Rahasia Hati

"Kinan, ayo turun." Ajak Azka usai melepas seat belt di tubuhnya. Mobilnya baru saja terparkir di pelataran rumahnya, namun Kinan hanya bergeming dengan pandangan nampak kosong.

"Kenapa Bang Azka mau melakukan ini semua?" Tanya Kinan. Sebelum meninggal rumah sakit, ia sudah mengatakan pada Azka ingin menggugurkan kandungannya namun suaminya itu tetap bersikeras ingin mempertahankan. Bahkan sebelum meninggalkan rumah sakit, Azka memaksanya untuk melakukan USG, memperlihatkan janin yang tak berdosa itu agar hatinya luluh.

Azka menghela nafas panjang, "Kinan, kita sudah membahasnya di rumah sakit tadi. Jadi sekarang ayo kita masuk dan kita beritahukan pada Papa dan Mama. Dan besok kita ke rumah Ibu kamu." Ujarnya. Dengan segala pertimbangan ia siap menerima semua resikonya. Bahkan jika seluruh keluarga mencapnya buruk karena kehamilan Kinan.

"Tapi ini bukan anak kamu, Bang!" Suara Kinan mulai meninggi. Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikir Azka. Kenapa harus mengorbankan masa depannya sendiri dengan mempertaruhkan harga dirinya. Setelah mereka masuk ke rumah dan mengatakan kehamilannya, papa Rangga dan mama Flora pasti akan kecewa pada Azka yang selalu mereka banggakan.

"Mama Flora juga bukan Mamaku, tapi setelah menikah dengan Papa, Mama Flora juga menjadi Mamaku." Ucap Azka.

Kinan diam, dia tidak tahu harus berkata apalagi. Ia memejamkan mata sembari menghela nafas berat. Ia belum siap jika semua keluarga harus mengetahuinya, bukan hanya tentang malu tapi ia juga tidak tega jika Azka yang akan disalahkan. Dalam hatinya merutuki Raka yang menyebabkan semua penderitanya ini.

'Maafkan aku, Kinan. Aku melakukan ini semua karena sedang menjaga hati seseorang, tapi aku benar-benar serius ingin bayimu tetap lahir. Betapa jahatnya aku jika membiarkan janin yang tak berdosa itu harus digugurkan. Dia berhak hidup dan melihat dunia ini,' ucap Azka dalam hati.

"Kinan, ayo turun."

Kinan membuka mata, melepaskan seat belt di tubuhnya lalu turun dari mobil. Begitupun dengan Azka.

Keluarganya sedang berkumpul di ruang tengah saat mereka berdua masuk. Alesha beranjak menghampiri keduanya.

"Kinan, kamu gak apa-apa kan? Tadi aku juga ada di rumah sakit tapi gak sempat jengukin kamu karena Bang Raka buru-buru ngajakin pulang," ucap Alesha.

Kinan hanya diam, dia tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan Alesha.

"Al, nanti aku kasih tahu. Sekarang aku harus mengantar Kinan dulu beristirahat di kamar." Ucap Azka. Tadinya ia ingin langsung menghadap pada orangtuanya bersama Kinan, tapi melihat ada Raka di ruangan itu, ia memilih untuk mengatakannya sendiri. Kinan pasti tidak akan tahan berhadapan dengan Raka.

Mama Flora menatap kepergian putra dan menantunya dengan tatapan cemas, menahan keinginannya untuk tahu apa yang terjadi pada Kinan sampai Azka kembali memberitahu. Beberapa saat lalu Alesha mengatakan bahwa Kinan pingsan dan dilarikan Azka ke rumah sakit.

Sesampainya di kamar, Azka menuntun istrinya untuk berbaring di tempat tidur lalu menarik selimut menutupi tubuhnya.

"Istirahatlah, aku akan menemui Papa dan Mama."

"Bang," panggil Kinan saat Azka telah berbalik untuk keluar dari kamar.

Azka menoleh, "Ada apa?" Tanyanya.

"Terima kasih untuk semuanya, aku tidak akan pernah bisa membalas semua kebaikan Abang." Kata Kinan, netranya berkaca-kaca menatap Azka.

Azka hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, kemudian kembali mengayun langkah keluar dari kamar.

Sesampainya di ruang tengah, Azka langsung mengambil tempat duduk di tengah-tengah orangtuanya. Tatapannya tertuju pada Raka, sorot matanya menajam menatap adiknya itu.

"Azka, apa yang terjadi pada Kinan, dia baik-baik saja kan?" Tanya mama Flora tak sabaran.

"Kinan baik-baik saja, Ma. Kinan sedang hamil." Ucap Azka dengan lantang, tanpa kegugupan sedikitpun yang menderanya.

"Apa, hamil?" Mama Flora tercengang, begitupun dengan papa Rangga. Sepasang paru baya itu saling tatap tampak terkejut.

Alesha yang duduk di samping Raka tak kalah terkejutnya mendengar pengakuan Azka. Sementara Raka tampak biasa saja.

"Azka, jangan bercanda. Kalian menikah belum genap sepuluh hari."

"Aku gak bercanda Pa, Ma. Kinan memang sedang hamil, tanya saja pada Kak Kia. Dia yang memeriksa Kinan di rumah sakit." Kata Azka.

"Jadi ini alasan kamu tiba-tiba ingin menikahi Kinan? Kamu sudah menghamilinya?" Suara papa Rangga meninggi, ia benar-benar tak percaya putra kebanggaannya bisa berbuat diluar batas.

Azka turun dari tempat duduknya, ia bersimpuh di hadapan kedua orangtuanya. "Maafkan aku Pa, Ma." Hanya itu yang dapat Azka katakan. Ia benar-benar tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Biarlah kedua orangtuanya mengira ia yang menghamili Kinan.

"Papa kecewa sama kamu," papa Rangga beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan Azka yang masih bersimpuh di lantai.

Tanpa berkata apapun, mama Flora pun beranjak menyusul suaminya.

Azka menatap kepergian kedua orangtuanya dengan tersenyum getir, ia lalu berbalik menatap Raka. Dalam hatinya berkata, 'Lihatlah betapa kecewanya Papa dan Mama atas perbuatanmu, Raka.'

Di atas anak tangga, air mata Kinan menetes menyaksikan itu semua. Ia keluar dari kamar tak lama setelah Azka pergi. Mana mungkin ia bisa beristirahat dengan tenang di kamar sementara Azka sendirian menanggung kesalahan yang tidak pernah diperbuatnya.

Tidak selesai sampai di sini, besok ia harus bersiap melihat kekecewaan ibunya terhadap Azka yang dia anggap menantu idaman.