Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13 Romi aditama
Romi duduk di meja kerjanya, memandangi sebuah foto yang sudah hampir lecek di tangannya. Foto itu adalah kenangan dari masa SMA, dengan dirinya yang tersenyum lebar, meski terlihat sedikit cerah karena sudah terlipat-lipat dan usang. Kadang-kadang, Romi tertawa kecil sendiri, seolah-olah dia sedang berbicara dengan orang di dalam foto itu. Matanya fokus, seolah-olah dia terperangkap dalam kenangan yang sangat mendalam.
David, asisten Romi yang serba bisa, sedang berada di dekat meja kerjanya, diam-diam mengamati tingkah laku majikannya. Dia bisa merasakan ada yang aneh dengan Romi akhir-akhir ini. Romi, yang biasanya dingin dan serius, kini malah bisa tersenyum-senyum sendiri seperti orang yang baru jatuh cinta. Ini adalah pemandangan yang langka—dan cukup membingungkan—bagi David.
“Si bos udah 3 tahun nggak senyum, sekarang malah senyum-senyum sendiri. Apa dia udah gila ya?”pikir David dalam hati, sambil mengerutkan kening.
Akhirnya, David tak bisa menahan diri lagi. Dengan gaya bicara yang sedikit usil, dia mendekat dan menyapanya. “Bos, sampai kapan sih liatin foto itu? 10 menit lagi kita ada meeting, bos.”
Romi langsung tersentak dan memutar tubuhnya, wajahnya berubah sedikit merah. “Sial, ganggu aja lu!” jawabnya, hampir tanpa berpikir.
David hanya mengangkat bahu dengan ekspresi bingung. “Buset, ujug-ujug marah, padahal tadi senyum-senyum sendiri. Kenapa sih, bos?”
Romi menatapnya dengan tatapan tajam. “Kenapa sih lu terus ganggu gue? Ga liat apa gue lagi seneng? Gue cuma lagi inget hal-hal baik dari masa lalu, nggak ada salahnya, kan?” Dia bahkan membuang pandangannya lagi ke foto itu, seolah enggan melepaskannya.
David, yang mulai merasa canggung, tiba-tiba saja berlutut dengan tangan terkepal di depan dada, seolah-olah sedang melakukan doa syukur. “Alhamdulillah! Akhirnya! Keajaiban terjadi! Bos gue… bisa senyum lagi setelah 3 tahun!” Dia bahkan menoleh ke langit-langit kantor, seperti mencari tanda-tanda kebaikan dari atas.
Romi memandang David dengan ekspresi kebingungan, menyipitkan mata. “Lu ngapain sih? Lagi manggil hujan?”
David tetap berlutut, menatap Romi dengan penuh kekaguman. “Gue lagi melihat keajaiban, bos! Tiga tahun, bos, tiga tahun kehilangan senyuman bos yang legendaris itu. Sekarang… bos bilang kalau lagi senang! Mudah-mudahan, bos bisa dapet cewek pengganti Azizah, deh. Kalau udah senyum kayak gini, pasti ada yang tertarik, kan?”
Romi mengangkat alis, tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala dengan geli. “Lu ini emang lebay, ya. Gue cuma lagi… nginget masa SMA aja. Tapi ya, siapa tahu...” Romi terkekeh pelan, seolah mengakui sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan belaka.
David bangkit dari posisinya dengan wajah serius. “Ya, ya, gue ngerti kok. Cuma, gue harap aja senyum bos ini bukan cuma buat foto itu doang, ya. Biar dunia lihat, bos tuh bisa bahagia lagi!”
Romi menatapnya, tertawa kecil, lalu beranjak dari kursinya. “Oke, udah cukup. Kita ke meeting, ya. Kalau sampe lu ganggu gue lagi, gue kirim lu ke HRD,” ujarnya dengan nada setengah serius, setengah bercanda.
David melongo, tapi kemudian tersenyum lebar. “Siap, bos! Tapi gue cuma mau ngeliat senyum itu lebih sering. Biar kantor juga jadi lebih cerah!”
Romi dan David melangkah bersama menuju ruang rapat. Mereka berdua adalah idola di kantor—Romi, CEO yang tegas dan misterius, serta David, asisten CEO yang selalu memancarkan pesona. David, dengan senyum lebar dan gaya santainya, selalu berhasil menarik perhatian para perempuan di sekitar. Sementara itu, Romi lebih seperti es yang terjebak di kutub utara, dingin dan sulit dijangkau. Tidak ada senyum di wajahnya, hanya ekspresi serius yang membuat orang enggan mendekat.
David melirik ke kanan dan kiri, melihat para pegawai yang tidak bisa berhenti mengagumi mereka. "Wah, sepertinya hari ini aku dapat perhatian lebih nih, Bos," ujarnya dengan nada bercanda, matanya menyapu ruangan dengan penuh percaya diri.
Romi hanya mengangguk sedikit, tanpa berkata apa-apa. Dalam pikirannya, ada banyak hal yang mengganggu—terutama mengenai Azizah. Ia terus bertanya-tanya, seolah suara-suara di kepalanya tidak bisa berhenti berputar.
“Aziza kenapa kamu di apartemen Cindy? Aziza, kenapa kamu tampak sendu? Aziza, kenapa kamu seperti tidak baik-baik saja? Aziza, kenapa perut kamu buncit? Kemana suamimu? Harusnya kamu didampingi suamimu dalam kondisi seperti itu... Aziza, kenapa kamu, Aziza, kenapa kamu...”
Hingga tiba-tiba…
Bugh!
Romi tersandung langkahnya dan menabrak punggung David yang tiba-tiba berhenti di depannya. Romi hampir terjatuh, tapi cepat-cepat menahan diri.
“Kalau berhenti, itu lihat-lihat naraka gue,” serunya kesal, sambil mengusap dadanya yang hampir tersentak.
David yang menyadari kesalahannya hanya bisa tertawa kecil. “Astaga, bos! Dari tadi ngelamun aja, kenapa sih? Mungkin bos butuh istirahat? Jangan sampe kepala nyangkut di awan terus, dong!”
Romi menggelengkan kepala, tak ingin terjebak dalam pembicaraan panjang. "Udah, ga usah dibahas. Mari kita rapat, udah hampir waktunya," jawabnya, dengan nada tegas tapi sedikit melunak, seperti seseorang yang berusaha mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang mengganggu.
David memandang Romi sejenak, lalu tersenyum lebar. "Tentu, bos. Tapi hati-hati, jangan sampai kebanyakan mikir, nanti otaknya keblokir!" ujarnya dengan nada bercanda, meski Romi hanya mengangkat alis dan kembali berjalan tanpa menjawab
Rapat dimulai dengan suasana yang cukup tegang. Di ruang rapat yang terletak di lantai atas, para eksekutif sudah duduk rapi, menunggu CEO mereka, Romi. Ruangan itu penuh dengan orang-orang penting, tapi mereka semua tahu siapa yang paling penting di sini. Semua mata tertuju ke kursi di ujung meja, tempat Romi seharusnya duduk dengan wibawa yang tak terbantahkan. Namun, hari ini, suasana sedikit berbeda. Romi duduk dengan mata kosong, tatapannya entah kemana. Pikirannya melayang jauh, seperti awan yang terbang tanpa tujuan. Di sebelahnya, David duduk dengan ekspresi ceria dan penuh semangat—sepertinya lebih fokus daripada Romi sendiri.
Romi, yang terkenal dengan sikap serius dan tegas, kali ini tampak jauh dari citra tersebut. Dia tampak tenggelam dalam dunia pikirannya sendiri. Tiba-tiba, suara seorang manajer memecah keheningan rapat.
“Pak Romi, kita akan mulai dengan laporan keuangan bulan ini,” kata manajer itu, sambil membawa tumpukan dokumen tebal ke meja. Semua mata langsung tertuju pada Romi, berharap ada reaksi. Tapi, Romi malah menatap layar laptopnya, seolah-olah dia sedang melihat ke dalam jurang yang tak terlihat ujungnya. Sepertinya, dia lebih tertarik pada layar kosong itu daripada materi presentasi yang sedang dibahas.
David yang duduk di sebelah Romi mulai merasa gugup. Ia tahu ini tidak akan mudah. Biasanya, Romi adalah orang yang selalu perhatian dengan setiap detail, tapi kali ini... “Bos, itu kamu harus dengerin, tuh,” bisik David pelan, tapi cukup keras agar Romi bisa mendengarnya.
Namun, Romi tidak menggubris. Dia malah terbenam lebih dalam dalam pikirannya. “Aziza, andai kamu jadi istriku, aku akan selalu mendampingimu setiap saat, apalagi saat hamil seperti ini. Akan ku cari suamimu, akan ku ikhlaskan kamu untuk bahagia, bukan untuk menderita…” pikir Romi, matanya menerawang ke depan.
Di sisi lain, David mulai merasa cemas. Dia sudah berusaha memanggil perhatian Romi, tapi tampaknya sia-sia. Akhirnya, salah satu manajer, dengan suara cemas, bertanya lagi. “Bagaimana, Pak Romi? Apa penilaian Anda tentang materi ini?”
Romi hanya mengangkat bahu sambil melirik David sejenak. “Kalian serahkan semua ke David, biar dia yang urus,” jawab Romi dengan singkat, tanpa sedikit pun penekanan pada materi yang baru saja disampaikan.
David mengerutkan kening dan memandang Romi dengan rasa heran. “Bos gue nggak biasanya kayak gini. Biasanya dia super detail, sampe ujung-ujung materi pun dia periksa. Kok sekarang malah... serahkan ke David?!” batin David, semakin bingung.
Presentasi berlanjut, dan para eksekutif menyampaikan materi mereka dengan penuh antusiasme, sementara Romi sama sekali tidak menunjukkan minat. Dia hanya sesekali melirik ke bawah meja, tampak lebih tertarik pada ujung sepatu David daripada apa yang dibicarakan di hadapannya.
Di dalam hati, Romi mulai terlarut lagi dalam pikirannya. “Azizah, oh Azizah, kenapa kamu makin cantik aja? Tapi… tidak, Azizah sudah milik orang lain sekarang. Kenapa sih, pikiran ini nggak bisa berhenti?”
Rapat semakin kacau. Ketika manajer keuangan bertanya, “Pak Romi, bagaimana pendapat Anda mengenai presentasi ini?” Romi, yang masih dengan tatapan kosong, menoleh perlahan ke arah manajer itu dan berkata dengan suara datar, “Kalian serahkan semuanya pada David.”
Semua orang di ruangan itu mengerutkan kening, saling pandang dengan tatapan bingung. “Ada apa dengan Bos Romi hari ini?” pikir mereka. Tapi tidak ada yang berani bertanya lebih lanjut. Rapat berlanjut, dengan setiap pembicaraan diakhiri dengan jawaban yang sama. “Serahkan pada David.”
David mulai merasa gila. Ia berusaha tersenyum meskipun dalam hatinya, ia sedang terjepit oleh tugas-tugas yang semakin menumpuk. Setiap kali Romi berkata, “Serahkan pada David,” ia merasa seperti sedang dipakai sebagai mesin pengerjaan tugas tanpa ampun.
“Gila, gue kayak dioper-operin terus, ya? Tapi ya, kalau Bos udah bilang gitu, apa boleh buat,” batin David, mencoba menenangkan diri meskipun hatinya mulai terbakar.
Di luar, para pegawai kantor mulai berbisik. “Apa Bos Romi lagi ada masalah, ya? Kok kayaknya hari ini dia nggak fokus banget?”
David hanya bisa tertawa canggung dan mencoba mengalihkan perhatian. “Oke, bos! Tentu saja, semua ke David!” ucapnya dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Setelah rapat selesai, para eksekutif mulai keluar satu per satu dari ruang rapat, meninggalkan Romi dan David yang masih duduk di meja. Suasana mulai mereda, dan yang tersisa hanyalah deru AC yang menyelimuti ruangan. David menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri setelah rapat yang penuh ketegangan dan kebingungan.
David memandang Romi yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menunjukkan tanda-tanda penyesalan atau perubahan sikap. Dia tampak seolah-olah rapat tadi adalah hal biasa baginya—padahal, David tahu betul bahwa ini adalah salah satu rapat terburuk yang pernah ia alami.
“Bos, gue serius deh,” kata David, sambil menatap Romi dengan ekspresi agak kesal, tapi ada sedikit canda di wajahnya. “Masa semua diserahin ke gue? Gue hampir mati mikirin itu semua, lo tahu nggak?”
Romi yang sedang fokus menatap layar laptopnya, tidak menggubris. Dia hanya mengangguk pelan, lalu mengetik beberapa kata di keyboardnya. “Emang gue ngomong apa tadi?” jawab Romi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
David terdiam sejenak, lalu menyentuh meja dengan kasar, membuat Romi akhirnya menoleh padanya. “Astaga, Bos! Lu nggak inget apa yang baru aja lu bilang? ‘Serahin semua ke David,’ terus lo malah santai aja! Gue pikir lu bakal bimbing gue, tapi ternyata gue yang jadi bimbingan buat semua kerjaan!” ujarnya dengan nada dramatis, sambil menggulung kertas yang ada di meja.
Romi akhirnya berhenti mengetik, meletakkan laptopnya, dan memandang David dengan ekspresi tak berdosa. “Sudahlah, gue kasih bonus banyak bulan ini,” jawabnya dengan santai, seolah itu bisa menyelesaikan semuanya.
David terdiam sejenak, otaknya memproses apa yang baru saja didengar. Lalu, tiba-tiba wajahnya berubah cerah, seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru. “Bonus?! Wah, kalau gitu, ok deh, Bos!” ucap David dengan suara riang, matanya berbinar. “Bonus yang gede, kan? Lebih banyak dari biasanya, ya?”
Romi mengangguk santai. “Iya, bonus gede. Tapi ingat, David, jangan harap gue ingat apa-apa soal kerjaan kalau lo terus begini. Lo yang urusin semua.”
David memutar bola matanya, mencoba tetap menjaga ekspresi serius. “Oke deh, Bos! Gue akan kerja keras untuk itu... bonus yang berlimpah!” jawabnya dengan senyum lebarnya.
Romi hanya tersenyum tipis dan kembali menatap layar laptopnya, tampak tak terpengaruh dengan kehebohan yang baru saja terjadi. "Oke, lo lanjutin kerjaan lo. Gue lagi sibuk mikirin sesuatu," katanya sambil mengklik beberapa file di layar laptop.
David menggelengkan kepala, mencoba menahan tawa. “Gue bisa kerja semalaman nih, Bos, kalau bonusnya seberapa gede itu.”