Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,
“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api vs Air
...The Twin-Headed Dragon vs Fire Fighter Squad...
...#2...
Sang naga tertawa sombong, suaranya menggetarkan tanah.
Tanpa ragu, salah satu kepalanya membuka rahang dan menyemburkan api—lidah panas dengan radius begitu luas hingga udara di sekitar ikut terbakar.
Namun keempat manusia itu tidak bergeming.
Tubuh mereka menahan gempuran panas yang menggila, tangan-tangan mereka kokoh menggenggam selang tekanan tinggi.
Dalam satu aba-aba, air meluncur bagai tembok hidup, membentuk dinding perak yang menahan gelombang api.
Air dan api bertarung di udara.
Semburan panas menggulung, uap meledak, bumi berguncang oleh benturan dua elemen yang saling menolak.
Menit demi menit berlalu—namun api sang naga tak mampu menembus benteng cair itu.
Naga itu menggeram frustasi. Asap hitam keluar dari kedua lubang hidungnya.
Sedangkan para pemadam, dengan peluh bercampur air, justru tersenyum bangga di balik visor helm mereka.
“Jangan senang dulu, Squad! Pertandingan baru dimulai!”
seru Jonatan, sang komandan, dengan suara berat namun berapi-api.
Serentak, mereka mengokang tuas dan memutar nozzle, bersiap menghadapi serangan selanjutnya.
Dan benar saja—naga itu mengangkat tubuhnya ke langit, mengepakkan kedua sayap hitam obsidian hingga pusaran angin menyapu tanaman di bawahnya.
Kedua kepala naga mengeluarkan napas api bersamaan, dan ketika kobaran itu bertemu dengan pusaran udara dari sayapnya, terbentuklah badai inferno—sebuah topan berapi yang melahap segalanya di jalurnya.
Namun keempat manusia itu tidak gentar.
Bahkan, di tengah cahaya merah membara dan raungan naga, salah satu dari mereka—Carl—berseru sambil tertawa:
“Ini seperti saat kita memadamkan kebakaran di seluruh Kota California, kan, Komandan!?”
Jonatan menoleh sedikit, wajahnya bercahaya oleh pantulan api.
“Benar! Dan waktu itu, kita evakuasi semua warga tanpa satu pun korban jiwa.
Tapi kali ini, kita hanya perlu memikirkan nyawa kita sendiri. Tak ada yang bisa kita selamatkan—kecuali diri kita.”
Fredy menimpali dari sisi kanan, suaranya parau namun tegas:
“Yeah! Dan kalaupun kita mati di sini… kita akan mati dengan terhormat!”
Tawa mereka pecah, menggema di tengah kepungan api.
Empat manusia kecil di hadapan dua kepala naga raksasa—
namun entah bagaimana, di mata penonton yang menyaksikan dari tribun, merekalah yang tampak lebih besar saat itu.
Sorak sorai di tribun mulai mereda.
Kubu manusia menatap ke bawah dengan campuran takjub dan cemas, sementara para makhluk mitologi justru terdiam — mulut mereka terbuka lebar, tidak percaya bahwa empat manusia kecil bisa menahan amukan naga sebesar itu.
Virgo berdiri perlahan dari singgasananya, rambut ungunya berkilau diterpa cahaya api. Jemarinya gemetar halus.
“Mereka… melawan bukan dengan kekuatan, tapi dengan ilmu dan keberanian,” bisiknya lirih.
Di sampingnya, Ancient One hanya terkekeh pelan.
“Heh… aku mulai paham kenapa Tuhan menyukai mereka.”
Sementara itu, dari singgasananya, Presiden bangkit dari duduknya, urat di lehernya menegang.
Matanya tak lepas dari pandangan Fire Fighter Squad yang kini berdiri di antara kobaran api dan kepulan asap.
Udara terasa menegang, semua penonton menahan napas.
Sang naga, kini benar-benar geram.
Kedua kepalanya bergetar, sisik obsidian di punggungnya berkilat merah membara.
Ia mendarat dengan keras, menciptakan gelombang debu yang menyapu ladang hijau di bawahnya.
Tanaman-tanaman di sekeliling terbakar sebagian, namun tak sepenuhnya — seolah menunggu sesuatu.
Salah satu kepala naga itu mendesis tajam,
“Apa kau pikir ladang lembek ini bisa menyelamatkanmu, manusia kecil?!”
Namun sebelum sempat melancarkan serangan berikutnya, suara berat Jonatan menggema melalui radio komando, menembus gemuruh angin dan raungan naga.
“Semua unit! Segera pakai masker gas kalian!”
Tanpa menunggu satu detik pun, para anggota skuad bergerak serempak — klik, desis, lalu wajah mereka tertutup topeng pelindung hitam.
Gerakan mereka cepat, rapi, seperti mesin yang dilatih untuk menghadapi neraka.
Sementara itu, Fredy—si anggota paling berani—mengeluarkan sesuatu dari tas logam di punggungnya.
Sebuah alat berbentuk laras panjang dengan tabung tebal di bawahnya.
Dari tribun, Presiden memicingkan mata, suaranya tercekat.
“Itu… Flame Thrower?”
Suasana langsung berubah hening.
Hanya terdengar dengung api naga di kejauhan dan detak jantung seluruh arena.
“Alat sudah siap, Komandan!”
teriak Fredy, suaranya serak tapi mantap.
Jonatan mengangguk cepat.
“Bagus. Sekarang—arahkan ke arah jam dua belas! Cepat!”
Fredy menapak maju beberapa langkah, menodongkan alat itu ke arah hamparan ladang yang membentang di depan.
Seketika, semburan api keluar dari ujung senjata—panas, memanjang, dan menggulung seperti lidah naga.
Dari tribun, Presiden terbelalak.
“Mereka… mereka menembakkan api?!”
Salah seorang ahli bencana alam yang duduk di barisan belakang mencondongkan tubuh ke depan, matanya tajam penuh pemahaman.
“Mereka bermaksud memadamkan api dengan api!” katanya penuh kagum.
Di arena, api dari Flame Thrower menyebar cepat membentuk lingkaran mengelilingi posisi truk pemadam.
Dan anehnya—api naga yang berhembus dari udara malah berhenti menjalar saat menyentuh batas lingkaran itu.
Kedua sumber panas bertemu, saling menelan, lalu padam di antara mereka seperti dua raja yang saling membunuh dalam duel.
"Benteng api sudah selesai dibangun," ucap Fredy dengan senyum puas di wajahnya.
Para makhluk mitologi di tribun berdiri dengan wajah terperangah.
“Bagaimana… mereka melakukannya?” gumam salah satu peri udara dengan nada tak percaya.
Di seberang sana, seorang manusia paruh baya yang duduk di antara barisan penonton menjawab tenang, suaranya dalam namun penuh bangga:
“Ketika api bertemu api, panasnya akan saling meniadakan.
Titik pertemuan itu membakar habis oksigen di sekitarnya, membuat api tak bisa menjalar lebih jauh.
Mereka menciptakan benteng api — untuk melawan api dari sang naga.”
Keheningan menyelimuti arena.
Hanya desis kecil terdengar dari sisa kobaran yang meredup, sementara empat manusia kecil itu berdiri di tengah lingkaran merah pijar, tubuh mereka tegak, mata mereka menatap naga yang kini tampak ragu untuk menyerang lagi.
Virgo berbisik pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri,
“Mereka… menggunakan logika untuk mengalahkan legenda.”
Ancient One menatap manusia-manusia itu dengan tatapan tidak senang.
Sorakan di tribun manusia berubah menjadi riuh kagum.. Seorang Elf menatap ke arah tribun manusia dengan tatapan tak percaya,
“Bagaimana mungkin mereka bisa menghentikan api dengan… api juga?”
Sang ahli tersenyum samar, lalu menjawab tenang,
“Sederhana, Hewan. Api hanya bisa hidup bila ada tiga unsur: panas, bahan bakar, dan oksigen.
Jika dua api besar bertemu, keduanya akan saling merebut oksigen di udara — dan di titik benturannya, oksigen habis, panas pun tertelan oleh dirinya sendiri.
Maka, keduanya padam. Itu sebabnya kita sebut metode ini backburning, atau memadamkan api dengan api. Dan itulah kekuatan kami. Sains.”
Elf menggeram pelan. Perasaan kesal tak bisa lagi ia sembunyikan di balik pesonanya yang indah.
“Jadi… mereka mengubah pengetahuan menjadi senjata.”
Asap mengepul semakin tebal di arena.
Lalu tiba-tiba, dari tengah kepulan hitam itu, salah satu kepala naga tampak oleng.
Sisik di lehernya berkilat redup, matanya setengah terbuka seperti orang mabuk.
“Hei, kau kenapa? Bangunlah, sialan!”
raung kepala yang menampakkan sisi amarah, suaranya bergema ke seluruh penjuru.
Namun kepulan asap makin pekat.
Udara berubah menjadi berat dan… aneh.
Kedua kepala naga itu menggeram bingung, sesekali tertawa kecil tanpa sebab.
Dari balik masker gasnya, Fredy menoleh pada rekan-rekannya, lalu berseru dengan nada menggoda,
“Beginilah cara untuk menikmati marijuana!”
Para penonton manusia di tribun tertawa, sementara kubu mitologi justru menatap kebingungan.
Virgo mengernyit, menoleh pada manusia yang duduk tak jauh dari dinding pemisah arena.
“Marijuana? Apa itu tanaman beracun?” tanyanya.
Seorang botanis yang duduk di tribun manusia menanggapi dengan ramah, suaranya lantang agar terdengar sampai seberang,
“Tidak sepenuhnya beracun, Nona Bintang.
Tanaman itu dikenal manusia sebagai Cannabis sativa — atau ganja. Ia memiliki senyawa aktif bernama tetrahydrocannabinol (THC) yang dapat memengaruhi sistem saraf makhluk hidup.
Bila dihirup dalam jumlah besar, asapnya membuat pikiran melayang, tubuh lemah, dan kesadaran menurun.”
Virgo memiringkan kepala, matanya berkilat ingin tahu.
“Jadi… asap itu yang membuat naga itu pusing?”
Sang ahli mengangguk.
“Benar. Karena udara di arena kini penuh dengan asap ganja kering yang terbakar oleh api naga sendiri.
Mereka — tanpa sadar — menciptakan racun yang membuat makhluk besar itu kehilangan fokus.
Manusia tak pingsan karena mereka memakai masker gas.”
Ancient One semakin merapatkan kuku-kukunya untuk menahan rasa amarah yang mulai merasukinya.
“Sial! Jadi naga kalah… oleh ladang manusia yang bisa membuat dewa pun tertidur!”
Virgo menatap ke bawah, tak mampu menahan senyum kecil di bibirnya.
“Ironis. Api yang mereka keluarkan justru membakar sesuatu yang membuat mereka kehilangan akal.”
Di arena, naga itu kini benar-benar limbung.
Kedua kepalanya saling membentur, berusaha menjaga keseimbangan.
Sementara itu, Fire Fighter Squad berdiri tegak, menatap hasil tak terduga dari taktik dan keberuntungan mereka.
“Komandan,” ujar Raisa sambil menahan tawa, “apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Tunggu saja,” jawab Jonatan dengan nada dingin. “Kadang, musuh yang kuat bisa dikalahkan bukan oleh kekuatan… tapi oleh kebodohannya sendiri.”
Asap tebal mulai naik ke langit, membentuk pusaran aneh seperti kabut mimpi.
Dan di bawahnya, naga dua kepala itu perlahan merosot, terhuyung, matanya sayu — separuh amarah, separuh… kantuk.
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !