NovelToon NovelToon
BATAL SEBELUM SAH

BATAL SEBELUM SAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Keluarga
Popularitas:153.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:

“Sah.”

Namun sebelum suara itu terdengar…

“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”

Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.

Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.

Siapa dia?

Istri sah yang selama ini disembunyikan?

Mantan kekasih yang belum move on?

Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?

Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.

Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12. Hanya Ingin Tahu

Langkah tergesa Kyai Zubair memasuki halaman pondok. Umi menyusul di belakangnya. Kanya yang sedang mengaji di bawah pohon jambu menoleh saat mendengar namanya disebut.

“Kanya,” ucap Kyai, napasnya sedikit terengah. “Kita tahu… di mana pernikahannya berlangsung.”

Waktu seakan berhenti. Jantung Kanya berdetak lebih cepat.

“Ballroom Hotel Mahkota, Jakarta.”

Matanya membelalak. Jemarinya yang memegang Al-Qur’an gemetar.

“Apa… kita bisa ke sana?”

Kyai tersenyum tipis, lalu mengangguk mantap.

“Kalau itu takdir yang Allah tulis… kami akan bantu kau sampai ke sana, Nak.”

Umi menggenggam tangan Kanya. Hangat. Teguh. Penuh doa yang tak bersuara.

Sore itu, sebuah mobil sederhana melaju dari pondok menuju jantung kota Jakarta.

Di dalamnya, duduk seorang gadis bercadar bersama Umi.

Kyai duduk di depan, di samping sopir.

Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan.

Hanya bisikan doa dan zikir yang memenuhi ruang sunyi dalam hati mereka masing-masing.

Kanya memandangi jendela. Gedung-gedung tinggi mencakar langit. Mobil-mobil mewah berlalu lalang. Dunia Kian terasa semakin asing… dan tinggi.

“Aku hanya ingin tahu… apakah aku masih ada diingatannya?”

Tak ada janji akan diterima. Tak ada harapan untuk disambut.

Yang ia miliki hanyalah keberanian untuk mencari tahu.

Umi menggenggam tangan Kanya. “Jika kau siap, kami akan mendampingi.”

Kanya mengangguk pelan.

Dan sore itu, untuk pertama kalinya sejak lama…

Kanya melangkah ke dunia suaminya.

Bukan sebagai tamu.

Bukan sebagai pengganggu.

Tapi sebagai seseorang yang masih punya hak untuk bertanya…

Apakah ia benar-benar pernah diinginkan?

Dan kini, ia berdiri di depan ballroom megah, dikelilingi cahaya dan tawa—tempat di mana segala luka bisa pecah dalam sekejap.

Di sampingnya, Umi Farida dan Kyai Zubair berhenti saat mereka tiba di meja pemeriksaan undangan. Petugas hotel memeriksa setiap tamu yang hendak masuk. Hanya Kanya yang diizinkan masuk—berkat bantuan seorang pria paruh baya, kenalan lama Kyai, yang sengaja belum masuk ke dalam karena sedang menunggu beliau di luar.

Umi menggenggam tangan Kanya sejenak. Suaranya lembut namun penuh makna,

“Kami menunggu di luar, Nak. Lakukan apa yang harus kau lakukan.”

Kanya mengangguk kecil.

Pintu ballroom terbuka perlahan. Kanya menarik napas panjang. Jemarinya dingin. Tapi langkahnya mantap.

Ruangan itu dingin, mewah, dan penuh mata asing. Tapi hanya satu suara yang mengikat langkahnya—

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Friska Putriana binti Broto Kusumo dengan mas kawin berupa satu set perhiasan berlian, dibayar tunai…”

Suara Kian.

Suara yang dulu menggema lirih di rumah sakit itu… kembali terdengar. Dulu pelan, nyaris tanpa getar—hanya disaksikan beberapa orang. Tapi dari sanalah segalanya bermula.

Kini, suara itu bulat dan mantap, disaksikan ratusan pasang mata.

Dalam satu kalimat, Kian nyaris menghapus seluruh cerita mereka.

Ruangan mendadak senyap.

Satu detik.

Dua detik.

Kanya tahu… hanya satu kata yang tinggal menunggu:

Sah.

Kata yang bisa menghapuskan statusnya. Mengubur semua luka yang pernah ada di antara mereka. Kata yang akan membuatnya menjadi “yang dulu”—tanpa nama, tanpa hak, tanpa alasan untuk tetap berharap.

Tapi tidak.

Hari ini, ia memilih tidak diam.

Hari ini, ia memilih melawan.

Dengan segenap keberanian yang tersisa, ia maju selangkah dan membuka mulutnya.

“TIDAK SAH! DIA SUDAH JADI SUAMIKU!”

Teriakan itu memecah keheningan. Membelah ruang dan waktu. Membuat semua kepala menoleh padanya.

Kanya berdiri di ambang pintu. Pakaian hitam menutupi seluruh tubuhnya. Cadar membungkus wajahnya. Tapi langkah pincangnya terlihat jelas, mencolok di antara gaun-gaun pesta dan sepatu hak tinggi.

Ia tak peduli.

Semua mata menatapnya. Bertanya-tanya. Mengecam. Menghakimi.

Tapi ia hanya menatap satu orang: Kian.

Dan dari sorot mata pria itu yang tiba-tiba membeku, Kanya tahu…

Kian mengenalinya.

Langkah pincangnya. Napas pendeknya. Getar di suaranya. Itu cukup untuk menghentikan napas siapa pun yang tahu kisah mereka.

Hari itu, bukan hanya pernikahan yang digagalkan.

Tapi juga semua kepura-puraan yang Kian coba pertahankan.

Friska menatap Kian, lalu pada wanita bercadar itu. Wajahnya bingung, tapi perlahan mulai mengerti. Sesuatu dalam sorot matanya berubah—retakan kecil yang akan menjalar menjadi luka besar.

Penghulu tak bergerak. Ayah Friska, Broto Kusumo, berdiri dengan wajah merah padam. Aula itu seperti membeku dalam pusaran skandal yang tak terhindarkan.

“Apa maksud semua ini?” suara Broto menggema tajam, menusuk kesunyian yang menggantung.

Kanya tetap berdiri di tempatnya. Napasnya masih tersengal, tapi ia menjaga tubuhnya tetap tegak. Pincangnya mencolok, tapi matanya lebih mencolok lagi—mata yang menuntut kebenaran.

“Kian…” Friska berbisik. Suaranya nyaris tercekat.

“Siapa dia? Istrimu? Mantanmu? Atau hanya seseorang yang ingin menghancurkan pernikahan kita?”

Kanya menatap meja akad, lalu pada pria yang pernah ia sebut suami. Suara Kanya akhirnya keluar. Dingin. Tenang. Tapi mengandung luka yang tak bisa disembunyikan.

“Sebelum kau sah menjadi milik orang lain, Kian Ardhana… jawab dulu satu hal.”

Ia berhenti sejenak. Napasnya tertahan.

“Apa kau sudah menceraikanku?”

Diam. Senyap.

Semua orang menunggu.

Penghulu menunduk. Para tamu mulai bergumam.

Ayah Kian yang sejak tadi diam, tiba-tiba bersuara—nada suaranya menekan.

“Kian Ardhana… jawab ayahmu. Siapa wanita itu? Benarkah… dia istrimu?”

Dan akhirnya, suara lirih itu keluar dari bibir Kian.

“Dia… istri siriku.”

Kanya menahan napas. Dada sesak, tapi ia tidak roboh. Tidak mundur.

Ia pikir ia siap mendengar itu. Tapi hatinya tetap perih. Karena luka lama tak pernah benar-benar sembuh—hanya pandai disembunyikan.

“Kau mencintainya?”

Pertanyaan itu keluar dari mulut Friska. Lirih, tapi menggema ke seluruh ruangan.

Kian menatap Friska… lalu menggeleng.

Kanya merasa seperti ditampar kenyataan untuk kesekian kali. Ia tak tahu kenapa masih berharap. Tapi ia tahu… jawaban itu bukan hanya untuk Friska. Itu juga untuknya.

“Kalau begitu…” suara Friska mulai bergetar, “ceraikan dia. Sekarang. Di sini. Di depan semua orang.”

Kanya tetap diam.

Ia tidak menangis.

Tidak melawan.

Ia hanya ingin tahu… apakah ia pernah benar-benar diinginkan?

Tapi Kian diam.

Dan dari diam itu, Kanya menemukan jawabannya.

Ia tetap berdiri tegak. Wajahnya tertutup cadar, tapi luka di matanya tak bisa disembunyikan.

Friska tersenyum getir. Ia berdiri perlahan, di hadapan tamu yang masih terpaku. Matanya basah, tapi suaranya tegas.

“Ambil dia… kalau memang dia milikmu sejak dulu.”

Ia menoleh ke arah Kanya. Bukan dengan kebencian. Tapi dengan luka yang dalam, yang hanya bisa dimengerti oleh sesama perempuan yang ditinggalkan.

“Tapi satu hal, Nyonya…” Friska menarik napas, suaranya gemetar, “Jangan bangga karena dia tetap tinggal di sisimu. Banggalah kalau dia mencintaimu. Karena ternyata… dia tak mencintai siapa pun.”

Ia pun berbalik.

Langkahnya terlihat berat, seperti menyeret seluruh kehancuran di belakang gaun putihnya.

Kanya tak berpaling. Ia hanya menatap ke depan—meski yang dilihatnya adalah kehampaan.

“Friska… aku bisa jelaskan—” suara Kian memecah ketegangan, buru-buru, nyaris panik.

“Cukup!” suara Broto meledak, menggelegar seperti petir yang menghantam ketenangan palsu ruangan itu.

Friska menghentikan langkah, tapi tak menoleh.

Kanya tetap diam.

Broto berdiri tegak, matanya menatap Kian seperti panah yang siap menancap.

“Kau mempermainkan putriku, Kian Ardhana. Di depan semua orang. Di hari suci pernikahan kalian.”

Ia menoleh ke arah penghulu, orang tua Kian, lalu pada para tamu yang masih menahan napas. Suaranya lantang, jelas, tanpa gentar.

“Pernikahan ini batal. Aku tidak akan menyerahkan anakku pada pria yang bahkan tak bisa memilih dengan keberanian.”

Lalu ia menatap Friska. Suaranya berubah lembut.

“Ayo, Nak. Tak ada yang perlu kau sesali. Kau bukan kehilangan suami… kau diselamatkan dari orang yang tak pantas.”

Friska akhirnya pergi bersama kedua orang tuanya. Menjauh, menjauh dari mimpi yang gagal diwujudkan.

Kian tetap terdiam.

Dan Kanya hanya berdiri di tempatnya.

Ia tidak mengejar siapa pun.

Tidak menatap siapa-siapa.

Karena hari itu, bukan soal siapa yang dipilih…

Tapi siapa yang paling terluka.

Ia masih diam, berdiri di dekat meja akad—dengan cahaya gantung kristal megah di atas kepala, lantai marmer berkilau, dan dekorasi bunga putih yang nyaris sempurna—semua tampak indah…

Tapi tidak bagi Kanya.

Indah itu palsu. Karena pernikahan tanpa cinta telah runtuh di depan semua orang.

Sorotan kamera sudah mati.

Satu per satu para tamu pergi, menyisakan aroma bunga yang belum sempat layu. Pihak katering mulai membereskan meja.

Friska telah dibawa pergi ayahnya.

Dengan kepala tegak dan air mata yang jatuh tanpa suara, gadis itu berjalan keluar ballroom, menyisakan pernikahan yang nyaris terjadi… dan hati yang patah.

Kian berdiri membatu di tengah ruangan.

Setelan jasnya masih rapi. Tapi sorot matanya tak lagi kokoh.

Ia bergeming ketika suara langkah mendekat dari arah belakang.

“Kita pulang,” suara berat itu memecah keheningan.

“Dan kau… harus menjelaskan semuanya pada kami.”

Keynan—ayahnya—menatap Kian dengan rahang mengeras, tapi matanya menyiratkan kecewa yang terlalu dalam untuk bisa dibantah.

Di sisi lain ballroom, Kanya berdiri dalam diam. Masih di posisi yang sama saat tadi seluruh mata menoleh padanya.

Tak ada yang ia ucapkan. Tapi keberadaannya cukup membuat waktu berhenti.

Lalu seseorang melangkah mendekatinya.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
love_me🧡
tanpa mereka sadari ada orang dibalik kamar mandi😀
love_me🧡
Friska belum pergi toh
Momz Haikal Sandhika
friska kenapa ga pulang aja sih,,, klo mau sekedar menunjukan rasa Terima kasih kan bisa dateng pagi atau siang nya ga mesti nginep dong,,,
tapi bagus deh akhir nya friska denger sendiri pengakuan kian tentang perasaan nya ke friska dan bagai mana perasaan nya ke kanya..
Dek Sri
lanjut
Siti Jumiati
Friska ketahuan kalau ada didalam kamar mandi
Cicih Sophiana
Friska knp gak pulang aja dari td malam... biar kamu ada jg Friska kan gak di anggap ada sama mereka... dari pada lebih sakit hati mending pulang istirahat...
Siti Jumiati
apakah Friska yang mengintip dibalik kamar mandi
Cicih Sophiana
Alhamdulillah Kian sdh sadar...
awas Kanya ada yg mengintip tuh... pasti dia penasaran liat wajah kamu yg di sembunyikan ternyata cantik pantas aja Kian memilih Kanya... itu Friska yg bilang
Cicih Sophiana
semoga tdk membahayakan nyawa Kian...
phity
sdh kublng kan friska mestiny smlam kmu pamit sj sm kanya ini msh bertahan sja tp ad bagusnya si kmu tau yg sebenarnya...smoga itu menyadarkanmu
asih
hancur sudah lah hatinya friska ..niat .au mencari yg lebih baik Dari Kian ehh malah KTM sama yg kayak ngono kasian Kali kau fris
anonim
Looooo...Friska kenapa masih di rumah sakit - menginap pula.
Rupanya Kanya salat subuh di masjid rumah sakit - makanya Friska berani mendekat berdiri di samping ranjang Kian yang masih terlelap.
Friska di kamar mandi ketika Kanya datang mendekati Kian yang mulai membuka mata. Friska di balik pintu kamar mandi bisa melihat wajah Kanya ketika pashmina pengganti cadarnya di lepas.
Kian menjelaskan kejadian sewaktu Friska tanpa ijin masuk dalam mobil pada Kanya - terjadi dialok terbuka yang tanpa mereka berdua sadari ada sepasang telinga yang mendengarkan. Baguslah - jadi lebih jelas sekarang hubungan suami istri - Kian dan Kanya bagaimana - Friska harus paham atas arti pembicaraan Kian dan Kanya.
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Kak Nana... Pokoknya Sampai Kanaya Hamil Kak Nana... 🙏🙏🙏😁
Puji Hastuti
Lanjut kk
Puji Hastuti
Friska ternyata kamu bukan rumah bagi kian /Grin/
septiana
Alhamdulillah... sekarang mereka sudah saling terbuka.. untuk Friska,jadikan ini semua sebagai pelajaran semoga kamu segera mendapatkan jodoh yg terbaik.
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
bukan juga .. alasannya akhlaknya Kanya..bukan kerana kecantikan isterinya semata-mata
Felycia R. Fernandez
setelah dihadang penjahat, setelah hampir meninggal...
hari ini mereka bisa bicara dari hati ke hati...
saling mencurahkan isi hati masing masing💓💖💕💗
Anitha Ramto
kasihan banget kamu Friska...dengar Pengakuan Kian pada Kanya yang sangat takut kehilangan Kanya,ternyata Kian hanya mengagumimu bukan mencintaimu,sekarang kamu dengar sendirikan kalo Kian dan Kanya saling nencintai dan mereka pasangan yang serasi,, Kanya ada apa yaaa sampe kaget begitu...

di gantung lagi nih sm kak Nana...
dan suara dering ponselnya si Ftiska dari kamar mandi wkwkwk
far~Hidayu❤️😘🇵🇸: baguslah biarkanlah dia tahu yg benar supaya dia berhenti menjadi pelakor
total 1 replies
Liana CyNx Lutfi
Nahkan sdh saling terbuka dan sdh saling mencintai,friska belajarlah dr kanya soal kesabaran dan keikhlasan jngn krn sakit hati trs mencari pelarian carilah yg bnr2 tulus menerima
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!