Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 1
Pagi itu, suara telepon dari Rania membangunkan Ganendra dari tidurnya yang masih berat. Ia mengucek mata, lalu segera menjawab panggilan.
“Halo, Ran?” suaranya masih serak.
Di seberang, terdengar suara Rania, lembut namun terdengar jelas getar bahagianya.
“Mas... Ayah sama Ibu sudah setuju.”
Ganendra sontak terduduk, jantungnya berdegup cepat, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Serius, Ran?” suaranya nyaris berbisik.
“Iya, Mas. Mereka sudah kasih restu. Aku bilang, aku bahagia sama Mas, meskipun Mas cuma pegawai toko. Aku juga cuma pegawai honorer di kantor desa. Tapi kita niatnya baik, kan?”
Ganendra terdiam sejenak. Matanya mulai terasa panas. Ia tak pernah merasa sekaya ini meski gajinya pas-pasan.
“Iya, Ran... kita jalanin sama-sama. Terima kasih... udah berani ngomong ke orang tuamu.”
Di ujung telepon, terdengar tawa kecil Rania, diselingi helaan napas lega.
“Sekarang giliran Mas ngomong ke ibumu, ya?”
Ganendra tersenyum. Ia tahu, hidup mereka nanti tak akan mewah. Tapi dengan restu itu, rasanya dunia tiba-tiba menjadi lebih lapang.
Pagi itu, setelah selesai berbicara dengan Rania, Ganendra segera keluar dari kamar sempitnya. Di ruang tengah kontrakan kecil mereka di pinggiran Jakarta, seorang perempuan paruh baya tengah melipat sajadah usai salat Dhuha.
Perempuan itu adalah Ibu Siti Nurhaliza wanita tangguh yang mengikuti anak semata wayangnya merantau ke Jakarta setelah suaminya wafat lima tahun silam di Makassar.
Ganendra duduk di hadapan ibunya, matanya hangat menatap wajah teduh itu.
"Bu..." panggilnya lirih.
"Kenapa, Nak?" tanya Bu Siti sambil tersenyum, tahu benar nada suara anak lelakinya saat ingin bicara serius.
Ganendra menarik napas panjang.
"Saya sudah putuskan, Bu. Saya mau nikah."
Bu Siti terdiam, menatap anaknya dengan sorot mata penuh perhatian.
"Siapa gadisnya?"
"Namanya Rania, Bu. Kerja di kantor kelurahan. Umurnya dua puluh dua. Orangnya sederhana, baik... dan yang paling penting, orang tuanya sudah kasih restu."
Ia menatap ibunya dengan penuh harap.
"Sekarang saya butuh restunya Ibu juga. Dan kalau Ibu setuju, saya minta Ibu siap-siap. Kita ke rumah Rania buat melamar, resmi."
Bu Siti memejamkan mata sejenak, menahan haru. Air mata bening mulai menggenang di pelupuk.
"Jadi akhirnya anakku mau berumah tangga juga ya... Alhamdulillah, Nak. Ibu ridho. Ibu bahagia."
Ganendra meraih tangan ibunya, menciumnya penuh hormat.
"Kalau bukan karena Ibu yang selalu doain dan dampingi saya dari Makassar sampai ke sini... saya nggak mungkin sampai di titik ini."
Bu Siti tersenyum sembari mengusap kepala anaknya.
"Allah yang atur semuanya, Nak. Tugas Ibu cuma nemenin dan mendoakan. Kalau itu memang jodohmu, Ibu ikut ke mana pun kau melangkah."
Pagi itu, Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Di balik kesederhanaan kontrakan mereka, sebuah keputusan besar lahir. Ganendra bukan lagi sekadar pegawai toko yang hidup seadanya, tapi lelaki yang siap memulai babak baru dengan keberanian, cinta, dan restu dari wanita paling penting dalam hidupnya.
Tanpa banyak tanya, Ibu Siti Nurhaliza segera berdiri dan berjalan ke lemari tua di sudut ruangan. Dari bawah tumpukan mukena dan kain batik, ia menarik sebuah kaleng biskuit bekas yang selama ini ia jadikan tempat menyimpan tabungan kecilnya.
Setiap recehan dari hasil menjahit, setiap sisa belanja harian yang disisihkannya, semua terkumpul di situ bukan untuk dirinya, tapi untuk hari istimewa anak semata wayangnya.
“Alhamdulillah... ternyata cukup,” gumamnya pelan, mata tuanya berkaca-kaca.
Tanpa membuang waktu, ia mengambil tas belanja dan bergegas ke pasar tradisional terdekat. Di sana, ia memilih satu per satu barang seserahan dengan penuh cinta: sirih pinang, songkok, sarung tenun khas Bugis, minyak wangi, perlengkapan salat, dan seperangkat pakaian pria.
Ia paham betul, ini bukan sekadar belanja, ini bagian dari kehormatan keluarga sebuah simbol niat baik dan tanggung jawab yang harus ditunjukkan dalam lamaran adat Makassar.
Sementara itu, di dalam kamar, Ganendra duduk sambil menatap ponselnya yang baru saja menampilkan pesan singkat dari Rania.
"Mas, siang ini datang ya. Papa dan Mama nunggu. Aku udah siap."
Telepon itu barusan membuat dada Ganendra terasa sesak oleh haru. Dua tahun ia dan Rania menjaga hubungan mereka dalam kesederhanaan.
Dua tahun saling menabung kesabaran, saling menguatkan di tengah pekerjaan yang serba pas-pasan. Dan hari ini, semuanya menjadi nyata.
Senyumnya tak bisa disembunyikan. Wajahnya berbinar. Ia berdiri, menatap bayangannya sendiri di cermin kecil di dekat jendela.
"Akhirnya, Ran... kita sampai juga di titik ini."
Siang itu, langit Jakarta seolah turut bersaksi. Antara kontrakan sederhana dan hati yang dipenuhi harapan, langkah kecil menuju rumah tangga pun dimulai.
Diiringi doa dari seorang ibu yang tak pernah lelah berkorban, dan cinta dari seorang perempuan yang sabar menunggu, Ganendra tahu: bahagia itu nyata meski dimulai dari tempat yang paling sederhana.
Setelah menyiapkan semua kebutuhan seserahan di pasar, Bu Siti tak ingin langkah besar hari ini hanya dijalani berdua dengan anaknya. Sebagai perempuan Bugis tulen yang menjunjung tinggi tata krama dan nilai adat, ia tahu pentingnya datang melamar dengan saksi keluarga dan tokoh masyarakat, meskipun mereka kini tinggal di tanah rantau.
Sepulang dari pasar, ia duduk sebentar melepas lelah, lalu segera mengenakan jilbab dan pergi berjalan kaki menuju rumah Pak RT yang tinggal beberapa gang dari kontrakan mereka.
“Assalamu’alaikum, Pak RT,” sapanya sopan saat pintu rumah dibuka.
“Wa’alaikumussalam, Bu Siti... Ada apa pagi-pagi begini?” tanya Pak RT sambil mempersilakan masuk.
Bu Siti tersenyum, wajahnya penuh harap.
“Mohon maaf mengganggu, Pak. Insya Allah, siang ini anak saya Ganendra mau melamar seorang gadis. Saya mau minta tolong, kalau berkenan, Pak bisa ikut jadi saksi dari pihak kami?”
Pak RT yang sudah lama mengenal mereka sebagai pendatang yang baik dan tak pernah bermasalah, langsung mengangguk senang.
“Masya Allah... kabar baik ini, Bu. Insya Allah, saya ikut.”
Tak berhenti di situ, Bu Siti lalu menghubungi seseorang yang sudah lama tak ia temui: Kak Daeng Malik, sepupu almarhum suaminya, yang kebetulan juga menetap di Jakarta bersama keluarganya. Hubungan mereka tak sedekat dulu, tapi darah tetaplah darah.
"Assalamu'alaikum, Kak Daeng... Saya Siti, istrinya almarhum Pak Ramli," ucapnya pelan saat suara berat itu menyapa.
"Astagfirullah... Bu Siti, iya... iya, saya ingat. Ada apa, Bu?"
Suara Bu Siti bergetar, entah karena grogi atau haru.
"Kak, kalau Kakak berkenan... siang ini anak saya mau melamar. Saya butuh perwakilan keluarga laki-laki. Cuma Kakak satu-satunya keluarga almarhum suami saya yang masih di Jakarta."
Di ujung sana, terdengar hening sesaat, lalu napas berat dan suara mantap menjawab,
“Insya Allah saya datang, Bu. Almarhum Ramli pasti bangga lihat anaknya siap menikah. Saya yang dampingi.”
Tangis kecil jatuh di sudut mata Bu Siti. Hari itu, ia merasa tidak sendiri. Ada yang membantunya menjaga wibawa keluarga, dan ada yang siap menyaksikan anaknya menjemput takdirnya sebagai seorang suami.
Di tengah kesederhanaan dan rindu kampung halaman, keluarga kecil itu bersiap. Bukan hanya membawa seserahan, tapi membawa niat baik, kehormatan, dan harapan untuk masa depan yang lebih lapang.
Siang itu, satu unit angkot berwarna biru laut tampak melaju pelan menembus jalan-jalan kecil Jakarta yang padat. Di dalamnya, duduk Bu Siti Nurhaliza dengan seserahan di pangkuan, Pak RT yang rapi dengan peci hitamnya, serta Kak Daeng Malik yang mengenakan baju koko putih dan sarung lipat. Ganendra duduk paling depan, gugup bukan main. Sesekali ia mencuri pandang ke cermin kecil di atas dashboard, merapikan rambutnya yang sebenarnya sudah rapi sejak tadi pagi.
Angkot itu berhenti perlahan di ujung sebuah gang yang lebih lebar. Tapi alih-alih suasana sederhana seperti yang ia bayangkan, Ganendra justru terdiam kaku saat melihat apa yang terbentang di hadapannya.
Deretan mobil pribadi berwarna hitam dan silver berjajar di sepanjang jalan menuju rumah yang dituju. Beberapa bahkan menggunakan sopir, sebagian berpelat pejabat. Tamu-tamu berpakaian rapi tampak hilir-mudik, dan ada tenda kecil di halaman depan. Rumah itu sendiri cukup besar dan tampak megah dibanding rumah-rumah di sekitarnya.
Ganendra menoleh ke belakang, menatap ibunya dengan wajah yang mulai diliputi gelisah. "Bu... ini benar rumah Rania, kan?"
Bu Siti ikut menengok ke luar jendela angkot. "Ina mak... banyak betul mobil, Nak. Macam acara besar."
Pak RT ikut bergumam, "Jangan-jangan keluarganya pejabat ya, Ndra?"
Ganendra menelan ludah. Ia tahu Rania tak pernah banyak cerita soal keluarganya, selain bilang ayahnya pensiunan dinas daerah dan ibunya ibu rumah tangga. Tapi kini, kenyataan itu tampak berbeda.
Ia menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. Dalam hatinya berbisik, “Ini bukan soal mobil, bukan soal rumah. Ini tentang hati, dan niat baik yang saya bawa.”
Bu Siti menepuk bahu anaknya lembut.
"Jangan minder, Nak. Kita bawa niat baik, itu yang utama. Kalau mereka terima, alhamdulillah. Kalau tidak... Allah tahu kita sudah datang dengan hormat."
Ganendra mengangguk, meski jantungnya berdetak semakin cepat. Ia turun dari angkot, mengatur napas, lalu membantu menurunkan kotak seserahan dari pangkuan ibunya.
Di balik kemegahan rumah calon besannya, ia melangkah dengan kepala tegak. Bersama keluarga kecil dan rombongan sederhananya, Ganendra tahu ia bukan membawa harta, tapi membawa keberanian dan cinta yang ia rawat dengan kesetiaan selama dua tahun.
Tapi matanya terbelalak melihat tulisan besar di jalan masuk rumah berlantai dua itu.
"Ini tidak mungkin!?"