BAYANGANMU DI HARI PERTAMA

Sejak hari itu di dalam bus, rasanya segalanya berubah. Bukan hanya perasaanku… tapi seluruh caraku memandang waktu.

Setiap langkahku di kampus ini terasa seperti menapak di dua dunia: satu yang bisa disentuh, dan satu lagi yang hanya bisa dirasakan lewat dada yang hangat dan nyeri dalam waktu yang sama.

Ale tak muncul setiap hari. Tapi saat ia hadir, aku tahu.

Kadang hanya lewat aroma halus yang familiar di tangga asrama. Kadang lewat suara bisikan samar saat aku menatap langit senja dari balkon kamar.

Dan di antara itu semua, aku tahu satu hal pasti:

Aku jatuh cinta padanya.

Bukan cinta impulsif, bukan yang penuh drama. Tapi cinta yang tumbuh perlahan, lewat tatapannya yang lembut, keheningan yang menguatkan, dan cara dia—meski dari dunia yang berbeda selalu datang saat aku paling membutuhkannya.

Tapi justru karena itu, rasa ini juga menakutkan.

Sebab… bukankah mencintai seseorang yang tak lagi hidup adalah bentuk kehilangan yang tak bisa diakhiri?

Hari itu, Nayla datang membawa flashdisk kecil berwarna biru.

“Aku nemu ini di laci ruang arsip waktu ngurus file tugas. Labelnya ‘Rekaman Komite Ospek 2021’,” katanya sambil menaruhnya di meja. “Aneh banget, kayak sengaja disembunyiin.”

Kami memasangnya di laptop. Foldernya hanya berisi satu file audio, durasi 03:17 menit.

Saat kami memutar…

Suara pertama terdengar: Zara.

“Kamu tahu tugasmu, kan? Lepaskan rem belakang. Kita butuh momen pas di turunan Situgunung. Biar kelihatan kecelakaan alami.”

Hening. Lalu terdengar suara laki-laki, ragu.

“Tapi, Kak... kalau sampai terjadi apa-apa…”

Zara memotong cepat, suaranya tajam.

“Bapakku sendiri sopirnya. Aku tahu resikonya. Dia tahu juga. Tapi Ale... dia harus dikasih pelajaran. Biar dia tahu rasanya ditinggal.”

Hatiku berhenti berdetak sejenak. Nayla memucat.

“Kalau dia selamat, biar dia jadi orang paling trauma seumur hidupnya. Kalau nggak selamat…”

(hening beberapa detik)

“…aku anggap lunas semua yang dia tolak dariku.”

Klik. Rekaman berhenti.

Kami terdiam. Tak ada suara, tak ada detak jam, tak ada tawa semuanya hancur di dalam sunyi yang membatu.

Aku berdiri perlahan. Kepalaku terasa ringan, tapi dadaku sebaliknya.

“Dia… sengaja?” bisikku.

Nayla tak menjawab. Matanya berkaca-kaca.

Zara.

Selama ini, dia hanya tampak menyebalkan. Sok pintar. Kaku. Tapi ini… bukan hanya dendam. Ini pengkhianatan yang berujung kematian.

Ale…

Kamu tidak mati karena takdir.

Kamu mati karena seseorang memilih membunuhmu… atas nama cinta yang tidak pernah kamu minta.

Malamnya, aku duduk sendiri di halaman belakang kampus, di bawah pohon beringin tua. Udara dingin menggigit lengan, tapi aku tak peduli. Di sana, seperti biasa, Ale datang.

Dia duduk di sampingku. Kali ini tak bicara. Hanya menatap langit.

“Aku tahu sekarang,” kataku lirih. “Tentang kecelakaan itu. Tentang Zara.”

Ale tidak menoleh. Tapi aku tahu ia mendengarkan.

“Dia yang melepaskan rem itu. Dia... yang membiarkan semua terjadi. Bahkan ayahnya sendiri jadi korban.”

Ale menarik napas dalam-dalam, seperti seseorang yang mencoba menahan pecahnya air laut dalam dada.

“Aku ingin marah,” kataku. “Tapi lebih dari itu... aku ingin kamu tahu sesuatu.”

Dia menoleh perlahan.

“Aku jatuh cinta padamu, Ale. Tapi aku benci perasaan ini… karena aku tahu, kita nggak akan pernah bisa benar-benar bersama.”

Keheningan itu seperti jeruji.

Ale tersenyum tipis, dan untuk pertama kalinya, ada kilau duka yang jujur di matanya.

“Cinta itu tidak harus tinggal, Wina. Kadang, cinta cuma perlu ditemukan… untuk bisa dilepaskan dengan tenang.”

Air mataku jatuh. Tapi aku tidak menghapusnya.

“Kalau kamu bisa memilih… kamu bakal tinggal?”

Ia menatapku dalam-dalam.

“Kalau aku bisa memilih… aku nggak akan pernah pergi dari sisi kamu.”

Dan di tengah malam itu, di antara dunia yang saling menolak, kami hanya duduk. Sunyi. Bersama. Untuk sesaat yang begitu singkat, tapi akan kuingat seumur hidup.

***

Bab ini adalah titik krusial. Kebenaran telah terungkap: Zara adalah dalang kecelakaan Ale, dan cinta yang tumbuh antara Ale dan Wina menjadi makin menyakitkan karena jarak takdir di antara mereka.