Yue menerima perjodohan itu dengan satu kata singkat. "Ya."
Bukan karena cinta, jauh dari itu. Dia hanya berpikir hidupnya akan seperti kisah di film atau novel yang sering dia tonton, klasik, klise, dan penuh drama. Seorang pria kaya raya yang dingin dan tak acuh, yang diam-diam mencintai wanita lain, dan hanya menikah karena tekanan keluarga. Lalu Yue akan menjalani hidup sebagai istri formal, tidak dicintai, tapi tetap hidup mewah. Simple.
Satu-satunya alasan Yue setuju hanyalah karena satu kata sakral, UANG. Dia realistis, bukan romantis. Tapi yang terjadi, sungguh berbeda.
Pria itu, Raymon Sanchez tidak sesuai skrip. Sejak hari pertama mereka bertemu, bukan tatapan datar yang dia terima, melainkan pandangan tajam seolah dia adalah teka-teki yang ingin dia pecahkan. Bukan sikap acuh, tapi perhatian yang menusuk hingga ke tulang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Apa akting?
Yue merebahkan tubuhnya di sofa ruang keluarga, satu tangan menopang kepala sementara tangan lainnya memegang remote TV yang sejak tadi hanya berpindah-pindah saluran tanpa benar-benar menonton apa pun.
Pukul 1 siang dan dia bosan setengah mati.
Biasanya, dia akan sibuk di kantor, mengatur jadwal meeting, mengecek laporan, atau minimal melayani permintaan bosnya yang sering mendadak dan menyebalkan itu, yang sayangnya sekarang adalah suaminya, tcih!
Tapi hari ini, dia "dipaksa" libur. Disuruh istirahat, dilarang melakukan apa-apa oleh suaminya sendiri.
Yue mendesah pelan, memandang langit-langit.
"Siapa sangka, begini rasanya menikah karena di jodohkan itu, hm."
Dulu, saat orang tuanya menyampaikan rencana itu, Yue mengira hidupnya akan jadi seperti kisah dalam drama.
Dimana sang pria, yang tentunya sudah punya kekasih yang dia cintai diam-diam, dan Yue hanya akan jadi istri sah di atas kertas saja.
Ada jarak, ada formalitas, ada perjanjian dingin tanpa perasaan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, pria itu tidak hanya menikahinya tanpa ragu.
Dia juga menjeratnya perlahan-lahan, masuk ke ruang personalnya, bahkan ke pikirannya dan ranjangnya.
Bukan hanya menikah, Raymon jelas-jelas mengklaim dirinya menjadi miliknya.
Yue menggigit bibir bawahnya pelan.
Pikirannya kembali ke pagi tadi, saat Raymon mengecupnya sebelum pergi. Lembut, perhatian, dan terlalu wajar.
Seperti mereka pasangan normal, seperti mereka menikah karena saling mencintai.
Padahal dulu dia berharap pria itu tidak tertarik padanya. Supaya lebih mudah untuk menjaga jarak, supaya lebih mudah kalau suatu hari dia memutuskan untuk keluar.
Tapi kenyataannya?
Raymon terlalu peduli. Pria itu terlalu hadir, terlalu melekat.
Yue menutup wajah dengan bantal. "Gila, kenapa dia malah seperti suami idaman para mertua sih..." gumamnya.
Dia mendesah panjang, lalu bangkit berdiri dan berjalan ke dapur.
Membuat teh hangat mungkin bisa menghiburnya, atau mungkin dia akan naik ke kamar, menyibukkan diri dengan buku yang belum selesai di baca.
Tapi di sudut hatinya, dia tahu. Kebosanan ini bukan karena dia tidak punya kegiatan.
Tapi karena dia mulai terbiasa dengan kehadiran Raymon. Dan saat pria itu tidak ada, dunia terasa terlalu sepi.
"Lama-lama, jantungku bisa merosot ke usus karena terus dibuat berdebar." gumam Yue sambil menyeruput teh hangatnya.
Dia duduk di kursi dapur, pandangannya menatap kosong ke jendela taman belakang tempat ayunan itu berada.
Tempat di mana pagi tadi, Raymon mencium bibirnya begitu pelan dan lembut.
Yue menghela napas pelan.
"Giliran dia galak, aku stres. Giliran dia manis, aku deg-degan. Apa sih maunya?!" keluhnya, meski tak ada siapa pun yang mendengarkan.
Wajahnya sedikit memerah saat mengingat ekspresi suaminya tadi pagi, tatapan yang terlalu dalam untuk ukuran dua orang yang baru kenal.
Lalu ciuman sekilas itu yang membuat perutnya terasa seperti ada ribuan kupu-kupu sedang menyelenggarakan konser.
Dia menunduk, menatap cangkir tehnya.
"Kalau begini terus, bukan cuma jantungku yang turun ke usus."
"Aku bisa-bisa jatuh cinta beneran."
Dan itu masalah. Karena semakin dia melibatkan perasaan, semakin besar risikonya kalau Raymon ternyata hanya, akting.
Yue mengetukkan kukunya ke permukaan cangkir. "Raymon, kalau ternyata kau cuma main-main, aku bersumpah akan-"
Dia tak melanjutkan. Kalimat itu menggantung di udara, karena bahkan dia sendiri tak tahu apa yang akan dia lakukan.
"Dia sudah terlalu jauh masuk ke dalam hidupku.. dan aku terlalu takut mengakuinya."
Tepat saat dia menenggak sisa tehnya, ponselnya bergetar.
Notifikasi pesan masuk, dari satu nama yang membuat jantungnya lagi-lagi berdebar.
Psikopat
Sedang apa? Sudah makan? Aku selesaikan pekerjaan lebih cepat, tunggu aku.
Yue menatap layar ponsel itu, lama. Lalu mendecak pelan, wajahnya merona sialan!
"Ya ampun, dia manis lagi."
Lalu dia buru-buru meletakkan ponsel, seolah benda itu bisa terbakar hanya karena satu pesan.
Dia menyandarkan kepala ke meja dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Fix, jantungku emang udah pindah tempat."
"Tapi ternyata… kalau dia cuma main-main, bagaimana?" pikir Yue sambil memandangi cangkir teh yang mulai mendingin.
Pertanyaan itu menggema pelan di kepalanya, tak ada jawaban pasti.
Dia tahu, Raymon belum pernah bilang secara langsung soal cinta kecuali saat malam pertama itu haha. Pria itu belum pernah menyatakan bahwa semua perlakuan manis itu datang dari hati, bukan dari obsesi atau kepemilikan semata.
Bibirnya mengerucut sedikit, lalu dia mengangkat bahu.
"Ya… terserah lah." gumamnya dengan nada ringan, berusaha terdengar tidak peduli. "Kalau dia memang main-main, aku juga bisa."
Yue menyandarkan tubuh ke kursi, senyum sinis kecil muncul di wajahnya, mencoba menguatkan diri sendiri.
"Aku bisa sebebas dulu, kan? Bebas belanja, bebas nongkrong, bebas tidur sampai siang. Dan hei…"
Matanya melirik ke arah jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Menikmati uangnya juga, haha."
Dia tertawa kecil, pahit. Pernikahan perjodohan seharusnya tak seberat ini, bukan? Seharusnya hanya formalitas.
Hidup masing-masing, tidak ada perasaan. Tidak ada sakit hati, tidak ada kecemburuan. Tidak ada kerinduan yang diam-diam mulai dia rasakan ketika Raymon tidak di rumah.
Tapi sekarang, semua sudah keburu terbalik.
"Kenapa sih dia malah kayak suami sungguhan." bisik Yue, setengah sebal, setengah takut.
Karena kalau Raymon ternyata serius, itu berarti dia bisa benar-benar jatuh. Dan kalau pria itu ternyata tidak serius?
Maka semua ini, semua perhatian, kecupan lembut, pelukan hangat di pagi hari, akan berubah menjadi luka paling diam-diam yang pernah Yue rasakan.
Dia mengangkat ponsel lagi, membaca ulang pesan dari Raymon.
"Tunggu aku."
Satu kalimat, tapi rasanya seperti harapan yang terlalu berat untuk diletakkan begitu saja.
Yue meletakkan ponsel perlahan dan menutup wajah dengan tangan.
"Kalau ini permainan, maka dia jahat terlalu jahat karena memainkan perasaan." suara Yue lirih, nyaris tak terdengar. Dan untuk pertama kalinya, dia tidak yakin, apakah dirinya benar-benar siap untuk kalah.
Tbc