ngeri dan memilih kembali masuk pada sebuah rumah nyaman di tepi kota.
Glek!
Para pendeta itu menggelengkan kepalanya. Untuk kesekian kalinya orang yang ditunjuk sebagai calon Saintes sekaligus sosok yang memiliki energi murni untuk dapat menyembuhkan penyakit warga memilih bungkam.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya salah satu pendeta pada rekannya yang lain.
“Nampaknya dewa tak memberikan petunjuk pada Nona Iris. Sebaiknya kita cepat membantu warga yang kesulitan dan membuat tenda darurat,” ucap pendeta lainnya yang lebih senior.
Akhirnya usulan itu dilakukan, dan para warga juga berbondong-bondong mengungsi ke tempat yang disediakan Kuil Dewa. Namun, orang-orang yang terjebak di tengah kota juga tak tinggal diam.
Sebuah tenda pengungsian juga didirikan oleh pihak pusat perbelanjaan yang ada di tengah kota sebagai bentuk sukarelawan terhadap sesama.
Semua tertolong, sedangkan para petinggi penguasa ibu kota kini tengah berusaha untuk melakukan perbaikan dan membuat air surut. Pada akhirnya, dalam waktu satu minggu air surut dari ibu kota, namun bekas dari terjangan banjir besar itu membuat banyak rumah hancur, bahkan kediaman beberapa bangsawan tampak tidak baik-baik saja.
.
.
Di wilayah Corvin, setelah acara pernikahan meriah itu, Alice dan Lucian memilih untuk menari bersama para bangsawan dan warga mereka di tengah kota.
Tawa dan cerita tergambar jelas dari wajah mereka, berkah tak ternilai setelah kedatangan Alice ke Kota Corvin adalah syukur yang tak terukur oleh para warga Corvin.
“Ibu, apakah beliau adalah berkat dewa?” tunjuk seorang anak pada Alice yang tengah menari bersama Lucian.
“Betul. Apakah kamu ingin menyapanya, Nak?” tanya ibu dari anak itu. Anak itu langsung mengangguk.
Tarian akhirnya usai. Akhirnya anak laki-laki itu memberanikan diri mendekat ke arah Alice. Di tangannya, dua buah mawar putih digenggam dengan erat.
Namun beberapa orang dewasa menyenggolnya hingga dia hampir terjatuh. Alice yang melihat anak kecil tampak kesulitan di tengah keramaian langsung berjalan ke arah bocah itu yang diikuti oleh Lucian.
“Anda tidak apa-apa, Nak?” Alice membantu anak itu untuk kembali berdiri. Tampak sedikit darah pada anak itu karena terjatuh.
“Ya ampun, kamu berdarah.” Alice mengangkat bocah laki-laki berusia empat tahun itu.
“Nyonya, saya ke sini ingin memberikan ini, namun justru terjatuh dan hancur.” Anak itu memperlihatkan dua tangkai bunga mawar putih yang kini sudah rusak.
“Ya ampun, terima kasih banyak, Nak.” Alice menerima bunga itu dengan sangat bersyukur. Lucian juga tersenyum melihat istrinya sendiri dicintai oleh rakyatnya.
“Tuan, Anda memanggil saya?” Seorang kesatria datang setelah dipanggil oleh Lucian.
“Obati luka anak ini, dan biarkan dia tetap dalam pengawasan orang tuanya,” ucap Lucian. Alice menyerahkan anak yang semula dalam pelukannya itu.
“Ah ya, tolong letakkan ini di kamar saya. Ini adalah hadiah yang berharga,” ucap lagi Alice pada seorang pelayan. Pelayan itu mengangguk, dan kemeriahan siang itu kembali berlanjut hingga senja datang.