Aramina Dwi Fasya, gadis yang menyandang gelar lulusan S1 Pendidikan Ekonomi namun masih mempertinggi angka pengangguran, beban keluarga. Menjadi seorang EXE-L di usia 20 tahun membuat kehidupan gadis itu diwarnai dengan drama serta kehaluan bakal bersanding dengan sang bias favorit, Kay. Berawal dari sebuah konser dan Fanmeeting di ibukota menyadarkannya pada kenyataan bahwa menyentuh sang idol adalah nyata!
Belum lagi sebenarnya banyak kejadian tak terduga yang terasa bagai mimpi melengkapi imajinasinya soal hal paling tidak memungkinkan di dunia ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trii_e, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Kulit Pisang
Dia itu ...
Ketika masa putih abu-abu yang mendebarkan memenuhi cerita dalam lembaran diary. Maaf sebelumnya kalau aku mengaku tidak pernah jatuh cinta, itu kebohongan. Sepotong hati sunyi pernah berdegup seperti dilanda gelombang aneh. Sekarang aku bisa tahu itu adalah detak jantung, tak normal, terjadi karena tabrakan hati yang tak disengaja.
“Langga itu pria paling tampan seantero sekolah!”
Ujar Arin suatu pagi ketika baru saja datang di kelas yang hanya ada aku seorang diri. Bisa terlihat jelas wajah gembulnya merona pink dan salah tingkah tidak pada tempatnya itu semakin menjadi-jadi.
“Trus? Kamu naksir?”
Gadis tengil yang masih ingusan ternyata sudah jatuh cinta di kelas 10 pada semester pertama dengan mata secerah lampu bohlam, ia menatap meski dari kejauhan. Aku tinggal meneguk ludah, menetralkan perih yang mulai menjalar. Ya, kuakui aku pun tertarik. Bahkan sudah mengenalnya pas pertama kali ketika daftar ulang di sekolah. Erlangga Panji Nasution. Pria berdarah Mandailing (Sumut) dengan sejuta pesona indah, tampan, putih, tinggi, namun anehnya kebule-bulean. Wajahnya persis orang barat, alis hitam lebat, bulu mata lentik, mata bulat dan cerah, bahkan wanita tercantik di sekolah tak ada yang menandingi perasnya.
“Suka sekali. Tapi saingannya banyak banget.” Jawab Arin sekian lama.
“Kan gak ada salahnya dicoba. Siapa tau kisah Cinderella itu masih berlaku di zaman millenial.”
Padahal hasrat di dada tak tertahankan. Arin sahabatku, jika dia menyukai seorang pria, maka tak berhak aku menginginkan hal yang sama pula.
“Aku akan coba, tapi bantu aku yah? Plissss???”
Awalnya kepala menggeleng, lama-kelamaan rengekan Arin semakin menjadi-jadi dan membuat kepalaku berdenyut. Baiklah, lebih baik turuti saja kemauannya meski di tengah jalan aku tak yakin apa semua akan sesuai rencana awal.
“Hhhahh ... Apa yang bisa kulakukan?”
“Ini!” Sebuah kertas nuansa pink mendarat mulus di tangan. Maksudnya ia bakal kirim-kirim salam lewat surat begitu? Cih! Temanku memang generasi millenial, tapi pemikiran sangat kuno. Abad ke berapa itu main kertas?
“Titip buat Langga!”
Habis itu dia ngacir entah kemana, bahkan sampai dua mata pelajaran pagi habis terlaksana. Dengar-dengar dia lari sebelumnya karena kebelet mau ke kamar mandi. Mama Arin yang bilang setelah pulang sekolah kalau sarapan paginya kebanyakan terasi, jadi mencret dah. Dasar gadis kudis-kudisai!
“I-ini!”
Amsyongg!!
Mengapa tanganmu bergetar duhai Mina?
Dia hanya makhluk ciptaan Allah yang diberi kelebihan lewat paras. Kalau dengan ini saja kau lemah, bagaimana dengan keindahan lainnya nanti? Mungkin bukan gemetar lagi, kau akan pingsan.
Nahasnya mata indah itu menusuk retina mataku sampai tak bisa berpaling dari satu objek. Beberapa lama terpaku, terhipnotis dalam alam bawah sadar membiaskan.
Tk! Tk! TK!
“Innalillahi ...”
“Eh? Siapa yang meninggal?”
Astaga!
Aku mau bilang Allahu Rabbi, bukan innalillahi. Ya Allah ... Kenapa ketampanan membuat wanita bertekuk lutut sampai tidak sadar kalau ences ini hampir menetes?
“Bu-bukan! Maksudnya ini! I ... Ini dari Arin!” teriakku cukup keras, sampai teman seruangannnya mendadak kena ayan karena gludug tiba-tiba berbunyi cukup membahana. Auto kejang-kejang tak berkesudahan sampai harus dibawa ke UKS.
“Haha ... Hebat juga kamu bisa buat orang kumat.” Ketawa Langga renyah bagaikan kerupuk emping dalam piring mie aceh. Tolong lah ... Pikiranku tak teralihkan darimu.
“So-sorry.”
Saat itu Aramina yang ada bukanlah yang sekarang. Tapi Aramina yang jadul dan alay nya minta ampun dan lagi tukang malu-maluin.
“Btw, ini surat dari siapa? Arin yah? Arin siapa?”
“A-arin sahabatku. Kelas 10 B! Sudah ya, aku pamit sekarang!”
Tanpa aba-aba, kulit pisang bekas entah siapapun itu, pokoknya tidak berakhlak, lantas membuat keseimbangan tubuhku oleng. Dan tahu apa paling memalukan?
Ya tuhan! Kenapa posisinya sekarang jadi bikin salah paham. Tubuhku sedang dipangku si cowok dan tangannya melingkar di pinggang tanpa bicara. Ia menatap lagi kedua bola mataku sampai kesadaran menjadi gelap. Pingsan?
Hah! Bukan woi! Aku pura-pura pingsan!
Tak sanggup rasanya jika dalam posisi itu masih berlama-lama, bisa-bisa spot jantung dan Arin ketikung sahabatnya sendiri.
“Eh? Pi-pisang?? Maksudnya kau gadis kulit pisang ke-kenapa malah pingsan di pangkuanku?”
Suara Langga terdengar panik. Aduhh ... Ini semua tuh karena kulit pisang!
“Bawa ke UKS!” teriak seorang gadis
Bandit kau!
Aramina ... Ternyata nasibmu sama dengan si siswa ayan, ujung-ujungnya masuk UKS juga!
“Heh! Kau sudah sadar kan?”
Pipi ditepuk-tepuk, sambil wajahnya mendekat memeriksa detail wajahku seperti apa. Semoga tidak ada upil atau jigong yang menempel karena itu sangat memalukan.
“Heh, Kulit pisang! Aku tahu kau cuma pura-pura pingsan.”
Eee busyet!
“Bangun lah! Aku masih mau ikut pelajaran olahraga, ada penilaian pelajaran basket nanti.”
“Hhuuffthh!!! Iya!”
Akhirnya Cinderellah keracunan cogan mau bangkit pemirsah! Kepalang tanggung, ketahuan juga jika semua hanya sandiwara. Lagian dia aneh, tidak ada yang meminta untuk menemani malah nongkrong di sini.
“Malu yah? Atau ... Beruntung?”
“Beruntung apa?”
“Bisa duduk dipangkuanku.” Ujarnya bangga.
“Idihh ... Biasa aja kali! Meski kau sangat tampan, melihat senyummu membuatku serasa ingin mena ...” tiba-tiba kewarasanku kembali, kenapa aku malah kedengarannya kagum?
“Menahan rasa kalau kau juga sebenarnya salah satu dari Fangirl yang jatuh hati padaku?”
Huweekkk!
“Menangis! Sudahlah, Pergi sana!”
“Yakin?” ekspresi gilanya itu membuatku ingin stres. Tak tahukah ia Bahwa hal itu bikin susah move on? Wajah tampannya bagai karya seni di atas kanvas warna-warni musim semi. Mencerahkan kebutaan dan menjadi penerang jalan di sekitar rumahku kalau bisa. Canda Deng!
“Yakin! Sana!”
“Baiklah, semoga kau lekas membaik. Dah!”
Erlangga berlalu, menghilang di balik pintu dengan senyumnya yang khas. Mempesona. Syukurlah dia sudah enyah, entah berapa lama saya tahan jantung ini jika ia terus gentayangan di sekitar UKS.
“Astaga!”
Mata melotot siswa di tempat tidur sebelah kananku terbuka tirai pembatasnya, sangat menakutkan. Teringat, kalau dia itu siswa yang kena ayan tadi. Apakah ia sudah sembuh atau bagaimana? Pandangannya saja mengerikan seperti hendak menelanku hidup-hidup. Padahal bukan aku yang mengundang gludug datang kan?
“Apa kau si gadis pemanggil Guntur itu?” ucapnya dingin dan misterius.
“Bu-bukan. Kau salah orang!” Kalau sampai dia tau ...
“Sepertinya memang salah orang. Gadis yang tadi sangat jelek.”
Apahh??? Seenaknya mengataiku jelek?
E- tapi kalau tadi aku kelihatan jelek, berarti sekarang cukup lumayan dong? Bisa yah wajah saja berubah-ubah di tempat berbeda. OOO atau jangan-jangan karena di dekat Erlangga tadi, visualku menjadi bucuk tak muluk-muluk karena perbedaan yang sangat jauh? Sepertinya bisa dijadikan judul skripsi di universitas nanti kali yah? Oke.
“Sekarang cantik kan?” jawabku bangga.
“Malah tambah jelek plus memuakkan.”
Tkkkkk!!!
Tirai ditutup secepat kilat meninggalkan pertanyaan dalam hatiku ...
Sebenarnya dia waras tidak sih?