Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Memulai
Ucapan Ranti selalu terngiang-ngiang di telinga Anindya sejak kemarin. Sejujurnya, Anindya tidak begitu mendengarkan saat berulang kali Ranti mengatakan hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan dirinya dengan Arsatya.
Namun, kini seolah terus diingatkan dengan sepenggal dari runtutan kalimat yang dia dengar sebelumnya dari Ranti bahwa hidup adalah karena takdir illahi.
“Mungkinkah aku berada di titik ini adalah sebuah takdir dari-Nya? Menjadi ibu untuk keponakanku dan istri untuk Mas Satya?” batinnya bersuara sewaktu Ansha berada di gendongannya.
Dua bocah itu kini sudah berusia tiga bulan dan dapat mengoceh lebih jelas, dapat diajak mengobrol, dan tersenyum saat dipanggil namanya.
“Ansha sedang apa? Kenapa pegang-pegang pipi bunda?” ucap Anindya yang memegang jemari bayi Ansha yang sedang menyentuh pipi Anindya saat disusui.
“Bahkan aku ingin dipanggil ‘bunda’ oleh mereka,” ucapnya menyadari perkataannya sendiri.
“Tidak mungkin semakin besar nanti, mereka tidak memiliki sosok yang bisa dipanggil bunda,” pikirnya.
“Tante, Anin ingin dipanggil ‘bunda’ sama mereka,” ucapnya pada Ranti yang sedang menggendong Chesa menunggu giliran untuk disusui.
“Ya, sure. Memang kamulah ibunya sekarang,” jawab Ranti.
“Apa mungkin aku harus mulai menerima semua ini? Sebenarnya, Anin punya trauma dengan laki-laki, Tan.”
Ranti yang semula duduk berjauhan, kini berdiri dan mengelus kepala Anindya. “Semua akan berjalan dengan baik jika kamu mau memulainya dengan baik pula. Menjadi ibu yang baik dan cobalah menjadi istri yang baik, maka semua akan berbalik menjadi kebaikan padamu,” ucap Ranti meyakinkan Anindya untuk mau memulai kembali kehidupannya.
“Sejatinya, pernikahan itu akan menjadi ladang pahala bagi dia yang ikhlas menjalaninya,” tutur Ranti selanjutnya.
“Benar kata Tante Ranti. Hidup tidak akan lama, selagi masih bisa mencari pahala di sisa usia apalagi setelah sah menjadi istri dari seorang suami, apalagi yang aku inginkan? Tidak ada salahnya mencoba untuk memulai,” pikir Anindya di dalam hatinya.
Hari ini, Anindya berniat untuk memulai menerima kenyataan dan melupakan prinsip hidupnya yang enggan untuk menjalani hubungan pernikahan.
“Masa lalu, biarlah masa lalu. Saatnya untuk Anin bangkit bersama Ansha, Chesa, Mama, dan Mas Satya. Jika di antara kalian tidak ada yang memulai, lalu siapa lagi?” kata Ranti memberikan semangat pada menantunya.
Hal pertama yang Anindya lakukan adalah melayani suaminya, membuat masakan kesukaan Arsatya sebagai menu makan malam. Langkah pertama yang dia lakukan adalah menanyakan apa makanan kesukaan Arsatya pada Ranti.
“Dia sangat menyukai sup iga sapi, semua olahan iga sapi dia suka,” jawab Ranti.
“Bantu Anin membuat sup itu, Tan.”
Ranti mengeluarkan buku resep dari laci meja, “Dulu Amelia sering memasak berpedoman buku resep ini,” Ranti mengungkapkan.
“Oh, ya? Ini khusus tentang masakan iga sapi, Tan?” Anindya membolak-balikkan buku masakan yang agak usang dan beberapa halamannya terlepas.
“Iya, itu yang khusus olehan iga sapi, Amelia mengoleksi buku resep lainnya. Ada menu penutup, resep masakan nusantara dan lainnya. Ini semua buku resep ada di sini,” Ranti menunjukkan banyak sekali buku-buku yang tertumpuk rapi di salah satu laci meja secara khusus di bawah meja dapur.
Dengan arahan Ranti dan buku resep itu, Anindya mulai melakukan aksinya. Menuangkan bumbu dan merebus iga sapi sampai terasa empuk. Dia juga tidak lupa membuat sambal kecap sebagai pelengkap, dan bawang goreng siap ditamburkan untuk sentuhan akhir dari masakan supnya.
Sebelum magrib, Anindya mengirimkan pesan pada Arsatya untuk pulang cepat karena dia telah memasak sup untuk dinikmati bersama sebagai hidangan makan malam nanti.
Tidak ada balasan pesan apapun dari Arsatya, selain tanda centang dua berwarna biru yang berarti pesan telah terbaca oleh nomor yang dituju.
“Mas Satya, aku harap Mas pulang sebelum lewat tengah malam. Aku sudah ber-effort menyajikan makan malam untuk kita sekeluarga. Kasihan Tante Ranti sampai ngantuk nunggu kamu,” pesan yang Anindya kirimkan pada suaminya dua jam sebelum masuk tengah malam.
“Aku tunggu, ya. Kalau masih lama, nanti bisa dipanaskan supnya, padahal aku buatnya pakai hati, lho. Biar rasanya meresap sampai ke tulang sapinya,” pesan Anindya tepat di tengah malam.
“Nin, sudah, yuk. Tidur saja, sepertinya Arsatya tidak pulang malam ini,” kata Ranti tiba-tiba yang datang dari belakang mengusap bahu Anindya yang masih setia menunggu. Tangannya masih sibuk menepuk-nepuk paha si kembar yang belum terlelap di sampingnya.
“Apa Mas Satya selalu seperti ini, tidak memberi kabar orang rumah kalau dia telat pulang, Tan? Sesibuk apa pekerjaannya?” tanya Anindya yang sudah lelah menanti di depan ruang TV di temani di kembar yang tertidur di sofa.
Sebelum masuk ke kamar, Anindya menuju ke dapur unntuk menutup dan menyimpan semua masakannya ke dalam rak penyimpanan. Dengan wajah kecewa, Anindya menyayangkan nasib masakannya yang nyaris tidak tersentuh sama sekali.
Di tempat yang agak jauh, Ranti mengabadikan wajah pilu Anindya yang sedang menutup rak penyimpanan makanan dengan hati-hati. Sebuah video pendek Ranti kirimkan pada putranya.
“Bagus, kabari Satya kalau dia sudah tidur, Ma,” balas Arsatya yang sedang berada di tepian jalan raya di dekat rumahnya. Dia tidak merespons sama sekali pesan dari Anindya, malah meminta sang ibunda supaya memberitahu Anindya untuk berhenti menunggunya.
“Jangan berharap apa-apa padaku, Nin. Aku gak akan bisa berpaling dari kakakmu,” ucapnya selagi menancap gas menuju rumah.
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano