NovelToon NovelToon
Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: riena

“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”

Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.

Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 22. Takut khilaf

Begitu pintu pagar ditutup, sunyi langsung menyergap. Rumah yang tadi riuh dengan tawa dan obrolan kini kembali ke ritme biasanya: hanya Arman dan Widya.

Widya merapikan gelas-gelas bekas minum yang tersisa di meja makan. Tangannya cekatan, tapi pikirannya masih melayang ke ucapan kakek tadi. Sementara Arman membantu mengangkat piring ke dapur, pura-pura fokus, padahal sejak tadi ia sendiri masih salah tingkah.

“Capek juga ya,” ujar Arman akhirnya, mencoba memecah hening sambil menaruh piring di wastafel.

Widya hanya mengangguk, senyum tipis menghias bibirnya. “Tapi seneng juga, lihat mereka kelihatan puas.”

“Puas… lihat kita kayak pasangan suami-istri beneran,” sambung Arman dengan nada bercanda, tapi cepat-cepat ia menunduk, seolah baru sadar kalimatnya bisa membuat suasana tambah kikuk.

Widya langsung mendelik sekilas, wajahnya memanas. “Emang kita apa? Kontrak bisnis?”

Arman terkekeh, mengangkat tangan. “Bukan, bukan… maksudku, mereka bahagia lihat kita bisa akrab.” Ia menatap Widya sekilas, senyum hangat muncul tanpa bisa ditahan.

Setelah setelah membereskan semua, mereka naik ke kamar. Begitu pintu kamar ditutup, atmosfer kikuk itu kembali menyeruak. Ingatan soal ucapan kakek muncul lagi, membuat keduanya seolah tak tahu harus berbuat apa.

Widya duduk di tepi ranjang, memainkan ujung bajunya sendiri. Arman membuka kancing kemejanya satu per satu, lalu merebahkan diri di sisi ranjang dengan tangan di belakang kepala.

“Wid,” panggilnya pelan.

“Hm?”

“Jangan dipikirin ucapan kakek, ya. Dia memang begitu… suka ceplas-ceplos. Aku…” Arman menghela napas, matanya menatap langit-langit. “Aku nggak mau kamu jadi kepikiran atau malah ngerasa terbebani.”

Widya menoleh pelan, menatap wajah Arman dari samping. Ada kesungguhan di matanya. “Aku nggak kepikiran, kok. Ya… paling malu aja.”

Arman tertawa pendek, menutup wajah dengan tangan. “Malu banget. Aku kira muka aku tadi bisa meledak.”

Widya tak bisa menahan senyum, lalu buru-buru menunduk agar tak terlalu kentara. Hatinya hangat, meski tetap ada kikuk yang belum bisa hilang begitu saja.

Lampu kamar sudah diredupkan. Widya berbaring memunggungi Arman, seperti biasa. Di antara mereka ada bantal guling yang selalu jadi pembatas diam-diam: simbol jarak yang aman.

Arman menatap punggung istrinya lama sekali. Nafas Widya sudah mulai teratur, meski belum benar-benar tidur. Ia ragu, tapi juga tidak tahan dengan jarak yang terus ada. Perlahan,

arman meraih bantal guling itu.

Pelan-pelan, hampir tanpa suara, bantal guling disingkirkan ke bawah ranjang. Dada Arman berdegup, separuh merasa nakal, separuh lagi penuh harap.

“Kalau malam ini aku khilaf gimana?” batinnya bergumam, senyum tipis menghiasi wajah. Ia tidak berniat macam-macam, hanya ingin merasa sedikit lebih dekat.

Widya, yang sebenarnya masih setengah sadar, merasakan perubahan itu. Matanya tetap terpejam, tapi bibirnya menahan senyum samar. Ada rasa aneh, deg-degan sekaligus hangat yang mengalir begitu sadar jarak mereka kini tak selebar biasanya.

Arman menghela napas pelan, mencoba tenang. Ia berbaring menghadap langit-langit, pura-pura tidak terjadi apa-apa.

*

*

Cahaya matahari menembus tirai tipis, jatuh samar di atas ranjang. Udara kamar masih segar, hening, hanya terdengar suara burung sesekali dari luar jendela.

Arman membuka mata perlahan, tubuhnya terasa lebih hangat dari biasanya. Seketika jantungnya berdetak lebih kencang saat menyadari posisinya. Widya ada tepat di hadapannya, wajah istrinya yang masih terpejam tampak begitu dekat. Helaan napasnya teratur, rambut halusnya berantakan sedikit di dahi.

Dan yang paling membuat Arman tercekat—tangannya tanpa sadar bertengger di pinggang Widya. Erat, seolah sejak semalam ia enggan melepas.

“Mati aku…” Arman menahan napas, panik dalam diam. Perlahan ia mencoba menarik tangannya, pelan-pelan sekali, takut membuat gerakan yang bisa membangunkan. Tapi setiap sentimeter yang bergeser malah membuat degupnya makin keras.

Sialnya, sebelum tangannya benar-benar terlepas, mata Widya sebenarnya sudah terbuka sedikit. Ia bangun lebih dulu, tapi memilih menutup rapat-rapat, pura-pura masih terlelap. Hatinya berdesir, campuran antara kaget, malu, dan—ia enggan mengakuinya—sedikit hangat.

Saat tangan Arman akhirnya lepas, Widya justru merasakan hampa aneh di pinggangnya. Tapi ia tetap diam, pura-pura tidak sadar.

Arman menelan ludah, menatap wajah istrinya. Ia merasa seperti remaja tanggung ketahuan mendekati gebetan. Jemarinya sempat gatal ingin menyibak anak rambut di kening Widya, tapi buru-buru ia tahan. “Jangan keterlaluan, Man…” batinnya mengingatkan.

Dengan hati-hati, Arman bergeser, duduk di tepi ranjang. Ia mengusap wajah, berusaha menormalkan napasnya. Tapi tatapannya masih melirik ke arah Widya.

Dan di sisi lain, Widya yang masih berpura-pura tidur, justru berperang dengan dirinya sendiri. Wajahnya panas, jantungnya tak kalah ribut. “Kenapa aku malah nggak bisa marah…? Padahal jelas-jelas dia—“ pikirnya, tapi kalimat itu tak pernah selesai.

Saat Arman bangkit berdiri, Widya buru-buru menarik selimut lebih tinggi, menutupi wajah, pura-pura menggeliat seperti orang baru bangun.

“Udah bangun, Wid?” suara Arman terdengar agak serak, jelas masih canggung.

Widya membuka mata lebar, menoleh perlahan. “Hm… iya. Baru aja.” Senyumnya dipaksakan, tapi pipinya masih menyisakan warna merah samar.

Arman mengangguk cepat, terlalu cepat. “Aku bikin kopi dulu ya.” Ia langsung melangkah ke luar kamar, hampir seperti kabur, meninggalkan Widya yang menatap punggungnya sambil menahan tawa kecil.

Begitu pintu menutup, Widya menenggelamkan wajahnya ke bantal. “Astaga… kenapa jadi begini sih.”

Dan di dapur, Arman sibuk menuang kopi dengan tangan sedikit gemetar, bibirnya tersenyum sendiri. “Gawat… makin hari aku makin nggak bisa jaga jarak sama dia.”

------

Suara piring beradu pelan dengan sendok mengisi meja makan. Widya duduk di kursi dengan wajah masih segar habis cuci muka, rambutnya rapi diikat ekor kuda. Sementara Arman sibuk menuangkan kopi ke cangkir, berusaha tampak santai.

Tapi sebenarnya keduanya sama-sama masih kepikiran momen di ranjang tadi pagi.

Widya menunduk, mengaduk-aduk sarapan roti bakar dengan selai kacang tanpa benar-benar fokus. Sesekali ia melirik ke arah Arman, lalu buru-buru menunduk lagi begitu Arman menoleh.

Arman sendiri sempat batuk kecil, mencoba memecah suasana. “Ehm… sarapannya cukup nggak? Mau aku bikinin telur juga?”

Widya menggeleng pelan. “Udah cukup kok.”

Suaranya terdengar normal, tapi ujung bibirnya seakan susah sekali menahan senyum.

Arman menarik napas. “Wid…”

“Ya?” Widya langsung refleks menoleh, agak kaget.

Arman mendadak gugup, padahal awalnya mau bilang sesuatu yang serius. Tapi yang keluar malah, “Roti kamu kebanyakan selainya. Bisa bikin eneg.”

Widya melotot, lalu mendengus. “Kok tiba-tiba komentar makanan aku sih?”

Arman mengangkat bahu, nyengir tipis. “Ya biar aku ada bahan ngomong.”

Widya menunduk lagi, pura-pura mengunyah, tapi pipinya sudah bersemu.

Suasana kikuk itu berlangsung sebentar, sampai akhirnya Arman meletakkan sendoknya. “Wid.”

Widya mengangkat kepala, kali ini sorot matanya lebih tenang.

“Mumpung hari ini weekend, kita jalan yuk. Ke alun-alun. Sekalian cuci mata, lihat orang jualan makanan kekinian.”

Widya terdiam sebentar, kaget dengan ajakan mendadak itu. “Ke alun-alun?”

“Iya,” Arman mencondongkan tubuh sedikit. “Daripada kita berdua di rumah aja, terus… canggung. Mending keluar. Anggap aja refreshing.”

Widya pura-pura mikir lama, padahal hatinya sudah melompat kegirangan. “Aku nggak janji lama-lama. Kalau capek, pulang.”

“Deal,” jawab Arman cepat, terlalu semangat sampai membuat Widya menunduk lagi, menyembunyikan senyumnya.

Hening sejenak, lalu keduanya sama-sama melanjutkan makannya.

Setelah selesai membereskan bekas sarapan, keduanya langsung meninggalkan rumah.

Saat motor sudah melaju menembus pagi yang tidak terlalu ramai, Arman acap kali melirik ke kaca spion, biar bisa melihat wajah Widya. Sayangnya Widya malah sengaja menyembunyikan wajahnya tepat di belakang kepala Arman.

---

1
Safitri Agus
hubungan mereka sudah maju beberapa langkah kedepan, semoga bisa saling menerima satu sama lainnya 😊
Yani Hendrayani
ceritanya ga pernah gagal luar biasa
Mam AzAz
terimakasih Up nya 😊
Mam AzAz
cieee cieee😄😄😄
Safitri Agus
Widya malu-malu nih ciee🤭
Safitri Agus
ya nda papa toh man sudah halal kok
Enisensi Klara
Cieeh ..Arman yg curi2 pandang ke Widya lewat kaca spion 😇😇😇
Enisensi Klara
Cieee ..yg gak bisa jauhan hihihi 🤣🤣🤣itu udah cinta namanya Arman 🤣🤣
Enisensi Klara
Karena kamu sebenarnya punya rasa yg sama kyk Arman Wid ,makanya ga bisa marah sama Arman 🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Tuh kan ..Widya juga merasa kan deg degan sama kyk Arman 😂😂😂
Enisensi Klara
Khilaf aja gak oapa2 bagus lagi biar jadi cucu nya wkwk 🤣🤣
Enisensi Klara
Nah kan kan Arman 😂😂😂 mulai buang guling pembatas 🤣🤣🤣🤣mau apa hayoo🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Hapus aja kontrak nya ,kalian jadi pasangan yg sebenarnya 😇😇😇
Enisensi Klara
Gaslah buat cucu utk kakek 🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Yeaay up lagi makasi kak Riee 🤗🤗🤗
Ratu Tety Haryati
Klo melihat keakraban dan kekompakan, Kakek dan Para Besan, mereka menyimpan banyak harapan pada, Arman dan Widya.
Ratu Tety Haryati
Sikapnya santai penuh godaan, mirip yang biasa dilakukan, Para Pelakor, bebal dan tak tahu malu.
Eh... kan memang😂
Ratu Tety Haryati
Janji ya, Man... jalani pernikahan kalian dengan normal tanpa bayang2, mantan...
Enisensi Klara
Ayo sekarang di cicil aja sun sun nya 🤣🤣
Enisensi Klara
Beugh ..sabar kek belum ada cicit nya ,mrk blm unnoxingan 🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!