NovelToon NovelToon
TANGAN IBLIS HATI MALAIKAT

TANGAN IBLIS HATI MALAIKAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Balas Dendam / Raja Tentara/Dewa Perang / Ahli Bela Diri Kuno
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Dhamar Sewu

Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 Saudara yang Terluka ---

 –

Bab 12 Saudara yang Terluka

---

Sementara itu, di Kota Gunung Giok, jauh dari Lembah Jiwa Sunyi, sebuah rumah teh besar tampak tenang di mata pengunjung. Namun di lantai bawah tanahnya, pertemuan rahasia sedang berlangsung.

Grandmaster Liu Zhen berdiri di depan meja batu, mendengarkan laporan Bayangan Neraka yang telah kembali.

“Jadi, kalian gagal.”

Keempat Bayangan Neraka menunduk.

“Dia dilindungi kekuatan spiritual. Dan… gadis itu. Dia bukan gadis biasa.”

Seketika, suara langkah terdengar dari lorong belakang. Seorang pria berjubah hitam dengan rambut panjang, mata tajam seperti pisau, melangkah masuk.

“Biar aku yang mengurus Jiang Hao.”

Liu Zhen menoleh dan tersenyum tipis. “Sudah waktunya kau muncul, Wu Feng.”

Wu Feng. Murid tertua dari Sekte Langit Selatan.

Dulu ia adalah saudara seperguruan Jiang Hao. Tapi ketika Jiang Hao difitnah dan dihukum mati oleh sekte, Wu Feng… tidak membela. Bahkan ikut mengukir pedang ke dada saudaranya.

Dan kini, ia adalah pembunuh bayaran paling berbahaya di wilayah timur. Mata Liu Zhen menyipit saat memandangnya.

“Jangan bunuh dia langsung.”

Wu Feng mengangkat alis. “Lalu?”

“Hancurkan dulu jiwanya. Buat dia merangkak memohon. Biar semua dunia tahu bahwa Jiang Hao yang disebut iblis, tak lebih dari seekor anjing.”

Wu Feng menyeringai. “Sudah lama aku ingin melanjutkan apa yang tertunda.”

---

Tiga hari kemudian, Jiang Hao dan Ling’er melanjutkan perjalanan mereka ke arah selatan. Mereka hendak menuju ke Kuil Langit Senja, tempat para pertapa netral yang tak berpihak pada siapa pun. Di sanalah Ling’er percaya, racun dalam tubuh Jiang Hao bisa dikeluarkan tanpa membangkitkan kembali racun tangan iblis.

Namun di tengah hutan pinus, malam sebelum mereka tiba, Jiang Hao merasakan sesuatu aneh.

“Kau merasakannya?” bisiknya.

Ling’er mengangguk. “Ada… orang yang membuntuti. Tidak seperti sebelumnya. Aura mereka… sangat familiar.”

Tiba-tiba, anak panah melesat dari kegelapan!

Jiang Hao mengayunkan tangannya, menepisnya dengan kekuatan racun. Tapi dari balik bayangan, sesosok pria muncul perlahan. Rambutnya panjang terikat, jubah hitamnya tertiup angin malam, dan di tangannya tergantung pedang perak tua.

“Sudah lama, Jiang Hao.”

Jiang Hao memicingkan mata.

“Wu Feng…”

Wu Feng tersenyum. “Kau masih hidup. Aku nyaris bangga padamu. Tapi sayangnya… aku datang untuk mengakhiri kisahmu.”

---

Pertarungan di antara mereka pun dimulai.

Satu adalah saudara seperguruan yang pernah berbagi ilmu dan roti.

Satunya lagi adalah bayangan masa lalu yang kini berubah jadi pemburu berdarah dingin.

Wu Feng bergerak secepat angin, pedangnya seperti ilusi.

Namun Jiang Hao—meski terluka, meski lemah—masih memiliki kekuatan yang tak bisa diukur: kemarahan.

Cahaya bulan menembus sela pepohonan, menyinari dua sosok yang berdiri saling berhadapan di tengah hutan sunyi. Wu Feng memutar pedangnya perlahan, setiap gerakannya terlatih, nyaris anggun.

“Masih kau simpan jurus ‘Langkah Angin Sepuluh Bayangan’ itu, Jiang Hao?” ejeknya.

“Sayang sekali. Sekarang aku sudah menguasai sebelas.”

Jiang Hao mengepalkan tangan. Urat-urat di tangan kanannya menyembul, hitam berdenyut pelan. Racun dalam tubuhnya masih mengalir—tetapi justru itu yang memberinya kekuatan.

“Aku tidak ingin melawanmu, Wu Feng,” katanya perlahan.

“Tapi jika kau memaksa... aku akan membuatmu menyesal tidak menghabisiku dulu.”

Wu Feng tertawa kecil. “Itu dia Jiang Hao yang aku kenal.”

Tanpa aba-aba, pertarungan pun dimulai.

Pedang Wu Feng menebas cepat ke arah dada Jiang Hao.

Jiang Hao berkelit, lalu menampar udara—hembusan racun dari tangannya membuat daun-daun menghitam begitu tersentuh.

Wu Feng bergerak lincah, tubuhnya seperti bayangan, menghindari racun dengan mudah. Ia melompat, menebas ke bawah.

Clang!

Jiang Hao menangkis dengan sarung tangan logam di tangan kiri. Tapi Wu Feng mengayunkan lututnya ke rusuk Jiang Hao, membuatnya terlempar ke tanah.

“Kau terlalu lembek sekarang!” teriak Wu Feng, menghampiri dengan kilatan tajam di matanya.

“Sejak kapan kau membiarkan orang buta seperti gadis itu menyentuh hatimu?”

Jiang Hao bangkit perlahan. Darah mengalir dari sudut bibirnya.

“Sejak aku menyadari bahwa dunia yang kau bela adalah dunia palsu.”

Wu Feng menegang.

“Jangan bicara seolah kau lebih tahu dariku!”

Kilatan emosi terpendam memancar dari mata Wu Feng. Dia bukan sekadar ingin membunuh Jiang Hao—ia ingin mengubur masa lalunya bersama sang saudara seperguruan.

“Malam itu… kau ingat?” Jiang Hao berkata lirih. “Malam saat guru kita mati. Kau ada di sana. Tapi kau tak mengatakan yang sebenarnya pada para tetua.”

Wu Feng menunduk sesaat. Kemudian mendengus.

“Dia lemah. Guru kita terlalu mempercayaimu, dan lihat hasilnya. Aku menyelamatkan sekte. Aku yang patut menjadi pewaris. Tapi kau… kau malah diberi warisan tangan iblis itu.”

“Warisan yang tak pernah kuminta!”

Jiang Hao menghantam tanah dengan tangan kanannya. Getaran racun merambat, membuat tanah di sekitar kaki Wu Feng retak.

Pertarungan kembali pecah—lebih buas, lebih penuh dendam.

Pedang Wu Feng menari, menebas dari kanan, atas, dan kiri—tiga gerakan dalam satu napas. Jiang Hao menangkis dua, lalu menerima tebasan ketiga dengan tangan iblisnya.

SREEET!

Pedang Wu Feng bergetar. Logamnya mulai berkarat hanya karena menyentuh tangan itu.

Wajah Wu Feng berubah. “Kau… sudah menguasainya sepenuhnya?”

“Belum,” jawab Jiang Hao, “Tapi cukup… untuk mengalahkanmu.”

Jiang Hao melompat ke depan, tangannya mencengkeram lengan Wu Feng dan menyuntikkan racun ke dalam uratnya.

Wu Feng berteriak, lututnya jatuh ke tanah. Tapi sebelum Jiang Hao bisa menyelesaikan, sebuah anak panah melesat ke arah Ling’er yang mengintai di balik pohon!

TWANG!

Jiang Hao menoleh—terlambat. Tapi saat panah nyaris menembus dadanya, cahaya putih menyala dari tubuh Ling’er.

Sinar Roh Terang menangkis panah itu.

Wu Feng melihat itu dan tertawa pahit.

“Jadi benar… gadis itu keturunan Roh Terang… Dunia persilatan akan memburumu, Jiang Hao. Mereka tak akan peduli siapa kau sebenarnya. Iblis… dan pembawa cahaya? Kalian berdua ancaman bagi tatanan.”

Jiang Hao menunduk, memandang bekas luka di tangan Wu Feng.

“Aku tak peduli lagi dengan tatanan dunia persilatan… Tapi aku peduli pada orang-orang yang pernah kucintai. Kau salah satunya dulu, Wu Feng.”

Wu Feng tak menjawab. Ia menghilang ke kegelapan malam, meninggalkan pertempuran yang belum selesai.

---

Di kejauhan, sebuah siluet berdiri di atas tebing, menyaksikan pertarungan dari awal.

Ia mengenakan jubah merah darah, dengan topeng emas yang menutupi separuh wajahnya. Di tangan kanannya, sebuah belati berukir lambang sekte kuno berkilau di bawah cahaya bintang.

“Jiang Hao… tangan iblismu belum seberapa. Kau belum tahu kebenaran yang sebenarnya.”

Angin malam bertiup kencang, membawa aroma darah yang belum lama mengering. Jiang Hao berjalan perlahan, menuntun Ling’er menuruni lereng bukit. Langkahnya berat, bukan karena luka, tapi karena beban hati yang tak kunjung luruh.

"Dia... masih bisa diselamatkan, Jiang Hao?" tanya Ling’er lirih.

Jiang Hao menatap ke depan, ke arah hutan yang diselimuti kabut. “Wu Feng sudah terlalu dalam. Tapi jika aku bisa menebusnya... aku akan.”

Mereka belum sampai sejauh satu li dari tempat pertarungan terakhir, ketika tanah bergetar pelan. Kabut di depan mereka menggulung, lalu muncul empat sosok bersenjata, jubah hitam melambai seperti sayap gagak.

“Atas nama Sekte Langit Timur, kami menuntut darah Jiang Hao.”

Salah satu dari mereka melemparkan gulungan kain merah ke tanah. Simbol besar sekte tua tergambar di sana: dua ekor naga melilit pedang.

Ling’er bergidik. “Mereka… pemburu darah. Pembasmi pemberontak.”

Jiang Hao menatap para pria itu. Masing-masing mengenakan topeng logam, wajah mereka tak terlihat. Tapi dari aura yang terpancar, jelas mereka bukan sekadar petarung biasa.

“Kalian datang terlalu cepat,” kata Jiang Hao tenang.

to be continued ✍️

1
Daryus Effendi
pegunungan menjulang tinggi dan di tutupi kabut yg tebal
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh
Dhamar Sewu: wkwk, 🙈. Maaf, bos. Untuk tambahan jumlah kata, masukan diterima 😁
total 1 replies
spooky836
sampai bila2 pun penulis dari cerita plagiat ni,tak mampu nak teruskan. cerita ini tamat di sini. kerana mc otak kosong. cerita hasil plagiat. benar2 bodoh dn sampah.
spooky836: baguslah. jangan sampai mampus di bab 26 tu. banyak dh karya lain terbengkalai macam tu je.
Dhamar Sewu: Plagiat di mana, kak? Karya siapa?
Cerita ini masih bersambung 😁oke.
total 2 replies
Abah'e Rama
lanjut 💪💪
Dhamar Sewu: Semoga suka, kak. Siap 💪🔥
total 1 replies
Zainal Tyre
coba simak dulu ya
Dhamar Sewu: Semoga suka, bos!
total 1 replies
Suki
Terinspirasi
Dhamar Sewu: Semangat, Kak 💪 hehe 😊
total 1 replies
PanGod
mantap bang. jangan lupa mampir juga ya bang🙏🏻
Dhamar Sewu: Siap, Kak. Terimakasih sudah berkunjung. Nanti setelah download aplikasinya, masih bingung ini 😁.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!