Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Student Fair
Wajah langit Gainesville di pagi ini tampak begitu cerah, seakan turut menyambut riang hari keduaku di kampus baru. Kelas pertama hari ini akan berlangsung pada pukul sepuluh siang. Namun, aku harus tetap berangkat ke kampus pagi-pagi untuk menghadiri Student Fair—ditemani Nina.
Aku adalah mahasiswi pindahan di tahun kedua. Dan aku belum mengikuti klub apapun di kampus baruku ini. Jadi, dalam rangka menyibukkan diri dan beradaptasi dengan lingkungan baru, aku memutuskan untuk bergabung dengan satu atau dua klub nantinya.
Aku dan Nina berjalan menuju area tengah kampus yang dari kejauhan sudah tampak ramai dengan stan-stan klub warna-warni. Spanduk tergantung tinggi di antara pepohonan. Juga musik ceria terdengar samar dari pengeras suara di ujung sana.
"Wah, meriah sekali.", gumamku.
"Ya. Dari pagi hingga sore nanti.", jawab Nina, sambil menyeruput es kopi di tangannya.
Kami melewati stan marching band, kemudian stand klub astronomi—mereka menaruh sebuah teleskop besar sebagai umpan visual.
"Tertarik?", tanya Nina, mengarakan pandanganku pada klub astronomi itu.
Aku tertawa kecil. "Apa kamu bercanda? Tentu sangat bukan diriku.", jawabku.
Selanjutnya kami melewati stand klub teater, stand klub musik, juga klub fotografi yang diikuti Nina—saat kami lewat tepat di depannya, banyak anggota klub yang menyapa Nina.
"Atau kamu mau bergabung denganku di klub fotografi saja?", goda Nina.
"Ya, andai aku mahir dalam hal itu.", jawabku, membuat Nina kembali tertawa.
"Hei! Lihat di sana! Bukankah itu Nick?", Nina menunjuk sebuah stand di depan sana. Sebuah stan dengan spanduk bertuliskan 'Less Plastic, More Life'. Itu adalah stan milik klub sosial.
Nina menarik tanganku, mengajakku untuk menghampiri Nick yang sedang berdiri di samping stan–memakai kaos klub, tampak tersenyum begitu menenangkan, dengan tumpukan brosur di tangannya.
"Hai, Nick!", seru Nina, saat kami sudah berada di dekat Nick.
Nick menoleh ke arah kami, tampak sedikit terkejut. "Hai, Nina, Nora!", sapanya. "Sedang melihat-lihat?", tanyanya.
"Ya. Aku sedang menemani Nora untuk melihat-lihat. Dia masih bingung ingin bergabung dengan klub apa."
"Benarkah? Ehm, mungkin aku bisa membantumu, Nora.", kata Nick, tersenyum padaku. Andai Nick menyadari betapa mempesona senyumannya itu—seringkali membuatku gugup, tersipu malu dan mengacaukan detak jantungku.
"Hmm, ide yang bagus, Nick. Kalau begitu aku titipkan Nora padamu. Kebetulan, aku sepertinya harus pergi. Aku lupa sudah memiliki janji untuk menemui temanku saat ini. Sampai jumpa!", kata Nina, langsung bergegas pergi tanpa memberiku kesempatan untuk bicara. Jelas aku tahu ini hanya bagian dari rencana Nina untuk membuatku semakin dekat dengan Nick. Dasar Nina!
"Mau kutemani melihat-lihat lagi? Kita bisa melakukannya sambil kujelaskan padamu.", kata Nick.
"Baiklah."
Nick benar-benar menemaniku berjalan-jalan di area Student Fair berlangsung. Ia menunjukkanku berbagai klub yang ada di kampus ini. Juga menjelaskan banyak hal tentang klub-klub tersebut padaku. Kami menghabiskan waktu selama kurang lebih dua puluh menit untuk menyelesaikannya. Lalu, Nick mengajakku kembali menuju stan klubnya.
"Jadi, bagaimana? Apa kamu sudah merasa tertarik dengan salah satunya?", tanya Nick. "Atau kamu ingin bergabung denganku di klun sosial kami? Kebetulan kami membutuhkan beberapa anggota baru untuk menjalankan proyek baru kami. Kami akan mengadakan Eco-Market Day sebagai salah satu proyek untuk mendukung program Green Campus. Nantinya kita akan membuat dan membagikan produk ramah lingkungan, mengadakan workshop mini dan live music dengan tema ramah lingkungan, juga membuat stan makanan organik untuk menarik pengunjung agar menulis komitmen hijau mereka di papan yang akan kami sediakan di satu tempat di dalam kampus.", jelas Nick.
Aku menyimak semua penjelasan Nick, lalu menganggukan kepala. Aku menyukai caranya menjelaskan, dengan suara yang tenang namun terdengar antusias, dengan mata yang berbinar saat berbicara tentang program di klubnya. "Hmm, kedengarannya menarik. Kalau begitu, bisakah kamu membantuku untuk mengisi formulir pendaftaran."
Nick tampak terkejut. Mungkin tidak menyangka jika akhirnya aku memutuskan untuk bergabung dalam klub sosial bersamanya. "Tentu."
Nick menyodorkan selembar kertas berisi formulir pendaftaran ke tanganku. Jari kami nyaris bersentuhan. Membuatku sontak menarik tanganku dan berpura-pura membaca formulir pendaftaran itu.
Sepertinya Nick menyadari kepura-puraanku itu, sebab ia tiba-tiba tersenyum. Lalu, ia membantuku mengisi formulir pendaftaran. Nick berdiri tepat di sebelahku—cukup dekat, membantuku menjelaskan kolom-kolom yang harus diisi. Tangannya menunjuk pelan ke bagian-bagian tertentu. Sesekali tangannya tanpa sengaja bersentuhan dengan tanganku, membuat detak jantungku semakin tak karuan.
"Malam nanti kami akan mengadakan rapat di kampus. Aku akan mengirimimu pesan untuk waktu dan tempat pelaksanannya. Datanglah!", katanya.
"Ehm, baiklah. Trims, Nick sudah membantuku hari ini."
"Sama-sama, Nora. Aku senang sekali kamu bergabung.", katanya dengan tatapan yang dalam, membuatku kembali salah tingkah.
Tidak lama setelah itu aku berpamitan pada Nick untuk pergi. Sebab beberapa saat lagi, kelas pertama hari ini akan segera dimulai.
Saat wajah langit mulai gelap dan sang waktu sudah menunjukkan lewat pukul tujuh, aku bergegas melangkahkan kaki keluar asrama menuju tempat yang sudah Nick beritahu padaku sore tadi.
Rapat malam ini berlangsung di salah satu ruang serbaguna di gedung kegiatan mahasiswa. Ruangan itu tampak sederhana, dengan meja-meja lipat, proyektor di dinding, dan beberapa kursi yang disusun rapi yang sebagian besar sudah diisi oleh para anggota klub. Sementara di depan sana, tampak sosok Nick yang menjadi leader dalam proyek 'Eco-Market Day' kali ini, tengah menjelaskan tentang proyek baru kami—mengenakan sweater putih sederhana dan celana jeans. Tampak menawan, seperti biasa.
Dengan langkah kaki perlahan, aku memasuki ruangan itu dan duduk di salah satu kursi yang masih kosong. Nick sepertinya menyadari kedatanganku. Ia menatapku dalam dan hangat. Yang kemudian entah kenapa membuatnya seperti salah tingkah. Bahkan perkataannya menjadi gagap–terbata-bata, lucu sekali.
"... jadi kita... kita... kita akan... eh... kita akan memulai... eh...maaf... ", Nick menghentikan sejenak perkataannya. Tampak sedang berusaha mengatur nafasnya lagi sambil menggelengkan kepala, berdehem, lalu melanjutkan perkatannya lagi.
Entah mengapa melihat Nick gugup seperti itu sontak membuatku tersenyum—bukan bermaksud ingin mengejeknya, melainkan karena hal tersebut menunjukkan bahwa dia manusia—terlepas dari kesempurnaannya. Dan mungkin, hal tersebut juga menunjukkan bahwa aku sedikit berarti baginya. Mungkin.
Rapat berjalan sekitar empat puluh menit. Nick membahas tentang proyek baru kami yang rencananya akan mulai dipersiapkan awal september nanti, atau sekitar satu minggu lagi. Jujur, aku semakin kagum melihat sosok Nick. Bagaimana ia memimpin rapat dan menjelaskan berbagai hal dalam ketenangan, kehangatan dan pesona yang luar biasa. Dia tidak hanya pintar, tapi juga memiliki semangat dan empati yang nyata dalam caranya bicara.
Setelah rapat selesai, Nick menghampiriku yang hendak bangkit dari tempat dudukku. Jelas banyak pasang mata yang memperhatikan kami. Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan itu semua sekarang.
"Hai, Nora!", sapanya, hangat. Begitu juga senyumannya.
"Hai, Nick!.", balasku.
"Kukira kamu tidak datang malam ini."
"Tentu saja aku datang. Aku tidak mau melewatkan presentasimu yang menarik. Walaupun sepertinya kamu sedikit gugup tadi.", godaku.
Nick tertawa pelan. "Kamu melihatnya?"
"Tentu saja. Kurasa semuanya juga melihat. Karena tidak ada sepasang mata pun yang tidak memperhatikanmu, seperti biasa.", kataku, ikut tertawa.
"Hmm, aku pasti kelihatan konyol tadi."
"Tidak. Kamu terlihat... lebih manusiawi."
"Benarkah?"
"Ya, menjadi terlalu sempurna juga tidak baik.", sahutku, yang langsung kusesali saat itu juga. Sebab, sepertinya kalimat itu terdengar cukup ambigu.
Nick tampak terdiam sejenak, mungkin ia juga sedang menerka-nerka apa maksud dari perkataanku itu. Namun, pada detik berikutnya ia bersikap biasa dan berusaha mencairkan kembali suasana yang sempat menjadi hening, sesaat.
"Baguslah kalau begitu. Kadang aku khawatir terlihat terlalu serius.", kata Nick, tertawa lagi. "Mau langsung kembali ke asrama?", tanyanya kemudian.
"Ya. Besok akan ada kelas pagi. Jadi, aku harus segera beristirahat."
"Ehm, boleh kutemani sampai depan asrama?", tanyanya, tampak sedikit ragu. Mungkin ia khawatir bahwa aku akan menolak tawarannya.
"Tentu.", jawabku.
Kami menyusuri trotoar, menuju ke arah asrama. Jalanan menuju kesana tampak cukup sepi, hanya ada suara serangga dan cahaya dari lampu-lampu taman yang menyala kekuningan.
"Aku senang kamu bergabung dengan klub sosial."
"Kenapa?"
"Karena, kita akan jadi lebih sering bertemu.", jawab Nick, sontak membuatku berdebar-debar dan tersipu malu. Entah apa maksud dari jawabannya itu. Mungkin ia senang kita lebih sering bertemu, karena Nick suka mengobrol denganku. Atau mungkin karena hal lainnya? Entahlah, aku tidak mau terlalu memikirkannya. Sebab, jika begitu pipiku pasti akan semakin terlihat seperti kepiting rebus.
"Ehm, sebenarnya aku sangat bersemangat dengan klub sosial, karena dulu ibu sangat menyukai kegiatan sosial seperti ini. Jadi, aku seperti kembali mendapatkan ingatan yang hangat tentang Ibu.", katanya.
Aku membelai lengan kekarnya. "Ibumu pasti sudah bahagia di surga. Dan, dia pasti sangat bangga melihatmu sekarang, Nick."
"Trims, Nora. Aku juga berharap begitu.", kata Nick, tersenyum hangat. "Baiklah. Aku pergi dulu, Nora. Selamat beristirahat!", kata Nick lagi, begitu kami tiba di halaman depan asrama kampus.
"Trims, Nick."
Nick menatapku dalam, sejenak. Sebelum akhirnya membalikkan badan dan pergi. Aku masih berdiri di halaman depan asrama, menatap kepergian Nick, yang meninggalkan debaran di dadaku yang tak kunjung mereda. Begitu sosoknya menghilang di balik gelapnya malam, aku masuk ke dalam asrama—menyusuri lorong yang mulai sepi menuju kamar.
"Bagaimana kencan kalian?", tanya Nina menyambutku dengan wajah penuh keingintahuan.
"Hei! Kami hanya rapat, bukan kencan.", sanggahku.
"Hmm, anggap saja ini sebagai kencan—tidak resmi.", kata Nina, membuatku tertawa kecil. "Jadi, bagaimana perkembangan hubungan kalian? Jangan-jangan Nick sudah menyatakan cinta padamu."
"Tebakanmu terlalu jauh, Nina."
"Benarkah? Kupikir kalian sudah melewati itu. Karena, waktu itu saja kalian sudah hampir berci..."
Aku langsung memotong perkataan Nina. Sebab, aku tahu betul apa yang akan dibicarakannya. "Hei! Sudah kubilang itu tidak disengaja, Nina. Lagipula kami belum sempat melakukannya."
Nina menatapku dengan senyuman menggodanya. "Oh, jadi sekarang kamu diam-diam mengharapkannya, Nora?"
"Ninaaa!"
"Bukankah aku benar?"
"Tentu saja tidak."
"Benarkah?", tanya Nina, sambil memicingkan mata. "Dasar gadis nakal!", serunya, sambil tertawa.
"Hei!", seruku, ikut tertawa bersamanya.