Setelah ditolak oleh gadis pujaan kampus, Rizky Pratama tiba-tiba membangkitkan sebuah sistem ajaib: setiap kali ia mendapat satu pengikut di siaran langsung, ia langsung memperoleh sepuluh juta rupiah.
Awalnya, semua orang mengira Rizky hanya bercanda.
Namun seiring waktu, ia melesat di dunia live streaming—dan tanpa ada yang menyadari, ia sudah menjelma menjadi miliarder muda Indonesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apa aja 39, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25: RAHASIA
“Um… aku.” Rizky perlahan berdiri dari kursinya.
Seisi kelas menoleh. Lalu suara pria botak berkacamata—Pak Nurdin, dekan akademik—terdengar dingin, menusuk suasana.
“Kamu, Rizky Pratama. Keluar sebentar, ikut saya.”
“Oke…” Rizky agak terkejut.
Dekan langsung menjemputnya di kelas? Itu jelas bukan hal sepele. Masalah ini sudah di luar kendali.
Di bangkunya, Dinda menahan napas. Sementara Sinta menatap punggung Rizky dengan wajah khawatir.
Begitu Rizky melangkah keluar, kelas seketika gaduh.
“Wah, kenapa dekan datang langsung? Masalah Rizky ternyata parah banget ya.”
“Kamu nggak baca forum kampus? Lagi rame lho.”
“Apa itu soal fotonya sama tiga cewek cantik kampus? Aku lihat ada yang upload tadi pagi.”
Bisik-bisik makin ramai.
Saat Dinda mendengar desas-desus itu, wajahnya seketika memanas, seperti disambar petir.
Begitu juga Sinta. Tangannya mengepal di bawah meja, mencoba tetap tenang.
Nia, salah satu teman cewek mereka, berdesis sambil menggeleng pelan.
“Ck ck ck… Kasihan juga sih. Tapi kalian tahu kan, Pak Nurdin itu tegas banget. Kalau udah turun tangan sendiri, biasanya ujung-ujungnya drop out. Rizky bisa dipecat beneran.”
Kata-kata itu membuat hati Sinta makin kacau. Ujian masuk universitas tinggal sebentar lagi. Kalau Rizky benar-benar dikeluarkan sekarang, masa depannya hancur.
Dinda diam, matanya memandang layar ponsel yang menampilkan postingan gosip tentang Rizky. Wajahnya memerah, bibirnya gemetar.
“Kurang ajar! Siapa sih yang iseng bikin postingan ini?! Nggak tahu malu!”
Alih-alih simpati, beberapa teman justru tertawa.
“Hahaha, dia emang pantas! Gaya sok artis, mentang-mentang banyak yang nonton siaran langsungnya.”
“Betul! Harusnya fokus belajar, bukan pacaran sana-sini.”
Rafi—anak laki-laki yang selama ini diam-diam menyukai Sinta—ikut buka suara. Ia melipat tangan di dada, senyum sinis terukir di wajahnya.
“Ya wajar aja kalau akhirnya kayak gini. Rizky tuh ganggu kelas kita terus. Kalau sampai dia dikeluarin, malah bagus. Lebih tenang belajar.”
Sinta yang biasanya lemah lembut, kali ini menoleh tajam, matanya dingin menusuk.
“Rafi. Apa kamu nggak punya empati sama sekali? Dia teman sekelas kita. Bukannya kasihan, kamu malah senang?”
Rafi langsung terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Selama tiga tahun ia tak pernah sekalipun melihat Sinta marah. Perempuan yang ia kagumi karena kelembutannya, kini berdiri tegas membela Rizky.
“Xinta… aku cuma bilang yang sebenarnya. Dia memang salah, kan?” Rafi mencoba membela diri, meski suaranya bergetar.
Sinta menghela napas panjang, lalu berdiri.
“Aku nggak mau dengar lagi. Urus saja dirimu sendiri.”
Suasana kelas membeku. Semua menatap Sinta yang meninggalkan ruangan tanpa menoleh.
Di koridor, Sinta menahan gejolak hatinya. Ia tahu satu-satunya cara menyelamatkan Rizky adalah meminta bantuan ayahnya. Dengan cepat ia mengeluarkan ponsel dan menekan nomor.
“Hallo, Ayah…” suaranya bergetar.
“Sayang? Ada apa? Kenapa mendadak telepon?” suara ayahnya terdengar khawatir.
“Ayah, aku… aku butuh bantuan. Teman sekelasku sedang bermasalah. Ada gosip buruk, dan dekan sepertinya mau mengeluarkannya. Tapi aku tahu dia nggak salah. Ayah, bisakah Ayah jelaskan ke Pak Nurdin?”
Di seberang, terdengar tawa ringan.
“Hanya itu? Hahaha… mudah sekali. Jangan khawatir, Nak. Biar Ayah yang urus. Kamu fokus belajar, jangan pedulikan hal lain.”
Sinta menutup telepon dengan senyum lega. Setidaknya, Rizky punya harapan untuk lolos dari bencana ini.
---
Gedung Administrasi SMA.
Rizky berjalan pelan di belakang Pak Nurdin. Wajah dekan itu kaku, langkahnya mantap.
Setibanya di depan kantor, tiba-tiba pintu ruangan sebelah terbuka. Dari dalam, keluar seorang wanita berambut panjang bergelombang, bibirnya merah menyala, mengenakan blus ketat berleher V.
“Oh, Pak Nurdin!” sapanya genit. “Kamu ke mana saja? Masuk ke ruanganku sebentar, aku ada urusan penting.”
Pak Nurdin tersenyum kaku. “Ehm… Bu Ratna, saya harus urus siswa dulu. Ini ada masalah.” Ia menoleh ke Rizky.
Bu Ratna mendengus manja. “Siswa bisa belakangan. Urusanku lebih penting.”
Pak Nurdin menghela napas, lalu berkata ke Rizky, “Kamu tunggu di dalam kantorku. Jangan ke mana-mana.”
Setelah berkata begitu, ia langsung berbalik, mengikuti Bu Ratna masuk ke ruang sebelah.
Rizky ditinggal sendirian di ruangan. Ia duduk, menatap meja kerja dekan. Hatinya gelisah, membayangkan kemungkinan terburuk. Bisa jadi hari ini adalah akhir dari segalanya.
Namun beberapa menit kemudian, samar-samar terdengar suara dari ruangan sebelah. Suara Pak Nurdin. Suara Bu Ratna.
Rizky mengernyit. Ia mencoba mendengarkan lebih jelas.
Lalu… sesuatu yang aneh terjadi.
Penglihatannya seakan menembus dinding. Ia bisa melihat apa yang sedang terjadi di dalam ruangan itu—jelas, seakan dindingnya transparan.
Matanya melebar.
“Gila… ini nggak mungkin…”
Apa yang ia lihat membuat jantungnya nyaris berhenti.
Pak Nurdin dan Bu Ratna sedang berpelukan mesra!
Sesekali terdengar suara manja, rayuan, bahkan janji untuk bertemu malam nanti di hotel.
Rizky terdiam, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Selama ini semua orang mengenal Pak Nurdin sebagai sosok lurus dan tegas. Tapi ternyata di balik itu, ia bermain api dengan istri kepala sekolah.
Beberapa menit kemudian, Pak Nurdin kembali ke kantornya. Begitu membuka pintu, ia melihat Rizky sudah duduk santai di kursi kerjanya.
Rizky menaikkan satu kakinya ke meja, sambil memutar cangkir teh di tangannya. Tatapannya penuh ejekan.
“Pak Nurdin… tuangkan teh untuk saya, dong.”
---