Hidup Syakila hancur ketika orangtua angkatnya memaksa dia untuk mengakui anak haram yang dilahirkan oleh kakak angkatnya sebagai anaknya. Syakila juga dipaksa mengakui bahwa dia hamil di luar nikah dengan seorang pria liar karena mabuk. Detik itu juga, Syakila menjadi sasaran bully-an semua penduduk kota. Pendidikan dan pekerjaan bahkan harus hilang karena dianggap mencoreng nama baik instansi pendidikan maupun restoran tempatnya bekerja. Saat semua orang memandang jijik pada Syakila, tiba-tiba, Dewa datang sebagai penyelamat. Dia bersikeras menikahi Syakila hanya demi membalas dendam pada Nania, kakak angkat Syakila yang merupakan mantan pacarnya. Sejak menikah, Syakila tak pernah diperlakukan dengan baik. Hingga suatu hari, Syakila akhirnya menyadari jika pernikahan mereka hanya pernikahan palsu. Syakila hanya alat bagi Dewa untuk membuat Nania kembali. Ketika cinta Dewa dan Nania bersatu lagi, Syakila memutuskan untuk pergi dengan cara yang tak pernah Dewa sangka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadai kalung
Saat terbangun, Syakila menyadari bahwa dirinya sudah berada di rumah sakit. Seluruh tubuhnya masih terasa sangat lemas. Wajahnya pucat seperti tak ada darah yang mengalir.
Namun, saat melihat sosok yang datang, tenaganya seolah terisi kembali.
"Syakila, kamu sudah sadar?"
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Nania masuk sambil berlari dan menghampiri Syakila.
Plak.
Tanpa tedeng aling-aling, Syakila langsung menampar Nania dengan keras. Dia tahu, Nania-lah yang sudah meracuninya.
Sang kakak angkat sudah berani bermain-main dengan nyawa Syakila. Dan, menurut Syakila, hal itu sudah sangat keterlaluan.
"SYAKILA, APA YANG KAMU LAKUKAN!?" hardik Dewa penuh amarah.
Dia masuk dengan terburu-buru. Segera memeluk Nania dengan erat.
"Apa kamu sudah gila, hah? Berani-beraninya, kamu menampar Nania!" lanjut Dewa.
"Dia yang sudah gila. Dia berani meracuni aku," balas Syakila.
"Nania meracuni kamu?" Dewa tersenyum sinis. "Jangan asal menuduh, Syakila!"
"Aku tidak asal menuduh. Memang dia pelakunya," ujar Syakila bersikeras.
Nania memegang ujung lengan kemeja Dewa. Air matanya tumpah dengan sangat mudah.
"Dewa, sepertinya Syakila salah paham. Aku tidak mungkin tega meracuninya. Kamu... percaya padaku, kan?"
Tatapan Dewa tampak melunak. Dia mengelus puncak kepala Nania dengan begitu lembut.
"Tentu saja aku percaya padamu," jawab Dewa.
Nania tersenyum penuh kemenangan. Dia menatap Syakila, dengan kedua alis yang terangkat tinggi. Seolah-olah, ia sedang mengatakan bahwa dirinyalah pemenang sesungguhnya.
"Syakila!" bentak Dewa. "Nania juga korban. Dia juga keracunan. Jadi, mana mungkin dia yang tega meracuni kamu."
Syakila mendengus sinis. Kali ini, dia malas berdebat lagi. Mau seperti apapun dia menjelaskan pada Dewa, Dewa tak akan pernah percaya kepadanya.
"Terserah, kamu mau bilang apa," ucap Syakila dengan nada pelan.
Degh.
Jantung Dewa rasanya tak enak sekali saat melihat tatapan Syakila yang seolah sudah menyerah dengan hubungan mereka. Harapan dan cinta yang sering Dewa lihat selama beberapa bulan ini tampak sudah sirna.
Dan, entah kenapa, Dewa merasa baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
"Pokoknya, aku tidak mau mendengar kamu menyalahkan Nania lagi! Dia perempuan yang baik hati. Dia tidak sejahat yang kamu pikirkan, Syakila!" ucap Dewa.
Syakila tak peduli sama sekali. Dia memilih untuk kembali berbaring.
"Syakila, kamu masih lelah, ya? Mau tidur lagi?" tanya Nania. Dia kembali mendekat ke arah Syakila.
"Dewa, kamar ini terlalu ribut untuk Syakila. Ranjangnya juga sangat kecil. Bagaimana, kalau aku menyerahkan kamar VIP-ku saja untuk Syakila?"
Nania sengaja mengatakan hal itu. Dia ingin Syakila tahu bahwa Dewa sengaja memesan ruang VIP untuk dirinya sementara untuk Syakila hanya ruangan biasa.
"Tidak usah," tolak Dewa. "Dia layak tinggal di sini. Siapa suruh, dia berani menuduh dan menampar kamu."
Tatapan Dewa begitu dingin. Namun, Syakila tak mau peduli sama sekali.
"Tapi..."
"Jangan terlalu baik, Nania! Nanti, dia akan semakin menindas kamu."
"Bisa kalian keluar?" sela Syakila. "Aku ingin istirahat."
Nania menggeram kesal. Berani-beraninya, sang adik angkat malah mengusirnya.
"Nania, ayo kita keluar!" ajak Dewa yang juga merasa kesal. Syakila sudah sangat berubah. Dewa merasakan hal itu.
****
Setelah Dewa kembali ke kantor, Nania kembali menemui Syakila. Dia datang dengan wajah dipenuhi ekspresi kemenangan.
"Nyawamu ternyata banyak juga, ya! Sudah berkali-kali menghadap ke gerbang kematian tapi tidak pernah sampai benar-benar masuk ke dalam neraka," ucap Nania sarkas.
"Aku sedang malas meladeni sandiwara mu. Pergilah!" usir Syakila.
Namun, Nania tak peduli. Dia justru duduk di kursi yang terletak di samping brankar Syakila.
"Syakila, lihatlah! Pada akhirnya, hanya aku yang akan berdiri di sisi Dewa. Sementara, kamu? Selamanya, kamu hanya akan menjadi bayangan. Kamu hanya akan menjadi pembantuku saja. Kamu hanya akan menjadi pengasuh untuk anakku!"
Nania tertawa senang. Nasib baik memang akan selalu berpihak kepadanya.
"Kalau kamu merasa percaya diri sudah menjadi pemenang, lantas kenapa kamu masih harus repot-repot kemari untuk menjelaskan semuanya kepadaku? Ada apa, Nania? Apa kamu merasa kurang percaya diri? Apa kamu takut kepadaku? Takut aku merebut Dewa dari sisimu?" cecar Syakila dengan seringai tipis di wajahnya.
"Diam!" hardik Nania.
"Kenapa aku harus diam?" tanya Syakila. "Apa karena semua yang aku katakan adalah kebenaran?"
Prang.
Nania mendorong tiang infus Syakila hingga jatuh. Jarum yang menancap dipunggung tangan Syakila mau tak mau terlepas secara kasar hingga menyebabkan pendarahan.
Syakila pun meringis kesakitan. Namun, disela rasa sakit yang dia derita, ada kepuasan tersendiri karena tahu bahwa dirinya adalah pemenang dari perdebatan ini.
"Kamu tidak akan pernah menang!"ucap Nania. Dia segera mengambil pisau buah lalu melukai dirinya sendiri. Setelah itu, dia memaksa Syakila memegang pisau itu.
"Arghh! Sakit," teriak Nania.
Selang beberapa saat, ada perawat yang mendekat. Dia histeris saat melihat lengan Nania yang terluka.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya perawat itu.
Yang ditanya hanya menggeleng. "Aku tidak melakukan apa-apa. Dia melukai dirinya sendiri."
Perawat itu tak berkata apa-apa lagi. Posisi pisau buah yang menjadi alat kejahatan sudah jatuh ke lantai. Perawat tersebut tak bisa memvonis Syakila tanpa bukti apapun.
"Tunggu saja! Aku akan pastikan kamu lebih menderita lagi!" desis Nania sebelum dibawa pergi oleh sang perawat.
Syakila mencengkram sprei kuat-kuat. Dia mengeratkan rahangnya. Syakila tahu, dia harus segera meninggalkan tempat ini. Secepatnya.
"Viola, apa kamu bisa datang menemui ku di rumah sakit?" tanya Syakila kepada Viola melalui sambungan telepon.
Disentuhnya bandul kalung safir yang ia kenakan. Hatinya merasa berat, namun ini jalan satu-satunya.
****
"Syakila, apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa masuk rumah sakit?" pekik Viola khawatir.
"Aku tidak apa-apa. Hanya keracunan makanan," jawab Syakila.
"Astaga, Syakila! Kenapa kamu kurus sekali? Apa Dewa tidak memperlakukan kamu dengan baik?"
Dan, mengalirlah cerita Syakila tentang Dewa dan Nania. Termasuk, sandiwara pernikahan yang sedang Dewa mainkan.
"Laki-laki itu benar-benar keterlaluan! Dia sudah menyakiti kamu tapi masih tidak mau melepaskan kamu? Dia benar-benar biadab."
"Viola, aku butuh bantuan mu," ucap Syakila dengan mata memerah.
"Apa yang bisa aku bantu, Syakila?" tanya Viola.
Syakila menarik napas panjang. Sepasang tangan putihnya perlahan melepas kalung safir yang dia kenakan. Benda tersebut ia berikan kepada Viola.
"Apa maksudmu, Syakila?" tanya Viola tak mengerti.
"Keluargamu bergerak di bisnis perhiasan, kan? Jadi, kamu pasti mengerti berapa nilai kalung ini."
Viola meneliti kalung itu dengan seksama. "Kalau dijual, kalung ini bisa mencapai harga tiga miliar lebih. Materialnya tak hanya ada batu safir saja. Tapi, ada batu berlian juga. Dan... kalung ini juga sepertinya hanya ada satu di dunia. Modelnya unik. Dibelakang kalung ini ada ukiran namamu, Syakila."
"Kalau aku ingin menggadaikan kalung ini padamu, apa kamu bersedia?" tanya Syakila.
"Kenapa kamu tiba-tiba ingin menggadaikan kalung ini? Bukannya, kalung ini sangat berharga untuk mu?"
"Justru, karena berharga, makanya aku hanya ingin menggadainya saja dan bukan menjualnya. Itu pun, hanya kepadamu saja, Viola."
"Apa kamu sedang butuh uang, Syakila?" tanya Viola.
" Ya, aku butuh dua miliar," jawab Syakila.
Viola pun menghela napas panjang. "Kalau hanya dua miliar, kamu tidak perlu menggadaikan kalungmu, Syakila. Aku bisa meminjamkan kepadamu tanpa perlu jaminan apa-apa."
Syakila reflek menggeleng. "Jangan," tolaknya. "Aku ingin kamu tetap memegang kalung ini sampai aku mampu mengganti seluruh uangmu."
"Syakila, sebenarnya kamu butuh uang ini untuk apa?" tanya Viola penasaran. Ia tahu betapa berharganya kalung itu untuk Syakila. Bahkan, Syakila menjaga kalung itu jauh lebih baik dibanding nyawanya sendiri.
Syakila diam sesaat sebelum menjawab, " aku butuh uang itu untuk biaya kematian ku."
lah
semoga syakila bahagia dan bisa membalas dendam terhadap keluarga dito yang sangat jahat
menanti kehidupan baru syakila yg bahagia...