Ayla Navara, merupakan seorang aktris ternama di Kota Lexus. Kerap kali mengambil peran jahat, membuatnya mendapat julukan "Queen Of Antagonist".
Meski begitu, ia adalah aktris terbersih sepanjang masa. Tidak pernah terlibat kontroversi membuat citranya selalu berada di puncak.
Namun, suatu hari ia harus terlibat skandal dengan salah seorang putra konglomerat Kota Lexus. Sialnya hari ini skandal terungkap, besoknya pria itu ditemukan tewas di apartemen Ayla.
Kakak pria itu, yang bernama Marvelio Prado berjanji akan membalaskan dendam adiknya. Hingga Ayla harus membayar kesalahan yang tidak diperbuatnya dengan nyawanya sendiri.
Namun, nyatanya Ayla tidak mati. Ia tersadar dalam tubuh seorang gadis cantik berumur 18 tahun, gadis yang samar-samar ia ingat sebagai salah satu tokoh antagonis di dalam novel yang pernah ia baca sewaktu bangku kuliah. Namun, nasib gadis itu buruk.
“Karena kau telah memberikanku kesempatan untuk hidup lagi, maka aku akan mengubah takdirmu!” ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 ~ Nyasar
"Aku tidak papa, bantu saja dia! Sepertinya ia akan mati jika dibiarkan lebih lama lagi." Ucapan Alice berhasil membuat Sylvia membulatkan kedua matanya, jika tidak sedang bersandiwara ia sudah pasti akan menabok mulut tidak tahu diri itu.
"Baiklah," jawab Aldric akhirnya.
.
.
.
Setelah kepergian Edric dan Sylvia, Alice dengan bingung mencari keberadaan ponselnya yang terpental entah kemana. Setelah beberapa menit ia melihat ponselnya telah hancur berkeping-keping di parkiran, mungkin karena terlindas mobil.
Ia menghela napas, berusaha menutupi kekesalannya. Kini ia sungguh seperti anak ayam yang terbuang, mau pulang tidak tahu arah, uang tak punya, ponsel tak punya, hanya punya diri seorang.
Ia lalu berjalan tak tentu arah, mungkin saja di jalan bisa bertemu seseorang yang dikenal. Walau wajahnya masih terlihat acuh tak acuh, tapi tidak dapat di pungkiri bahwa hatinya kini mulai gundah.
Satu jam sudah ia bergoyang lutut, tetapi tujuannya masihlah abu-abu. Ia merasa salah arah, jalan yang ia tempuh serasa semakin naik, seperti naik ke sebuah pegunungan.
Ia lalu berbalik, memutuskan ingin kembali ke supermarket tadi. Ia akan menebalkan muka sekali ini untuk meminta bantuan orang lain.
Namun, baru saja berbalik ia sudah berhadapan langsung dengan beberapa pria yang berpakaian serba hitam. Tiba-tiba tubuhnya bergetar, ini bukan lagi reaksi alami tubuh Alice. Tapi ini adalah ketakutan dari jiwa Ayla sendiri.
Sepenggal demi sepenggal peristiwa itu memenuhi pikirannya. Ia dibunuh dengan sadis, disiksa, bahkan nyaris dilecehkan oleh orang-orang yang berpenampilan seperti ini.
"Hey, siapa kau!" Teriakan salah satu dari mereka berhasil membuat Alice sadar.
Ia lalu mundur perlahan beberapa langkah, lalu berbalik dan berlari dengan cepat. "Hey, jangan lari!" Teriak salah satu dari mereka namun tidak Alice hiraukan.
Ia terus berlari tanpa menoleh sedikitpun. Sementara beberapa pria itu pun mulai mengejarnya. Awalnya mudah, namun karena jalan yang menanjak, tenaga Alice mulai terkuras. Kedua kakinya terasa lemas tak bertenaga.
"Hey, mau kemana kau?" Pekik salah satu pria sembari terus berlari mengejarnya.
'Ayla, kau tidak boleh menyerah kali ini. Jangan sampai mati sia-sia lagi. Terlebih tanpa alasan seperti ini,' batin Alice menyemangati diri.
Namun apa daya, sekuat apapun ia menyemangati diri tapi daya tahan tubuhnya tidaklah sinkron. Saat ini ia merasa lelah sekali, sedangkan para pria itu masih tetap mengejar.
Di antara keputusasaannya, terlihat sebuah rumah mewah berdiri kokoh di tengah pegunungan. Bagai mendapat setetes air di gurun pasir, Alice sangat menghargai itu. Kini semangatnya mulai bangkit lagi, sebab sudah ada secercah harapan untuk selamat.
Ia menyeret kedua kakinya.
Sebentar lagi...
Sedikit lagi...
Ayo Ayla...
Batinnya menyemangati diri, sedangkan beberapa pria di belakang juga mulai kewalahan. Tadi, jarak mereka memang agak jauh dari gadis itu sedangkan kini sedikit lagi mereka bisa meraih gadis bodoh yang telah masuk ke daerah kekuasaan bosnya.
Tapi gadis itu malah masuk ke rumah sang bos. Saat mereka masuk dan ingin melanjutkan penangkapan, sang bos malah memberi kode agar mereka pergi.
...
Alice terus berlari.
Sedikit lagi...
Akhirnya ia masuk ke pekarangan rumah mewah itu, beruntung sekali pagarnya tidak dikunci. Ia lalu bersembunyi di balik sebuah pohon rindang, kemudian mengatur napasnya dan meraup udara sebanyak-banyaknya.
Namun, tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya.
Deg...
"Sedang apa kamu di rumah saya?" Sebuah suara yang rasanya ia kenal bertanya, kemudian dengan berani ia berbalik.
"Bapak?"
"Ini rumah Bapak?"
"Ya."
"Huft ..." Alice menghela napasnya, ia lega akhirnya bertemu seseorang yang ia kenal.
"Pak, saya butuh air," ujar Alice spontan, ia tidak peduli lagi dengan citranya yang cuek. Yang kini ia inginkan adalah menyegarkan dahaganya.
Edric menaikkan sebelah alisnya, kemudian berucap, "Ayo masuk!"
Alice pun mengikuti langkah besar pria itu dari belakang. Jika dilihat, postur mereka sangatlah lucu, seorang pria dengan badan tinggi besar dan dibelakangnya seorang gadis kecil dengan tubuh mungil.
Para pria yang masih mengintip di depan pagar saja merasa heran akan kelakuan sang bos yang tidak pernah menerima tamu itu, kini membawa masuk gadis kecil yang mereka kejar.
.
.
.
"Duduk dulu disini!" pinta Edric setelah mereka masuk ke ruang tamu rumah mewah itu. Alice pun dengan patuh duduk di sana, kemudian berkata, "Pak, minuman saya mana?"
Edric menatapnya, kemudian berjalan ke sebuah arah tanpa berkata apapun. Alice yang melihat itu ingin mengikuti.
"Tetap disitu! Ingat, jangan sentuh apapun!" pintanya membuat Alice yang sudah hampir bangun dari duduknya menjadi diam seakan seperti patung yang sedang membungkuk.
Setelah Edric melanjutkan langkah, Alice baru bisa bernapas lega dan duduk kembali. "Huft, jika tidak sedang dalam masalah aku juga tidak sudi minta bantuan dosen kaku itu," gumamnya seorang diri dengan cemberut.
Tidak lama kemudian, Edric kembali dengan segelas jus jeruk segar. Baru dilihat saja, Alice sudah menelan ludah. 'Tenggorokanku, sebentar lagi kamu akan mendapatkan pawangmu,' pikirnya dengan mata yang fokus pada jus jeruk yang masih berada di tangan Edric.
"Ini," kata Edric sembari menyodorkan tangan kanannya. Alice pun mengangguk, kemudian tangannya terangkat untuk mengambil jus jeruk.
"Eh, ini punya saya! Punyamu yang ini!" ujar Edric sembari menyodorkan kembali tangan kanannya yang memegang segelas air putih.
"Hah? Ta-tapi saya kan butuhnya yang di tangan kiri bapak," protes Alice.
"Saya yakin kau cukup pintar untuk mengetahui kalau minum es saat lelah itu bisa membuatmu semakin haus. Jadi minum saja air putih ini! Atau tidak sama sekali," sahut Edric tanpa perasaan, ia bahkan langsung meletakkan air putih di atas meja.
Kemudian ia mengambil posisi duduk di depan Alice sembari menyedot es jeruk segarnya. 'Dasar bapak tua killer, kaku, jelek, cuek, pelit lagi,' umpatnya, hanya berani di dalam hati.
Mau tidak mau, ia mengambil segelas air putih itu kemudian meminumnya dengan wajah tertekuk cemberut. Edric yang melihat itu bahkan harus berusaha menahan tawanya.
.
.
.
Di sisi lain, Malvin dan Lucy sedang dalam perjalanan pulang setelah mengantar Kiara. "Menurutmu apa mereka sudah baikan sekarang?" tanya Lucy sembari memandang Malvin di sebelahnya.
"Entahlah, dengan temperamen keduanya yang keras kepala itu, aku tidak begitu yakin ini akan berhasil," jawab Malvin sembari mengangkat kedua bahunya.
"Aku harap ini berhasil, atau kita akan dijadikan daging panggang." Lucy bergidik ngeri.
"Itu tuanmu, kalau tuanku itu berbaik hati," sahut Malvin sembari tertawa kecil.
"Ish, jangan berkata buruk tentang nona Alice ya! Sejak sadar dari koma dia sungguh sangat berubah," pekik Lucy tidak terima, sementara Malvin hanya mengangkat kedua bahunya sembari tertawa meledek.
.
.
.
"Katakan, kenapa kau bisa sampai berada di rumah saya?" tanya Edric mulai menginterogasi.
"Jika diceritakan akan panjang ceritanya, intinya saya ditinggal teman-teman saya di supermarket kemudian saya nyasar kemari. Dan tadi saya dikejar oleh beberapa orang berpakaian hitam, hiih ... seram sekali," jelas Alice tanpa sadar bergidik.
Edric yang mendengar, malah menatapnya intens hingga membuat Alice salah tingkah. 'Eh, kenapa aku jadi banyak bicara?' gerutunya di dalam hati.
"Kalau begitu biar saya yang antar kamu pulang!" titah Edric, kemudian ia nyelonong begitu saja. "Ayo!" pekik Edric yang sudah ada di depan pintu.
"Eh, i-iya, Pak."
Tbc.
🌼🌼🌼🌼🌼
tembak tembak tembak
🤣🤣🤣