“Dulu masalah terbesarku cuma jadi pengangguran. Sekarang? Jalanan Jakarta dipenuhi zombi haus darah… dan aku harus bertahan hidup, atau ikut jadi santapan mereka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Awanbulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Aku berteriak sekuat tenaga, tapi para zombi itu tetap tidak menghiraukanku.
Sial, rasanya malu sekali... aku bisa mati gara-gara ini.
Apa mereka sebegitu tergila-gilanya pada daging wanita?
Ah... kalau kulihat lebih dekat, ternyata mereka semua laki-laki!
Jadi, apakah zombi juga punya hasrat seksual?
“Dasar zombi mesum!”
Tidak ada gunanya hanya teriak, jadi aku memukul salah satunya di belakang kepala dengan tongkat bambu. Yang di sebelahnya ikut kena.
Keributan itu akhirnya membuat mereka sadar akan kehadiranku.
Aku menjulurkan tangan, menepuk paha salah satu zombi yang mendekat. Rasanya keras, seperti hampir pecah. Lalu aku menjatuhkannya ke tanah dan segera lari untuk menciptakan jarak.
Itu teknik kotor yang pernah kupakai sebelumnya.
Kali ini aku akan coba menyerang kaki. Zombi memang tidak peduli dengan luka, tapi kalau kakinya hancur mereka tidak bisa berlari. Urusan lainnya bisa dipikir belakangan.
Masalahnya, jumlah mereka sudah terlalu banyak. Bermain kejar-kejaran melawan sepuluh zombi jelas berisiko tinggi. Aku tidak boleh berhenti bergerak.
Aku menyapu kaki satu zombi lagi, tapi kali ini dia sempat menghantam samping lututku.
Zombi akan terus mengejar tanpa henti. Kalau aku konsisten dengan pola serangan ini, seharusnya aku bisa bertahan meski melawan banyak musuh. Sisanya tergantung pada kekuatan fisikku. Ayo, semoga saja aku masih cukup kuat meski sudah masuk usia 30-an!
Oke, berikutnya! Berikutnya!!
Zombi yang terjatuh merangkak di tanah, tapi kecepatan mereka jelas menurun.
Entah bagaimana…
“Om! Di belakangmu!!!”
Siapa pula yang kau panggil Om?!
Sial, zombi itu mencengkeram bahuku! Gerakan baru lagi?!
“Jangan sentuh aku!!!”
Aku gunakan momentum, bersandar sejauh mungkin ke belakang. Krek! Aku bisa merasakan hidungku menghantam keras ke helm. Untung saja aku memakainya, kalau tidak pasti sudah patah!
Cengkeraman itu melemah, aku segera melepaskan diri dan melangkah maju.
“Ssst!!!”
Golok kecilku menancap di tenggorokan zombi yang menghadang. Satu jatuh. Aku injak tubuhnya dan zombi lain ikut terseret roboh, seperti pin bowling berjatuhan.
Tidak berhenti di situ, aku terobos tiga zombi sekaligus. Aku hantam bahu satu, tangan kanan satunya lagi, lalu kaki kiri zombi ketiga. Tidak ada waktu untuk membidik tepat sasaran asal mengenai saja sudah cukup!
Nafasku mulai terengah-engah.
Aku berlari menembus kerumunan, panik, lalu melompat ke belakang sebuah truk tempat para pelajar bersembunyi. Untung truk berukuran sedang ini punya bak belakang yang bisa jadi tempat bertahan!
Aku tarik napas dalam-dalam, lalu menghitung. Dari semua zombi tadi, masih ada empat yang berdiri, empat lagi tergeletak.
“A-apa kamu baik-baik saja?!” seorang siswi di atap berteriak cemas.
“Aku… aku sangat kuat. Biarkan aku istirahat sebentar…” jawabku, setengah malu.
Padahal sebelumnya aku sempat sok bilang, “Serahkan saja padaku!”
Begitu napas sudah teratur, aku berdiri di tepi bak truk. Satu per satu zombi yang mendekat aku hancurkan kepalanya dengan tongkat bambu, seperti memecahkan semangka.
Ini terlalu mudah.
“Hai, aku?!?!?!”
Tiba-tiba sebuah teriakan dari belakang membuat darahku membeku.
Sial. Aku baru saja merasa lega, dan ternyata kengerian baru menungguku.
“…Yang terakhir!!!”
Aku menghantam kepala zombi terakhir yang masih merangkak di tanah. Otaknya pecah, dan tubuh itu pun terkulai diam.
Oh, sial. Tongkat bambuku retak di beberapa bagian.
Untung aku masih punya cadangan di rumah. Syukurlah, senjata ini tidak sampai patah total saat pertempuran.
Aku menghela napas panjang, lalu menyapu pandangan ke sekitar. Zombi-zombi yang tersisa, termasuk yang baru muncul, semuanya sudah terkapar.
“…Fiuh, sekarang sudah aman.”
Aku menoleh ke arah truk, lalu memanggil siswi di atasnya.
Seorang siswi berseragam rok dan kemeja putih melompat turun dari bak belakang. Aku langsung mengenali seragam itu SMA swasta terkenal di Banyuwangi. Kalau tidak salah, adik perempuan temanku juga sekolah di sana. Aku ingat betul sekolah itu terkenal dengan aturan ketat. Berarti, posko pengungsian mereka pasti tidak jauh dari sini.
Gadis itu merapikan rambutnya yang dikepang dua, gaya yang jarang kulihat belakangan ini.
“Terima kasih, Om. Kukira semuanya sudah berakhir… terima kasih banyak…” ucapnya, menunduk hormat.
Om… huh. Ya, bagi anak SMA, orang yang berusia tiga puluhan memang sudah dianggap tua.
Padahal dulu, waktu aku masih mahasiswa, aku juga berpikiran sama.
Ya sudahlah. Tidak ada yang bisa kulakukan soal itu.
“Aku terpisah dari orang-orang yang datang bersamaku untuk mencari makanan…” katanya pelan, menundukkan kepala.
“Bersama? Jadi kalian punya markas di suatu tempat?” tanyaku.
“Ya… sekolahku diubah jadi posko pengungsian.”
Jadi benar, sekolah itu dijadikan tempat pengungsian. Tepat seperti yang aku duga.
“Lalu, apa kamu tersesat sampai ke sini?”
“Yah… waktu aku jalan ke minimarket dekat sekolah, aku malah kepergok zombi. Aku lari ke sana kemari kayak orang gila, nyaris tercabik-cabik… terus entah gimana, tiba-tiba aku sampai di sini…”
Aku mengangguk kecil. “Saya lihat, ada berapa orang di sana?”
“Hanya tiga orang… termasuk aku.”
Hmm. Kalau begitu, jelas berbahaya untuk mencarinya sekarang. Lagi pula, langit sudah mulai gelap dan hujan sepertinya akan turun. Mencari orang tanpa arah di kondisi begini hampir mustahil, kecuali mereka kebetulan ada di dekat sini.
“Kalau begitu, aku bisa mengantarmu kembali ke sekolah. Aku tahu letaknya.”
“Eh… nggak apa-apa?!” Matanya melebar, sedikit ragu.
“Teman-temanku mungkin sudah kembali ke sekolah saat ini… tapi kalau aku muncul denganmu, mereka mungkin akan curiga, apalagi kalau melihat pakaianmu yang…”
“Ti-tidak! Dia sudah berusaha keras membantuku!” sahut siswi itu cepat, wajahnya memerah. “Dia orang baik!”
“B-Benarkah?” seorang siswa lain ikut menyahut dari belakang, masih ragu.
“Iya! Itu benar!” tegasnya lagi, seolah tidak mau ada yang salah paham.
Gadis yang baik sekali… aku sedikit tersentuh.
Manusia ternyata belum sepenuhnya hilang. Hampir saja aku meninggalkan gadis seperti ini untuk mati… hampir saja.
…Tapi mungkin dia juga terlalu mudah percaya. Kalau begini terus, aku khawatir suatu hari dia akan tertipu orang jahat.
“Masuk saja ke mobil. Hujan sebentar lagi turun, dan zombi mungkin kembali,” kataku.
“Ya! Terima kasih banyak atas bantuanmu!” jawabnya bersemangat.
Aku naik ke kursi pengemudi. Tanpa ragu, dia langsung menyusul dan duduk di kursi penumpang. Truk ini kecil dan ringan, tapi justru karena mungil, ruang dalamnya terasa cukup lega.
“Eh, baiklah… namaku Hana!” katanya sambil memperkenalkan diri.
Wow. Kupikir aku bisa tetap mempertahankan image sebagai lelaki tua misterius sampai akhir, tapi sepertinya tidak ada jalan lain.
“Terima kasih juga atas kebaikanmu. Aku… Bima. Senang bertemu denganmu, Hana.”
“Baik! Bima!” jawabnya ceria.
Aku sempat menyesal karena memberikan nama yang sama seperti yang kugunakan sebelumnya dengan kelompok Budi. Namaku terdengar agak aneh. Kedengarannya seperti nama tokoh dari cerita rakyat zaman dulu. Kenapa orang tuaku memberi nama seperti itu? Padahal adikku diberi nama normal-normal saja.
Yah, terserah. Setidaknya Hana ini sekitar lima ratus juta kali lebih normal daripada dua orang idiot yang kutemui tempo hari. Jadi kurasa tak masalah memperkenalkan diriku apa adanya.
Tidak, tunggu dulu. Berapa pun angka yang kau kalikan dengan nol, hasilnya akan tetap nol…
Dengan pemikiran konyol itu terlintas di kepala, aku menginjak pedal gas. Mesin meraung, truk ringan itu bergetar ringan.
Di luar, hujan akhirnya turun rintik pertama yang cepat berubah jadi deras, membasahi jalanan yang sepi dan berlumur bau busuk zombi.