Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 - Hati Yang Terbuka
Hari Senin datang lagi, dan kantor Kartanegara Beauty terasa lebih sibuk dari biasanya. Koridor di lantai lima ramai oleh lalu-lalang staf divisi kreatif, karena hari itu adalah presentasi awal konsep kampanye “Festival Bumi Nusantara” kepada dewan eksekutif.
Tari datang lebih pagi dari biasanya. Ia mengenakan blouse ivory sederhana dan celana panjang hitam dengan sepatu flat beraksen emas kecil. Rambutnya dikuncir rapi, dan wajahnya menunjukkan semangat yang tidak bisa disembunyikan.
Selama sepekan terakhir, ia dan timnya bekerja keras menyempurnakan konsep kampanye yang terinspirasi dari pertumbuhan tanaman lokal—dari benih hingga mekar. Konsep itu menjadi miliknya, tapi setiap elemen visual dan narasi diperkuat bersama-sama. Nana membantu merapikan presentasi, Rega menyumbang elemen interaktif digital, bahkan Riska—meski sedikit enggan—ikut menyumbangkan referensi warna yang cocok untuk estetika kemasan.
Namun, tak seorang pun tahu bahwa di balik layar, Gilang telah menyisipkan jebakan kecil
Satu hari sebelumnya, Gilang menemui Ardi—manager pemasaran senior dan rekan satu angkatan saat ia kembali dari Amerika. Mereka cukup dekat, dan Gilang tahu, Ardi salah satu orang yang paling vokal dalam mempertanyakan kedatangan Tari.
“Kalau aku minta kamu tes seberapa kuat gadis baru itu… kamu keberatan?” tanya Gilang di pantry eksekutif.
Ardi menaikkan alis. “Tes seberapa kuat? Maksudnya, kamu mau dorong dia sampai mentok?”
Gilang hanya menjawab dengan datar, “Aku ingin lihat apakah dia bisa tetap tegak saat dunia tidak memberinya tempat.”
Ardi tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu Gilang bukan tipe yang bertindak tanpa alasan.
Presentasi dimulai pukul sembilan pagi. Ruang rapat lantai enam penuh oleh jajaran manajer lintas divisi dan tiga perwakilan direksi. Tari berdiri di depan layar besar, mengendalikan slide dari tablet kecil di tangannya.
Napasnya sedikit cepat, tapi suaranya stabil.
Ia membuka presentasi dengan cerita singkat tentang filosofi pertumbuhan, lalu menampilkan ilustrasi dan animasi yang memperlihatkan transisi dari biji yang tertanam hingga bunga yang mekar di tanah Nusantara. Ada suara latar musik etnik dan visual yang lembut tapi kuat. Narasinya menyentuh—tentang perempuan Indonesia yang bertumbuh dalam diam, menghadapi tekanan, lalu mekar dalam waktu yang tepat.
Para hadirin tampak fokus. Bahkan Bu Tirta yang hadir diam-diam duduk memperhatikan dengan kepala sedikit miring—tanda bahwa ia mendengarkan sungguh-sungguh.
Namun saat sesi tanya jawab dibuka, Ardi mengangkat tangan pertama.
“Presentasi ini bagus secara konsep,” ujarnya, “tapi saya ingin tahu, siapa riset tim kamu terkait data demografi yang mendukung kampanye ini? Apakah ada data tentang preferensi pasar terhadap elemen budaya dalam produk kosmetik?”
Tari sempat terdiam. Wajahnya tegang.
“Kami… belum menyertakan data demografi secara eksplisit, tapi kami—”
“Berarti kamu menyajikan strategi yang belum divalidasi,” potong Ardi.
Tari kehilangan kata. Restu mencoba menyela, “Tim kreatif masih dalam tahap penyusunan awal—”
Namun Ardi melanjutkan, “Kampanye sebesar ini tidak bisa dibangun hanya dari ide kreatif tanpa data pasar. Apalagi jika diklaim sebagai ‘terobosan’.”
Seseorang dari divisi keuangan ikut menambahkan, “Kami juga belum melihat proyeksi estimasi ROI dari pendekatan konsep seperti ini. Tidak cukup hanya dengan visual bagus.”
Gilang, yang duduk di sisi kanan ruangan, mendengarkan semuanya tanpa menyela. Matanya tertuju pada Tari.
Dan ia tidak siap dengan yang ia lihat.
Tari berdiri di depan layar, berusaha tetap tegak, tapi suaranya mulai bergetar saat mencoba menjelaskan kembali arah kampanye. Ia menatap satu per satu panelis, mencari dukungan, tapi hanya Restu dan Nana yang tampak benar-benar berada di pihaknya.
Gilang bisa melihat jemarinya gemetar kecil saat menggenggam remote presentasi.
Dan untuk pertama kalinya, hatinya ikut gemetar.
Ini tidak seperti yang ia bayangkan.
Ia kira Tari akan bingung, lalu menyerah. Tapi yang ia lihat adalah seseorang yang mencoba tetap kuat, meski diserang dari segala arah. Dan saat suaranya mulai pelan, Gilang merasa… sesak.
Usai rapat, Tari kembali ke divisi kreatif dengan langkah lesu. Semua menyemangatinya, tapi ia tahu, kampanye yang selama ini mereka siapkan belum mendapat lampu hijau.
Restu mencoba menghibur, “Mereka memang suka keras di awal. Itu bukan soal kamu pribadi, Tar.”
Tapi Tari tahu, sebagian memang soal dia. Karena dia orang baru. Karena dia “trainee misterius” yang tak semua orang tahu latar belakangnya.
Di ruang kerjanya, Gilang duduk mematung. Ia membaca ulang catatan evaluasi rapat, tapi tak satu pun masuk ke kepalanya.
Ia teringat kalimat Tari saat hari pertama mereka bertemu di perpustakaan:
“Aku tahu aku bukan siapa-siapa. Tapi aku ingin mencoba.”
Dan kini ia baru sadar—kalimat itu bukan pernyataan kosong. Tari memang mencoba. Bukan untuk mengalahkan siapa pun. Tapi untuk tetap berdiri di tempat yang orang lain anggap bukan miliknya.
Gilang menoleh ke arah jendela. Ia menatap pantulan dirinya sendiri.
Apa yang kamu lakukan, Gilang?
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Gilang merasa… bersalah.
Dan rasa bersalah itu datang karena ia melihat seseorang yang mulai ia kagumi, mulai ia pedulikan, dipatahkan bukan oleh orang lain—tapi olehnya.
Menjelang sore, Tari masih di kantor. Ia tak langsung pulang. Ia duduk di kursinya, menatap layar laptop yang kosong. Nana sudah pulang lebih dulu, Rega menyelipkan minuman boba ke mejanya dan hanya berkata, “Besok semangat lagi ya.” Riska… entah kenapa justru terlihat puas.
Saat kantor mulai sepi, langkah kaki pelan terdengar dari arah pintu masuk.
Tari menoleh.
Gilang berdiri di sana. Masih mengenakan kemeja putihnya, dasinya sudah dilepas, dan wajahnya… lebih lelah dari biasanya.
“Boleh bicara sebentar?” tanyanya.
Tari hanya mengangguk pelan.
Mereka duduk di meja kecil di dekat jendela. Hening beberapa detik. Lalu Gilang membuka suara.
“Aku tahu tadi berat.”
Tari mengangguk, menatap ke arah gelas plastik berisi sisa minuman.
“Aku juga tahu kamu sudah berusaha,” lanjut Gilang.
Tari menatapnya, pelan.
“Dan aku…” Gilang ragu. Untuk pertama kalinya, ia ragu di hadapan orang lain. “Aku mungkin terlalu keras.”
Tari tersenyum tipis. “Aku tahu kamu memang keras.”
“Bukan itu maksudku,” ujar Gilang cepat. “Maksudku… aku tahu aku membiarkan kamu diuji terlalu keras hari ini. Dan aku… aku minta maaf.”
Tari tidak langsung menjawab. Tapi wajahnya perlahan melembut.
“Aku nggak tahu kamu bisa minta maaf,” katanya, pelan.
Gilang tertawa kecil. “Aku juga baru tahu, dan aku tak mau maaf ini gratis.”
“Maksudmu?” Tanyanya.
“Aku membayar maaf ini dengan bunga minggu ini, bagaimana?”
Tari tak bisa menahan tawanya, “Betapa tinggi harga dirimu, tapi baiklah.”
Dan secara tak sadar Gilang pun tersenyum.
Lalu mereka duduk dalam diam. Tapi suasana antara mereka… berubah.
Tidak ada dendam.
Tidak ada benteng.
Hanya dua orang yang perlahan, dari sisi berbeda kehidupan, mulai membuka pintu kecil di hatinya masing-masing.
Malam sudah jatuh sempurna ketika kantor Kartanegara Beauty benar-benar sepi. Tari keluar dari gedung setelah memastikan semua pekerjaan hari itu selesai. Meski tubuhnya lelah, dan semangatnya sempat turun karena rapat pagi tadi, ia tetap melangkah tegak, menahan napas dalam-dalam seperti mencoba menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja.
Ia melangkah ke halte TransJakarta di seberang jalan. Sejak hari pertama bekerja, ia memang sudah memutuskan untuk tidak meminta antar-jemput dari rumah. Ia ingin menjadi seperti karyawan biasa. Naik busway, pakai ID card seperti staf lainnya, dan makan siang di pantry bersama timnya. Semua demi menjaga jarak dari identitas aslinya—pewaris yang belum diakui secara terbuka.
Dari kejauhan, Gilang yang baru saja keluar dari basement kantor menaiki BMW hitam milik perusahaan. Ia duduk di kursi belakang, mata menatap ke depan dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi. Sopirnya melirik ke kaca spion, menunggu instruksi.
Namun Gilang tiba-tiba mengangkat tangan. “Tunggu.”
Mobil berhenti perlahan di tepi jalan, tak jauh dari halte. Gilang memiringkan kepala, menatap melalui jendela kaca gelapnya. Dan di sana, di bawah cahaya lampu jalan yang kekuningan, ia melihatnya.
Tari berdiri sendiri di pinggir trotoar, tangannya memeluk tas selempang, matanya menatap ke arah kedatangan bus. Rambutnya yang dikuncir rendah digerakkan angin malam. Wajahnya letih, tapi ada ketenangan di sana. Seolah… meski hari ini menyakitkan, ia masih bersyukur bisa menjalani semuanya.
Dan untuk Gilang, pemandangan itu terasa… menyesakkan.
Gadis itu tidak tahu apa-apa tentang permainan kekuasaan, tentang rencana-rencana tersembunyi yang sedang digerakkan di sekelilingnya. Ia hanya datang dengan niat baik. Dengan kerja keras. Dengan harapan kecil untuk menemukan arti hidup barunya.
Dan tugas Gilang… adalah menghancurkannya.
Ia bersandar di kursi, matanya tak lepas dari sosok Tari. Tiba-tiba, dunia terasa sunyi. Tak ada bunyi klakson, tak ada hiruk pikuk kota, hanya degup jantungnya sendiri dan suara hatinya yang gaduh.
Kenapa harus dia? pikirnya.
Kenapa gadis sekuat dan setulus itu yang harus menjadi tumbal dari perang yang bahkan tidak ia mulai?
Bus datang. Tari naik, dan sesaat sebelum pintu tertutup, ia menoleh ke belakang. Matanya menatap ke arah jalan, dan untuk sesaat… pandangan mereka bertemu.
Ia tak bisa melihat Gilang. Tapi Gilang melihatnya.
Dan ia tahu. Perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya tidak bisa dibohongi.
Antara dendam dan kagum. Antara mimpi dan kenyataan. Antara niat menghancurkan dan keinginan melindungi.
Mobil kembali berjalan pelan menyusuri jalanan ibu kota. Gilang masih terdiam. Hatinya seperti medan perang: antara pria yang dibesarkan dalam dingin dan pria yang perlahan mengenal kehangatan lewat sepasang mata gadis sederhana dari Bandung.
Dan ia tak tahu… mana yang akan menang.