 
                            Clara Moestopo menikah dengan cinta pertamanya semasa SMA, Arman Ferdinand, dengan keyakinan bahwa kisah mereka akan berakhir bahagia. Namun, pernikahan itu justru dipenuhi duri mama mertua yang selalu merendahkannya, adik ipar yang licik, dan perselingkuhan Arman dengan teman SMA mereka dulu. Hingga suatu malam, pertengkaran hebat di dalam mobil berakhir tragis dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Tapi takdir berkata lain.Clara dan Arman terbangun kembali di masa SMA mereka, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya… atau mengulang kesalahan yang sama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12.Berdua.
Jam istirahat pun tiba. Suara riuh anak-anak bergema di koridor sekolah dengan tawa, langkah tergesa, dan aroma gorengan dari kantin yang menguar menggoda. Clara baru saja menutup bukunya ketika Ria sudah menarik tangannya riang.
“Ayo, Clar! Hari ini aku traktir,karena aku dapat uang jajan lebih dari ayah!”
Clara tertawa kecil. “Kamu tuh, sebaiknya uang itu kamu tabung,siapa tahu nanti butuh?”Clara menatap Ria sambil tersenyum, ia mengingat kenangan dimana saat ayah Ria mengalami kecelakaan dan tidak bisa bekerja lagi. lalu mamanya menceraikan ayahnya yang lumpuh, dan pergi meninggalkan Ria.
Ria, aku tidak mau kamu sekarang boros seperti ini. semua ini demi kebaikanmu teman. pikir Clara.
Ria menatap temannya dengan heran, karena Clara menatapnya dengan iba. “Hei, apa ada yang salah dengan ku? kenapa kamu menatapku seperti itu?. ”
“Tidak, sebaiknya uang kamu tabung saja. siapa tahu nanti butuh?. ”
“Iya.., kamu mendadak seperti nenekku cerewet. ini gak boleh,itu gak boleh”
“Sudah dua orang yang menyebutku nenek”
“Siapa..? ”tanya Ria penasaran.
“Sudahlah, kita ke kantin saja. Biar hari ini aku yang traktir kamu. ”
“Benar?”
“Iya.. ”
“Nanti gantian”
“Oke.”
Mereka berdua keluar dari kelas sambil bergandengan tangan dengan erat, senyum kebersamaan mereka tergambar jelas diwajahnya.
Belum mereka baru melangkah beberapa meter dari kelas ketika suara berat tapi tenang terdengar dari belakang.
“Clara, bisa bicara sebentar?”
Langkah Clara terhenti. Ia menoleh, dan di sana berdiri Arman dengan wajahnya serius, tatapan matanya tajam tapi ada sesuatu di dalamnya campuran bingung dan penasaran.
Ria spontan menatap bergantian antara Clara dan Arman. “Wah… suasana kayaknya serius banget nih. Aku… ke kantin dulu aja deh, ya?”
Clara hendak menahan, tapi Arman sudah menatap Ria sejenak dan berkata pelan, “Boleh kami bicara berdua, Ria?”
Nada suaranya tenang, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat Ria mengangguk cepat dan berlalu, meski sambil menatap Clara dengan ekspresi ‘aku bakal kepo nanti’.
Kini hanya mereka berdua di koridor yang mulai sepi. Suara langkah siswa lain memudar, digantikan detak jam di dinding dan desir angin dari jendela terbuka.
Clara menatap Arman dengan alis terangkat. “Ada apa, Man? Jika tidak ada yang penting sebaiknya aku pergi.”
Arman menarik napas panjang. “Aku nggak mau muter-muter, Clar. Aku mau kamu jawab jujur.”
Clara menatapnya heran. “Tentang apa?”
“Semua ini.” Arman menatapnya lurus. “Tentang perubahan kamu. Tentang nilai kamu, cara kamu ngomong, cara kamu jalanin semua hal kayak tiba-tiba jadi orang lain. Aku nggak tahu kamu ini Clara yang dulu atau… kamu selama ini cuma pura-pura.”
Clara terdiam.
Arman melangkah lebih dekat, suaranya menurun tapi tegas. “Aku minta kamu jawab sekarang. Jangan ngelak. Aku berhak tahu, karena kita… udah empat tahun bareng. Kamu nggak boleh bohong sama aku, Clar.”
Nada itu bukan marah, tapi perintah yang tak bisa ditolak. Arman jarang sekali berbicara seperti itu, tapi kali ini matanya serius, nyaris menuntut kebenaran.
Clara menunduk pelan, jemarinya saling menggenggam. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa seperti kembali menjadi dirinya yang dulu yang takut menyinggung perasaan Arman. Tapi detik berikutnya, Clara mengangkat wajahnya, sorot matanya lembut tapi mantap.
“Arman,” ucapnya pelan. “Kamu mau tahu jawabannya? Baik.”
Ia menatap langsung ke matanya. “Yang kau lihat sekarang adalah aku yang sebenarnya,dulu yang bersamamu adalah Clara yang buta karena tulus mencintaimu. tapi sekarang aku sadar, setelah hidup bersama dengan mu selama empat tahun ini. ”
Arman tertegun, sedikit mundur tanpa sadar. “Apa maksudmu?,jadi selama Clara yang aku kenal dulu adalah kepura-puraan hanya untuk mendapatkan cintaku. ”
Clara menarik napas. “Benar, apa kamu ingat dengan yang kamu bicarakan kalau kamu tidak suka wanita yang lebih darimu?dan aku lakukan karena ingin dekat dengan mu.”
Hening. Hanya suara daun jatuh dari pohon jendela yang terdengar.
Arman menatapnya, tidak percaya. “Jadi kamu… selama ini menurunkan diri kamu… demi aku?”
Clara mengangguk pelan. “Iya. Karena aku sayang kamu. Tapi sayangku waktu itu salah arah.sekarang aku sadar setelah hidup dengan mu, hinaan dari mamamu,adikmu membuka mataku terutama setelah kamu selingkuhi aku dengan Loly cinta pertama mu.”
Matanya sedikit bergetar, tapi suaranya tetap tenang. “Sekarang aku..bukan kita sudah mendapatkan kesempatan kedua ini, aku juga ingin seperti dirimu menghargai diriku sendiri tanpa harus merendahkan demi cinta.dulu aku salah,dan aku tidak mau mengulanginya lagi.”
Arman terdiam. Wajahnya berubah dari marah, menjadi bingung, lalu pelan-pelan menjadi kosong. Ia menatap Clara seperti melihat orang yang baru pertama kali ia kenal, dan kenyataan itu menampar egonya dalam diam.
Clara tersenyum kecil, lembut tapi tegas. “Kita di kehidupan ini jalani saja kehidupan kita sendiri,seperti kamu sekarang sudah bersama Loly mu dan aku bisa bersama keluarga ku. sebaiknya kita jangan pernah bersama lagi, itu menyakitkan!.”
Setelah mengatakan itu dengan tenang dan tegas, Clara berjalan melewati Arman perlahan, langkahnya tenang meski jantungnya berdegup kencang. Saat melewatinya, Clara menambahkan dengan suara rendah.
“Man, di kehidupan kedua ini. aku cuma mau menjadi teman sekelasmu saja tidak lebih dari itu. ”
Lalu ia berjalan pergi, meninggalkan Arman yang terpaku di tempat. tanpa kata, tanpa jawaban.
Dari kejauhan, Ria sudah melambai dari depan kantin. “Clar! Sini! Ada gorengan baru digoreng!”
Clara tersenyum kecil dan melangkah menuju sahabatnya, meninggalkan Arman yang masih berdiri di koridor panjang itu, menatap punggung gadis yang kini lebih kuat daripada yang pernah ia bayangkan.
“Kau benar Clar, kita memang tidak seharusnya bersama kembali. Kau adalah kesalahan masa lalu ku, dan tidak akan aku ulangi lagi. ”bisik Arman yang tak terdengar.
Arman pun berbalik arah, dan berjalan menjauh dari tempat Clara berada.
Beberapa hari berlalu setelah percakapan itu di koridor. Sejak saat itu, Clara dan Arman benar-benar seperti dua orang asing yang hanya kebetulan duduk di kelas yang sama. Tak ada lagi sapa hangat, tak ada lagi tatapan yang saling mencari di sela-sela pelajaran. Hanya ada diam yang menggantung di antara mereka dingin tapi tidak sepenuhnya hampa.
Arman kini lebih sering terlihat bersama Loly. Setiap pagi, mereka datang hampir bersamaan, tertawa kecil di depan gerbang sekolah, berbagi botol minum atau buku catatan. Beberapa teman memperhatikan, sebagian berbisik, tapi Clara tidak pernah lagi menoleh. Ia tahu kabar itu, tapi ia memilih untuk tidak peduli atau setidaknya, berpura-pura tidak peduli.
Ia kini lebih sibuk mengatur waktunya. Setiap pulang sekolah, ia langsung menuju rumah sakit untuk menemani mamanya yang masih dalam masa pemulihan. Ruangan VIP di lantai tiga sudah seperti rumah kedua baginya. Di sana, ia membaca buku pelajaran, terkadang menulis catatan kecil di jurnalnya sambil sesekali menatap wajah mama yang tertidur tenang di ranjang.
“Clar, kamu tidak lelah, Nak?” suara lembut mamanya sering memecah keheningan.
Clara akan tersenyum dan menjawab pelan, “Tidak, Ma. Aku senang bisa di sini. Selama Mama bisa sembuh, aku akan selalu kuat.”
Namun, kekuatan itu diuji setiap kali Rosi datang berkunjung.
Rosi, teman mamanya yang genit dan beberapa kali datang dengan alasan menjenguk, tapi Clara tahu niat wanita itu tidak sesederhana itu. Setiap kali Rosi datang, sikapnya manis berlebihan di depan ayah Clara, Lukman. Ia membantu membukakan botol air, menyuapi buah, bahkan memijat pundak Lukman dengan alasan ‘Mas pasti capek menjaga Luna,kasihan sekali mas ini! ’.
Clara tidak bodoh. Ia tahu arah pandang mata Rosi bukan lagi sekadar rasa hormat ke seorang suami teman nya. Ada sesuatu yang lain,sesuatu yang membuat perut Clara mual setiap kali melihatnya.
Suatu sore, ketika Lukman baru saja keluar ruangan untuk membeli kopi di vending machine, Rosi menatap Clara sambil tersenyum miring.
“Kamu capek nggak sih, Clar, ngurus Mama terus? Aku aja kasihan lihat kamu. Harusnya mas Lukman yang lebih sering jaga.”
Clara menutup buku di pangkuannya, lalu menatap Rosi datar. “Tante yang tidak punya kerjaan,tante ini punya motif lain atau benar-benar mau menjaga mama? .”
Rosi terdiam terkejut mendengar ucapan Clara,seakan gadis kecil itu mengerti maksud sebenarnya. “Clara ini bicara apa? ma.. mana ada maksud lain, tante ini benar-benar kasihan dengan mu dan ayahmu. ”
Clara menahan diri agar suaranya tidak naik. “Sebaiknya tante,tidak perlu sering-sering kemari. mama juga sudah baik sepertinya kami tidak perlu ada tante kemari.”
Rosi hanya tersenyum lembut—senyum yang penuh arti. “Sepertinya kehadiran tante tidak disukai Clara,sebaiknya aku pergi saja.nanti mamamu bangun,bilang ke mamamu tante mampir sebentar kemari.”
Clara menatapnya lama, tanpa senyum. “Ya!”
Kata-kata itu membuat Rosi terdiam sesaat, sebelum akhirnya ia tersenyum lebih lebar.ia mencoba menahan diri, dan pergi dari kamar Luna.
Clara hanya bisa mengusir Rosi dengan tegas, dengan cara itu ia dengan tegas membatasi Rosi masuk kedalam keluarga nya.
penasaran bangetttttttt🤭