Seorang dokter muda yang idealis terjebak dalam dunia mafia setelah tanpa sadar menyelamatkan nyawa seorang bos mafia yang terluka parah.
Saat hubungan mereka semakin dekat, sang dokter harus memilih antara kewajibannya atau cinta yang mulai tumbuh dalam kehidupan sang bos mafia yang selalu membawanya ke dalam bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Malam itu, Liana duduk sendirian di dalam kamar. Cahaya redup dari lampu meja menerangi wajahnya yang masih dipenuhi sisa air mata. Pikirannya berkecamuk, hatinya terasa kosong. Sejak kepergian ayahnya, ia merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Tidak ada lagi sosok yang selama ini diam-diam mengawasinya, melindunginya, meski dari kejauhan.
Ia menggigit bibirnya, menahan sesak di dada. Tatapannya kosong ke arah jendela. Ia tidak bisa tidur, tidak bisa berpikir dengan jernih. Yang ada hanya bayangan tentang ayahnya yang jatuh di pelukannya, darah yang mengalir, dan kata-kata terakhirnya yang terus terngiang di kepalanya.
Di ruangan lain, Luca berdiri dengan wajah cemas. Tatapannya terarah pada Rafael yang duduk di atas ranjang dengan wajah tegang. Luka tembak di tubuh Rafael masih terlihat parah, meski sudah dirawat sebelumnya. Namun, jelas terlihat bahwa pria itu masih merasakan sakit yang luar biasa.
“Kau harus mendapatkan perawatan yang layak,” ujar Luca, nadanya penuh ketegasan. “Liana mungkin sudah melakukan yang terbaik, tapi kita butuh seseorang yang lebih berpengalaman.”
Rafael hanya mendengus pelan, menatap Luca dengan tatapan lelah. “Aku baik-baik saja.”
“Jangan keras kepala,” Luca menggeram. “Aku akan memanggil Dokter Anton.”
Tanpa menunggu persetujuan Rafael, Luca segera melangkah keluar dan menemui Dokter Anton, yang dengan cepat datang dengan peralatan medisnya. Dengan hati-hati, ia memeriksa luka Rafael, membersihkan jahitan yang dibuat Liana, dan memberikan obat penghilang rasa sakit.
“Kau harus beristirahat,” kata Dokter Anton setelah selesai. “Kalau kau terus memaksakan diri, lukamu bisa semakin parah.”
Rafael tidak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong, pikirannya melayang ke arah Liana. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia bisa tidur dengan tenang setelah semua yang terjadi?
Keesokan harinya, langit masih diselimuti warna kelabu saat Liana bangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Wajahnya masih pucat, matanya bengkak karena menangis sepanjang malam. Namun, ada sesuatu yang kini mengisi pikirannya—sebuah tekad.
Dengan langkah pelan, ia berjalan keluar dari kamarnya, menyusuri lorong hingga tiba di depan kamar Rafael. Ia mengetuk pintu perlahan. Tak lama kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan Rafael yang masih tampak lelah, namun matanya langsung fokus saat melihat Liana berdiri di hadapannya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Rafael dengan suara pelan.
Liana mengangguk, meski jelas terlihat bahwa ia tidak benar-benar baik-baik saja. “Aku perlu bicara denganmu.”
Rafael menghela napas dan memberi isyarat agar Liana masuk. Ia duduk di kursi dekat jendela, sementara Rafael bersandar di ranjangnya, menatapnya dengan penuh perhatian.
“Aku ingin mencari tahu lebih banyak tentang ayahku,” kata Liana akhirnya. Suaranya sedikit bergetar, tapi penuh keyakinan. “Aku yakin dia menyimpan sesuatu… sesuatu yang bisa membantu kita menghentikan Adrian.”
Rafael menatapnya dalam diam, lalu mengangguk pelan. “Kau yakin ingin melakukan ini?”
Liana menatapnya balik. Ada api dalam sorot matanya, sesuatu yang tak pernah Rafael lihat sebelumnya.
“Ayahku meninggal karena ini,” bisik Liana. “Aku tidak akan membiarkan pengorbanannya sia-sia.”
Rafael mengamati ekspresi gadis itu, lalu akhirnya berkata, “Baik. Kita akan mencari tahu. Maafkan aku Liana, karena aku kau harus terbawa dalam situasi ini. Aku benar-benar minta maaf karena sudah membawamu ke dunia yang berbahaya ini." ujar Rafael dengan penuh penyesalan.