Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hinaan Para Pejabat
Balai istana Nurendah berdiri megah, tapi hari itu kemegahannya terasa dingin, bahkan bagi yang biasa menilai dengan mata tajam. Pilar-pilar kayu jati menjulang tinggi, ukirannya memantulkan cahaya lampu minyak yang berayun lembut. Aroma dupa menggantung di udara, seharusnya membawa ketenangan, tapi kini terasa seperti lapisan tebal yang menahan napas dan membuat setiap gerakan terasa penuh ketegangan.
Al Fariz duduk di kursi Sultan, kursi yang diwariskan oleh leluhur, simbol kekuasaan yang sudah ada selama ratusan tahun. Tubuhnya lemah dan compang-camping; kain sederhana menutupi luka-luka yang belum sembuh di punggung dan dada. Rambutnya acak-acakan, wajahnya masih menyimpan jejak lebam. Di mata para menteri, ia tidak lagi seorang Sultan—hanya seorang lelaki yang jatuh, terluka, dan tak layak berada di singgasana.
Suasana hening sesaat, sebelum seorang menteri tua berjanggut panjang dan berjubah merah melangkah maju, nada bicaranya tajam, penuh sindiran:
“Yang Mulia Sultan… Ataukah pantas aku masih menyebutmu ‘Yang Mulia’?”
Beberapa menteri tertawa pelan, namun ada yang menahan diri, menatap Al Fariz dengan tatapan penuh ejekan.
“Nurendah membutuhkan singa di kursi ini,” lanjut sang menteri, suara bergema di antara tiang-tiang jati. “Tetapi apa yang kulihat? Seekor domba, babak belur, tersesat di tengah kawanan serigala.”
Kata-kata itu menusuk tajam. Al Fariz menggenggam sandaran kursi, urat-urat di tangannya menegang. Darahnya mendidih, ingin sekali ia berdiri, membalas hinaan itu dengan suara lantang. Tapi sumpah yang diikrarkannya di makam leluhur menahannya. Ia menarik napas dalam, menunduk sedikit. Dari luar, ia tampak tenang. Tapi di dalam hati, badai berkecamuk.
Seorang menteri lain, bertubuh gemuk dengan wajah licik, menyela sambil melirik kanan-kiri. “Rakyat kini membicaramu, Sultan. Mereka berkata, ‘Sultan kita lebih pantas menjadi pengemis di pasar daripada pemimpin di istana.’ Bagaimana kau bisa memimpin negeri jika tubuhmu tak sanggup berdiri tegak?”
Tawa kecil terdengar di sudut balai. Para pejabat muda menutup mulut pura-pura batuk, tapi Al Fariz menangkap sorot mata mereka—mata yang menilai, menghakimi, dan menertawakan. Ia menatap mereka satu per satu, pandangannya tajam, penuh bara. Tapi tatapan itu dianggap mereka hanya rengekan seekor anjing yang terluka.
“Sudahlah,” suara seorang menteri berpakaian biru terdengar, tegas dan penuh tekanan. “Kita tidak bisa menutup mata. Pangeran muda yang muncul dari utara mengaku darah kerajaan, dan rakyat mulai berpaling padanya. Bandingkan dirinya denganmu—ia gagah, bertenaga, dan… tidak tampak seperti pecundang.”
“Pecundang,” kata itu bergema. Ruangan bergemuruh. Tawa, dengusan setuju, dan pandangan saling bertukar.
Al Fariz menggertakkan gigi. Dalam hati, ia berteriak: Jika saja kalian tahu apa yang sedang kulalui. Jika saja kalian tahu jalan yang kupilih lebih berat daripada jalan singkat yang kalian harapkan.
Tapi bibirnya tetap terkatup. Ia menundukkan kepala, menahan diri. Kata-kata itu menusuk seperti pisau, namun ia tahu—ini adalah ujian bagi jiwanya. Ia baru menapaki tahap Jiwa Lemah, dan setiap hinaan adalah batu uji yang harus ia hadapi.
Dalam hatinya ia bergumam:
Ya… hina aku sepuasnya. Lukai aku dengan kata-kata kalian. Aku akan menelan semuanya, dan dari racun ini aku akan menempa diriku sendiri.
Suasana balai semakin panas. Menteri tua berjanggut itu kembali maju. “Sultan, dengarlah suara kami. Demi keselamatan negeri, demi kesejahteraan rakyat, lepaskanlah tahta ini. Biarkan orang yang lebih pantas memimpin, bukan dirimu yang hanya membawa aib.”
Semua mata kini tertuju pada Al Fariz. Ada yang menanti ia meledak marah, ada yang menunggu ia jatuh tersungkur.
Namun yang terdengar hanyalah suara napasnya, berat tapi teratur. Ia berdiri perlahan, tubuhnya goyah. Balai hening. Ia menatap seluruh menteri yang hadir. Pandangannya tidak lagi sekadar marah, melainkan tenang, seperti bara api yang menyala dalam-dalam.
Bibirnya hanya mengucapkan satu kalimat singkat:
“Aku mendengar kalian.”
Hanya itu. Ia kemudian duduk kembali, menutup mata, seolah menolak memberi lebih banyak kata.
Menteri-menteri terdiam sesaat. Sebagian terkejut karena Sultan tidak meledak. Sebagian malah semakin yakin: lelaki ini sudah tak punya taring.
Tapi dalam hati Al Fariz, suaranya seperti sumpah:
Tunggu saja. Tunggu waktuku. Aku akan buktikan. Bukan dengan mulut, tapi dengan kekuatan. Bukan dengan ancaman, tapi dengan kemenangan. Dan saat itu tiba, kalian akan menunduk, bukan karena takut… melainkan karena sadar.
Kilasan ingatan menyerangnya: pasar yang penuh hinaan. Pedagang yang menatapnya jijik, anak-anak yang tertawa, warga yang berbisik mengejeknya. Ia merasakan ludah rasa sakit itu, tapi juga tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Hinaan hari ini hanyalah bayangan dari hinaan yang lebih besar di luar sana. Dan ia siap membalasnya, bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan yang akan membuat mereka menunduk.
Seorang menteri muda, baru diangkat, menatap tajam: “Sultan… apakah ini yang dimaksud rakyat ketika mereka berharap pada pemimpin? Orang yang terluka dan remuk, duduk di kursi emas tapi hatinya rapuh? Tidakkah kau takut negeri ini hancur karena kepemimpinan yang rapuh?”
Al Fariz menundukkan kepala. Tubuhnya masih lemah, tapi pikirannya tajam seperti mata pisau. Ia membayangkan setiap langkahnya setelah kembali dari pasar, setiap malam berdoa di bawah bintang, memohon kekuatan untuk menanggung semua ini. Kata-kata menteri itu menampar wajahnya, tapi ia menahannya. Tidak ada kemarahan yang dilepaskan—hanya ketenangan yang berpendar dari bara di dalam dada.
Seorang menteri berpakaian ungu, lebih tua dan berpengalaman, menambahkan dengan nada dingin: “Yang Mulia, rakyat mulai membandingkanmu dengan Pangeran utara. Mereka melihat seorang lelaki gagah, penuh energi, pemimpin sejati. Dan engkau? Tubuhmu lemah, wajahmu lusuh, dan kau tampak… tidak sanggup memimpin.”
Al Fariz menggenggam sandaran kursi. Kata “tidak sanggup” bergema di kepalanya, tapi ia menelan bara itu. Ia tahu sumpahnya bukan untuk didengar oleh menteri, tapi untuk dirinya sendiri. Ia menutup mata sejenak, membayangkan makam leluhur, mengingat janji:
Aku akan memimpin bukan karena kata-kata mereka, tapi karena kekuatan yang kumiliki. Aku akan membuktikan nilainya melalui tindakan, bukan ucapan.
Seorang menteri berpakaian biru laut mengetuk meja dengan jari-jari gemetar—bukan karena grogi, tapi untuk menegaskan kata-katanya. “Sultan, dengarlah! Lepaskan tahta. Serahkan pada yang lebih pantas. Jika tidak, negeri ini akan terjerumus dalam kehancuran sebelum panen berikutnya. Bahkan rakyat pun mulai meragukan kemampuanmu.”
Suasana balai semakin panas. Bau dupa yang semula wangi kini menusuk, mengiringi ejekan yang mencekam. Al Fariz berdiri perlahan, tubuhnya masih goyah. Semua mata tertuju padanya. Pandangannya menyalakan bara yang tak terlihat.
Ia mengangkat suara, lembut namun penuh wibawa:
“Aku mendengar kalian.”
Hanya itu. Kata-kata singkat yang membuat beberapa menteri terkejut. Mereka menunggu ledakan kemarahan, tapi yang terdengar hanyalah ketenangan. Al Fariz duduk kembali, menutup mata, tapi pikirannya berputar cepat: strategi, kekuatan, pembalasan yang tak kasat mata. Ia membayangkan langkah selanjutnya akan menjadi bencana bagi mereka yang menertawakannya.
Balai hening. Para menteri menatap satu sama lain, bingung. Beberapa menyangka Sultan lemah, beberapa mulai merasakan ancaman yang tak kasat mata. Al Fariz duduk dengan tenang, meski tubuhnya lemah, tapi aura yang terpancar dari dirinya membuat ruangan terasa berbeda. Bara yang tersembunyi dalam dirinya kini mulai terlihat, cukup untuk menimbulkan rasa takut terselubung di hati para pejabat.
Hinaan hari ini hanyalah awal. Dan Al Fariz tahu, dari setiap ejekan, setiap kata sinis, ia akan membangun kekuatan. Tidak ada kata yang bisa mematahkan jiwa yang ditempa dari sumpah, dari kehilangan, dan dari pengkhianatan.
Di mata menteri-menteri, ia hanyalah bayangan yang rapuh. Tapi di dalam dirinya, ada bara yang siap membakar segala hinaan. Ia menutup mata, menarik napas dalam, dan membiarkan balai istana tetap bergemuruh dengan suara mereka sendiri.
Al Fariz tidak berbicara lagi, tapi dalam diamnya, ia sudah memulai langkah pertama dari pembalasan yang akan membuat semua menunduk—bukan karena takut, tapi karena sadar akan keagungan seorang Sultan sejati.