Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26
Dian melipat tangannya di depan dada, sorot matanya menelisik dari ujung rambut sampai dada bidang suaminya yang hanya tertutup handuk sebatas pinggang. Terlihat rambut Azhar masih meneteskan air bekas keramas hingga tetesan air itu menuruni lehernya yang jenjang.
“Kenapa mas gugup gitu sih? kayak orang ketahuan maling aja,” sindirnya Dian dengan senyum miring sambil memperhatikan gelagat aneh suaminya.
Azhar langsung mengalihkan pandangan, jari-jarinya mengusap leher yang basah. “A-anu... aku baru saja balik dari kamar Berliana,” kilahnya terbata-bata.
Dian mendekat, tubuhnya miring lalu berbisik di telinga Azhar. “Gaya mas aneh banget, kayak ketahuan selingkuh sama pembantu. Hahaha...” ejeknya sambil tertawa terbahak padahal kenyataannya memang seperti itu.
Sontak wajahnya Azhar pucat pasi, keringat dingin bercampur air mandi masih menempel. Ia salah tingkah, tangannya gemetar tapi buru-buru berdehem untuk menutupi kegugupan dan kepanikannya.
“Aku kepanasan makanya mandi subuh. Mau sholat, nggak enak badan gerah soalnya,” ucapnya cepat dengan bola mata berputar ke segala arah.
Dian mengerutkan kening. “Dua malam ini rumah panas banget. Padahal biasanya adem. Apa AC di kamarnya Bilqis rusak ya? Harusnya kita panggil tukang service.”
Ia menoleh sejenak ke arah kamar anak sulungnya. “Kasihan kalau AC-nya bermasalah, Bilqis kan masih kecil, tidurnya gampang kebangun kalau kepanasan. Nanti aku coba hubungi teknisi langganan deh, biar sekalian dicek semua kamar juga.”
Azhar menelan ludah, lalu buru-buru mengalihkan topik. “Kamu kok tumben bangun pagi banget? Biasanya jam enam baru melek. Emang mau ke mana?” tanyanya, berharap istrinya tidak makin curiga.
“Oh itu... aku mau berangkat lebih awal. Ada meeting di luar kantor. Sekalian aku harus ke Jakarta, mungkin seminggu sampai delapan hari. Jadi kemungkinan besar waktu mas berangkat ke Lebanon, aku masih di Jakarta. Nggak apa-apa kan?” jelas Dian hati-hati, sorot matanya mencari reaksi Azhar.
Di dalam hati Dian bergetar. “Tolonglah mas, jangan dilarang. Ini kesempatan aku ketemu Alif tanpa drama.”
Tak disangka, Azhar malah tersenyum lebar. Ada rasa lega di dadanya karena artinya ia punya waktu bebas bersama Nisa tanpa ada gangguan dari Dianti istri pertamanya.
Dian menatap bingung. “Serius? Mas nggak keberatan aku pergi kerja jauh? Nggak marah kayak biasanya?” tanyanya heran sambil menautkan kedua alisnya.
Dian menatap wajah suaminya lekat-lekat, matanya masih penuh ragu. Apa yang terjadi sama mas Azhar? Biasanya dia langsung marah-marah, ribut nggak setuju, tapi kali ini malah iya-iya manggut-manggut saja. Tanpa drama. Aneh banget,” batinnya dengan dahinya berkerut.
“Mas beneran nggak masalah?” ucap Dian lagi untuk lebih memastikan apakah dia keliru karena salah dengar, suaranya bergetar setengah tidak percaya.
Azhar menghela napas panjang lalu menarik pinggang istrinya lebih dekat. “Aku sadar, dulu aku terlalu egois. Selalu mau menang sendiri. Sekarang aku nggak mau ulangi kesalahan itu. Jadi, lakukan apa yang bikin kamu bahagia,” ujarnya pelan sambil membelai rambut panjang Dian yang tergerai.
Dian menatapnya lama, senyum mulai terbit di bibirnya. “Mas kayak berubah jadi orang lain. Aku sampai nggak percaya, beneran ini mas Azhar yang biasanya keras kepala?” katanya setengah bercanda tapi matanya tetap waspada.
Azhar tersenyum samar. “Mungkin aku terlambat belajar jadi suami yang lebih baik. Tapi aku nggak mau lagi bikin rumah tangga kita berantakan gara-gara sikapku sendiri.”
Dian menghela napas lega, tapi hatinya tetap bergetar. “Kalau mas kayak gini terus, hidupku bisa lebih gampang. Aku bisa bebas jalani semua keinginanku, termasuk ketemu Alif tanpa harus adu mulut setiap hari.” monolog Dian.
“Terima kasih mas,” ucap Dian tulus sambil memeluk suaminya erat-erat.
Azhar membalas pelukan itu, meski pikirannya melayang. ”Dian boleh jalan dengan dunianya, tapi aku sudah punya duniaku sendiri bersama Nisa. Sejak dia hadir, aku sadar ada sesuatu yang nggak pernah aku dapatkan dari Dian ada pada Nisa istri yang sangat aku cintai dan sayangi.”
Pelukan itu terasa hangat, tapi di hati Azhar ada perasaan hampa yang sulit dijelaskan.
Senyum Dian melebar, hatinya penuh rasa bebas. “Makasih mas, akhirnya mas ngerti perasaan aku juga.”
Azhar mengangguk pelan, tapi batinnya lain. “Nisa jauh lebih segalanya dibanding Dian. Mulai sekarang aku harus pakai pengaman setiap bersama Dian. Aku nggak mau menyentuh Nisa dengan rasa bersalah.”
Dian memeluk erat tubuh tegap Azhar. “Aku bahagia banget, mas udah berubah. Semoga kedepannya kayak gini terus, nggak balik jadi mas yang cemburuan dan egois.”
Azhar hanya menghela napas. “Aku nggak akan pernah larang kamu lagi. Aku udah berusaha banyak nasehatin, tapi ternyata kamu makin liar. Jadi sekarang aku biarin kamu pilih jalanmu sendiri.”
Nisa tersenyum simpul melihat gaya suaminya. “Ya Allah, aku harus sabar. Jangan iri. Aku cuma orang ketiga yang datang di antara mereka.”
Dian tersenyum penuh arti. “Aku sayang banget sama mas Azhar. Tapi kenapa baru sekarang mas baik begini?” tanyanya penasaran.
“Kamu nggak perlu mikir kenapa. Yang penting kamu bahagia. Anak-anak juga ada yang ngurus, jadi kamu fokus aja kerja,” balas Azhar, matanya melirik sekilas ke arah Nisa yang sedang menuju dapur.
Nisa berhenti sejenak, bibirnya tertarik dalam senyum simpul. Senyum yang bukan karena bahagia, tapi semacam tameng agar tak ada yang membaca hatinya.
“Ya Allah… aku harus kuat. Aku harus sabar. Jangan iri. Jangan berharap lebih. Aku cuma orang ketiga yang datang di antara mereka. Aku bahkan nggak punya hak untuk cemburu.”
Matanya menunduk, pura-pura sibuk merapikan cangkir di meja. Namun telinganya tak bisa menolak suara lirih Dian yang mengecup bibir Azhar sekilas sebelum pergi.
“Thanks banget mas, aku bahagia.” ucap Dianti yang tak bisa menutupi kebahagiaannya pagi itu.
Nisa menelan ludah, dada sesak. Ada perih yang ia sembunyikan di balik senyuman samar. Ia tahu posisinya jelas yaitu bukan yang utama, bukan yang pertama. “Tuhan, kenapa hatiku ikut sakit padahal aku sudah ikhlas sejak awal?”
Azhar berdiri mematung, tangannya menyentuh bibir. “Astaghfirullah, kenapa rasanya sakit ya dicium Dian di depan Nisa? Padahal mereka sama-sama istriku.”
Kepalanya berputar penuh gelisah. “Aku ini suami macam apa? Di satu sisi Dian adalah istri sahku di mata semua orang, ibu anak-anakku, wanita yang sudah lama mendampingiku. Tapi di sisi lain, ada Nisa yang diam-diam rela hidup tanpa pengakuan, tetap setia meski hanya bayangan. Aku berdosa kalau mengabaikan Dian, tapi juga zalim kalau membiarkan Nisa terus merasa sendirian.”
Azhar menarik napas berat, tapi dadanya tetap sesak. “Ya Allah, aku nggak tahu harus gimana. Setiap langkahku kayak jebakan. Membahagiakan satu hati, berarti melukai hati yang lain. Kenapa aku harus berada di tengah begini? Kenapa aku biarkan diriku punya dua istri tanpa keadilan penuh?”
Sorot matanya kosong, tubuhnya seolah kehilangan tenaga. “Dian berhak dapat cintaku, tapi kenapa aku justru merasa berdosa sama Nisa? Aku takut, takut nggak bisa jadi pemimpin yang adil. Takut kebahagiaan yang ku bangun ternyata hanya bikin luka di balik senyum mereka.”
Nisa menunduk lebih dalam, langkahnya bergegas ke dapur. “Aku harus belajar mengalah. Jangan sampai mereka lihat air mataku. Biarlah aku yang menanggung sendiri luka ini.”
Tak lama, Dian menuju dapur. “Nisa, bikinin sarapan ya,” pintanya dengan suara tinggi.
Nisa buru-buru meraih bahan makanan. “Baik, nyonya,” jawabnya singkat.
Dian duduk di kursi pantry, matanya mengawasi. “Kamu udah terbiasa masak?” tanyanya penasaran.
“Aku sudah masak sejak mama masih ada. Memang suka masak,” ucap Nisa sambil tetap meracik bumbu.
“Kalau suamimu suka nggak sama masakanmu?” tanya Dian lagi.
“Alhamdulillah, selalu bilang enak. Belakangan aku juga belajar masakan Timur Tengah sama Korea, soalnya suamiku kadang minta masak makanan luar negeri,” jawab Nisa tulus.
Dian menaikkan alis, tatapannya tajam. “Suamimu sebenarnya TKI atau tentara sih?” tanyanya sinis.
Belum sempat Nisa membuka mulut, suara berat terdengar dari belakang.
“Suaminya seorang tentara angkatan laut,” ucap Azhar tiba-tiba yang sudah berpakaian rapi.
Mampir Baca boleh yah kakak novel aku yang baru judulnya:
Dijual Suami DiMalam Pertama
Pawang Dokter Impoten
Terjerat Pesona Ustadz Tampan.
nanti bagaimana nasib anak2nya Pak Mayit.
semngat ya.....
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor