Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Rumah
"Neng, baik-baik saja?" tanya bapak sopir itu, sesekali melihatku yang duduk di sampingnya. Mungkin dia merasa aneh melihat aku yang terus menyeka air mata.
"Baik, Pak," jawabku pelan, mencoba tersenyum meski suara serak menahan tangis.
"Sekali lagi terima kasih ya, Pak, sudah mau ngasih tumpangan," ucapku tulus, berusaha terdengar sopan.
Bapak sopir itu tertawa kecil. "Jangan sama saya, neng, ngucap terima kasihnya. Sama bos saya aja di belakang."
Aku spontan menoleh ke kursi belakang. Seketika nafasku tercekat. Lagi- lagi pria itu. Ini sudah kali ketiga aku bertemu dengannya secara tak terduga. Seolah dunia ini sempit banget sampai-sampai aku harus ketemu dia lagi di saat kondisi hancur begini.
"Terima kasih," ucapku lirih sambil menunduk, bingung harus memanggilnya apa. Dia hanya mengangguk pelan, wajahnya tetap tenang seperti biasa.
"Itu tadi suaminya neng, ya?" tanya si sopir tiba-tiba, mencoba membuka obrolan.
Aku terdiam sebentar, lalu mengangguk kecil. "Iya, Pak."
Bapak sopir menghela napas panjang. "Kalau ada masalah rumah tangga, neng, mending diselesaikan baik-baik. Jangan buru-buru pergi. Rumah tangga itu butuh sabar."
"Iya, Pak," jawabku pendek, menahan air mata yang kembali menggenang. Aku tahu maksud baiknya, tapi kalau saja dia tahu apa yang sebenarnya terjadi...
Setelah itu, mobil melaju menembus jalanan sore menuju rumahku. Sepanjang perjalanan, hanya suara mesin dan hembusan angin yang terdengar. Aku menatap keluar jendela, memperhatikan bayangan gedung-gedung yang perlahan berganti dengan rumah-rumah sederhana di gang tempat aku dibesarkan.
Sesampainya di depan rumah, aku buru-buru mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu dan menyerahkannya ke bapak sopir.
"Pak, ini ongkosnya. Terima kasih banyak ya, udah bantuin saya."
Belum sempat uang itu diterima, suara berat dari belakang menghentikan gerakanku.
"Ambil aja buat jajan anak kamu."
Aku menoleh cepat. Pria itu menatapku singkat, suaranya datar tapi tegas.
"Tapi.."
"Betul kata bos saya, neng. Gak usah bayar. Kebetulan kami juga berhentinya di sini. Itu, rumah bos saya yang di depan rumah neng," jelas si sopir sambil menunjuk rumah besar bercat putih di seberang jalan.
Aku tercenung sejenak, baru sadar ternyata dia tetangga baru di depan rumahku.
"Oh begitu... kalau gitu, terima kasih ya, Pak," ucapku agak sungkan.
Aku pun turun sambil menggendong Keenan yang mulai terbangun dan rewel. Bapak sopir membantu mengeluarkan koper dari bagasi. Aku berterima kasih sekali lagi sebelum melangkah ke halaman rumah.
Ibuku yang sedang duduk di teras tampak terkejut melihat kedatanganku. Ia segera berdiri, wajahnya langsung berubah cemas begitu melihat mataku yang sembab.
"Ya Allah, Aini... ada apa, Nak?" suaranya bergetar, lalu ia mendekat.
Aku tak sanggup berkata apa-apa. Air mataku langsung jatuh, dan aku memeluknya erat-erat.
"Buk..." hanya itu yang bisa keluar dari bibirku sebelum tangisku pecah.
Ibuku mengusap kepalaku lembut. "Sudah, sudah, ayo masuk dulu," katanya pelan.
Ia mengambil Keenan dari gendonganku, mencium kening cucunya, lalu membawanya ke dalam rumah.
Sekarang, hanya ibu dan adik laki-lakiku yang aku punya. Ayah sudah meninggal sepuluh tahun lalu karena sakit jantung.
Ibu segera ke dapur dan kembali membawa segelas air putih.
"Nih, minum dulu, Nak," katanya lembut.
Aku mengangguk, meneguk air itu pelan-pelan. Sedikit menenangkan tenggorokan yang sejak tadi terasa kering.
"Ada apa, Aini?" tanya ibu perlahan setelah melihat aku agak tenang.
Aku menatap wajahnya yang penuh kekhawatiran, lalu menunduk.
"Aini... gak tahu harus mulai dari mana, Bu," ucapku pelan.
Ibu tetap diam, menunggu dengan sabar.
"Aini sudah gak sanggup, Bu," suaraku mulai bergetar.
"Bang Rendra... dia selingkuh. Dan sekarang... dia udah nikah sama selingkuhannya itu."
Tangisku kembali pecah. Ibu membelai rambutku, tapi aku tahu dari napasnya yang berat kalau ia sedang menahan emosi.
"Astaghfirullah..." Ibu memejamkan mata, suaranya bergetar antara kaget dan marah.
"Tega banget Rendra sama kamu, Nak."
Dari pintu, terdengar suara langkah kaki tergesa.
"Apa, Mbak?"
Aku menoleh. Kevin,adik laki-lakiku yang baru pulang kerja, masih mengenakan seragam dengan wajah kaget mendengar ucapanku.
"Iya, Vin," jawabku lirih.
"Mbak diselingkuhin. Dia udah nikah sama perempuan itu."
"Brengsek!" Kevin langsung memukul tembok, rahangnya mengeras.
"Aku bakal cari dia! Aku gak akan biarin orang kayak gitu ngerusak hidup mbak!"
Aku cepat berdiri, mengejarnya yang sudah menuju halaman untuk menyalakan motor.
"Vin, jangan!" seruku panik.
"Jangan bikin keributan, tolong! Ibunya Bang Rendra lagi sakit, Vin. Mbak gak mau masalah ini makin panjang."
Kevin berhenti, tangannya masih memegang setang motor. Ia menatapku lama, lalu perlahan menurunkan tangannya. Nafasnya naik turun menahan amarah.
"Mbak..." katanya lirih, lalu memelukku erat.
"Dari awal aku udah gak sreg mbak nikah sama dia. Orangnya sombong, gak bisa jaga perasaan. Dan sekarang kuat bisa lihat sendiri, dia nyakitin mbak sampai begini."
Aku tersenyum getir di bahunya. "Mbak tahu, Vin. Mbak yang bodoh, masih percaya dia bisa berubah."
Kevin menghela napas panjang, lalu menepuk pundakku pelan.
"Udah, yuk masuk. Tenangin diri dulu. Mbak gak sendirian, masih ada aku sama ibu," ujarnya lembut.
Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah, diiringi suara tangis Keenan yang minta digendong ibuku, sementara matahari sore perlahan tenggelam di balik atap rumah kami yang sederhana.
-
-
Setelah memastikan Keenan tertidur pulas di kamar yang dulu sering aku pakai saat masih gadis, aku perlahan menutup pintu dan melangkah keluar. Suasana rumah malam itu terasa hening, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Lampu ruang tamu masih menyala temaram, dan di sana kulihat ibuku duduk termenung di sofa, pandangannya kosong ke arah televisi yang sudah dimatikan sejak tadi.
Aku mendekat perlahan.
“Buk, belum tidur?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.
Beliau menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Belum, Aini. Ibuk belum ngantuk,” jawabnya.
Tapi aku tahu, bukan karena tak bisa tidur, melainkan karena pikirannya penuh. Sejak aku pulang dengan wajah sembab dan mata bengkak sore tadi, ibuk pasti sudah bisa menebak ada yang tidak beres dalam rumah tanggaku selama ini.
“Maafin Aini ya, Buk…,” ucapku lirih.
“Aini balik ke rumah ini malah nambah beban buat ibuk.” Aku menyandarkan kepala di bahunya, merasakan kehangatan yang selama ini jarang kudapatkan.
Ibuk mengusap lembut rambutku, gerakannya pelan tapi menenangkan.
“Kenapa harus minta maaf, Aini? Yang salah itu Rendra, bukan kamu. Kamu pulang ke rumah orang tuamu sendiri, bukan ke rumah orang lain. Di sini tempat kamu, Nak.”
Dadaku terasa sesak mendengar kata-kata itu. Ada getir, tapi juga hangat yang menenangkan.
Ibuk menatapku lekat-lekat, lalu suaranya terdengar bergetar. “Ibuk yakin, kamu udah cukup terluka selama ini, ya? Dari pertama kamu datang, ibuk langsung tahu. Wajah kamu kelihatan capek, matamu kosong, dan badan kamu... bisa sekurus ini.”
Aku menunduk, tak sanggup menatap balik. Air mataku menetes tanpa bisa kutahan.
“Iya, Buk,” suaraku parau.
“Aini capek... Aini mau selesaiin semuanya. Besok Aini mau ajukan perceraian ke pengadilan. Aini gak mau terus begini. Aini mau hidup tenang sama Keenan, walaupun nanti dia harus kehilangan sosok ayahnya.”
Ibuk menarik napas panjang sebelum akhirnya memelukku. Pelukannya erat, hangat, dan menenangkan.
“Ibuk dukung apapun keputusan kamu, Nak. Selama itu yang terbaik buat kamu dan Keenan. Jangan takut soal masa depan. Selama masih ada ibuk dan Kevin, kalian gak akan kekurangan kasih sayang. Kalian aman di sini.”
Pelukanku pada ibuk semakin erat. Tangisku pecah di bahunya. Rasanya semua beban yang selama ini kupendam pelan-pelan luruh bersama air mata.
Benar kata orang, sejauh apapun kita pergi, tempat ternyaman tetaplah rumah orang tua.
Di rumah inilah aku bisa bernafas lega tanpa takut, tanpa pura-pura kuat. Karena di sini, ada kasih sayang yang tulus dan yang gak akan pernah pergi meski dunia berubah.