**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Hari sial
Pagi menyelinap perlahan di sela jendela rumah mungil itu. Sinar matahari menyentuh lantai dengan malu-malu, seperti enggan membangunkan luka yang belum mengering. Nadra menggeliat pelan, matanya masih setengah tertutup. Ia turun dari ranjang, melangkah malas sambil mengucek mata.
"Ibu," gumamnya lirih, suara itu refleks, menyelinap begitu saja dari bibirnya. "Ibu, udah masak belum? Kalau belum, aku mau bantuin."
Langkahnya terhenti di depan dapur. Ruangan kecil itu terlihat sunyi dan bersih, tak ada aroma masakan, tak ada suara panci yang berdenting. Hanya keheningan yang menyambutnya.
Nadra mematung di ambang pintu, baru sadar. "Ah," ia berbisik pada dirinya sendiri, "aku lupa, Ibu kan udah di surga sekarang. Pasti udah bisa makan enak, dan nggak perlu ribet lagi ngurusin Ayah."
Ia berjalan ke meja kecil di sudut dapur, meraih gelas belimbing, lalu menuangkan air itu dari ceret. Baru saja air itu menyentuh bibirnya, terdengar suara dari depan rumah.
"Nadra, Nadra, Assalamu'alaikum." Suara seorang wanita, bukan asing, tapi juga bukan yang biasa ia dengar setiap hari.
Nadra menurunkan gelasnya. "Iya, Bu. Sebentar," sahutnya, lalu melangkah ke depan rumah.
Saat membuka pintu, sosok Bu Haja Sumarni sudah berdiri di depan rumah dengan senyum ramah dan tangan yang memegang bungkusan plastik.
"Ada apa ya, Bu?" tanya Nadra, bingung.
Bu Haja tersenyum hangat. "Ini tadi Ibu habis dari warung. Sekalian aja beliin kamu sarapan. Kamu belum makan, kan?"
Nadra menggeleng pelan. Hatinya hangat.
"Nah, kalau begitu makan dulu, ya. Ibu pamit dulu."
"Terima kasih, Bu," ucap Nadra tulus.
Bu Haja Sumarni melangkah pergi, meninggalkan aroma sayang yang sederhana namun menenangkan. Nadra tetap berdiri di ambang pintu, memandangi kepergian wanita itu dengan hati yang tak terasa sepi seperti pagi tadi.
Baru saja Nadra membalik badan dan hendak masuk ke dalam rumah, suara itu datang, raungan khas sepeda motor sport yang telah ia kenali luar kepala. Suara mesin itu masih berada di ujung gang, namun dentumannya seperti menggema di seluruh rongga dadanya.
"Itu, itu suara motornya Nayaka."
Tanpa pikir panjang, ia segera masuk, tergopoh-gopoh menuju pintu depan untuk menutupnya. Namun belum sempat ia menarik daun pintu rapat-rapat, suara motor itu berhenti tepat di depan rumah. Terlambat.
Dari atas motor. Nayaka melihat sosok yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Nadra, dalam bentuk paling polos, rambutnya acak-acakan , kaus tipis berlubang kecil di beberapa sisi, dan celana pendek yang tampak terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Namun bagi Nayaka, tak ada yang lebih nyata dan menenangkan selain pemandangan itu. Ia tersipu. Begitu indah, begitu nyata, begitu sempurna.
Melihat Nayaka yang turun dari motor dan hendak berjalan ke arahnya, Nadra buru-buru menarik pintu untuk menutupnya.
"Jangan! Tunggu!" teriak Nayaka, langkahnya cepat. Tangannya menahan daun pintu yang mulai tertutup.
Nadra di balik pintu melawan sekuat tenaga, berusaha menahannya agar tak terbuka. "Jangan masuk! Aku belum mandi! Rumah juga masih berantakan!" teriak Nadra panik.
"Tidak masalah! Bagiku kamu tetap cantik, Nadra." Suara Nayaka berat, tapi tulus. "Aku mohon, jangan usir aku. Aku cuma pingin lihat kamu."
"Aku nggak siap ketemu siapa-siapa, Nayaka! Tolonglah," ucap Nadra nada suaranya hampir menangis, masih mendorong pintu sekuat tenaga.
Tapi tentu saja, tenaga seorang gadis 17 tahun tak sebanding dengan tenaga pria dewasa. Dorongan kecil dari Nayaka membuat tubuh Nadra terpental, jatuh terduduk ke lantai dengan napas terengah.
"Nadra!" Nayaka terkejut, segera masuk dan jongkok di sampingnya. "Maaf! Aku nggak bermaksud bikin kamu jatuh."
Nadra menunduk, menahan malu dan marah sekaligus. "Kamu tuh nyebelin!" katanya dengan suara kecil, mata berkaca-kaca.
Nayaka mengangkat wajahnya, menatap mata gadis itu. "Iya, aku nyebelin. Tapi entah kenapa, aku nggak tenang kalau belum lihat kamu hari ini." Nayaka hendak membungkuk, mengulurkan tangan padanya. "Sini, aku bantu," ucapnya pelan.
Tapi tangan itu segera ditepis oleh Nadra. "Nggak usah. Aku masih bisa bangkit sendiri," katanya dengan suara dingin, berusaha tegar.
Dengan pelan, Nadra menopang tubuhnya sendiri untuk berdiri. Wajahnya meringis, satu tangannya refleks memegang bagian bawah punggung. "Aduh," keluhnya lirih.
Nayaka berdiri kikuk, ekspresi wajahnya penuh rasa bersalah. "Aku beneran nggak sengaja, Nadra."
Tanpa membalas, Nadra berbalik. Ia berjalan ke arah dapur sambil menahan rasa nyeri yang masih terasa. Tapi langkahnya tertahan. Tangan besar Nayaka mencoba meraih pergelangan tangan Nadra dari belakang. Ia hanya ingin mencegah gadis itu pergi dalam keadaan marah.
Namun sialnya, yang tergenggam malah lengan kaus lusuh Nadra yang sudah mulai rapuh. Krek! Kain itu terkoyak cukup panjang, membuat sebagian punggung gadis itu terekspos.
Nayaka segera memalingkan wajahnya, tersentak. Bukan karena hal lain, tapi karena matanya sempat menangkap bekas luka samar di punggung Nadra. Bukan luka baru, tapi luka lama, seperti bekas cambukan atau hantaman keras.
Sejenak, dunia seperti terhenti bagi Nayaka. Ia berdiri membeku, dadanya sesak. "Nadra, itu......"
Nadra langsung menutupi punggungnya dengan tangan dan sisa kausnya, lalu menoleh tajam dengan wajah merah karena malu dan marah. "Jangan Lihat!" bentaknya pelan. Namun penuh getaran.
"Maaf," jawab Nayaka cepat, menunduk. "Aku nggak sengaja, sungguh."
Begitu menyadari robeknya pakaian Nadra, Nayaka segera melepaskan jaket kulit hitam yang melekat di tubuhnya. Dengan lembut, ia selimuti bahu mungil gadis itu.
"Aku nggak akan lihat," ucap Nayaka pelan, lalu berbalik membelakangi Nadra. Namun arah wajahnya sedikit berpaling ke samping. "Sekali lagi, aku minta maaf."
Nadra diam. Jemarinya meremas ujung jaket yang kini menutupi tubuhnya. Butuh beberapa detik baginya untuk menyusun kata. Lalu, dengan suara datar. Ia bertanya. "Sebenarnya, kamu ke sini mau apa?"
Nayaka menarik napas, lalu menjawab, "Hari ini ulang tahunku.naku ingin hari ini ditemani kamu. Tapi kalau kamu sibuk, atau memang nggak bisa, aku nggak akan memaksa."
Seketika suasana menjadi hening. Nadra menunduk. "Maaf, aku nggak bisa," ucapnya lirih. "Hari ini hari kedua, Ibu dan Ayah pergi. Aku mau ke pemakaman."
Nayaka menggigit bibir bawahnya. Matanya berkedip cepat. Menyembunyikan kecewa yang tak bisa ia bantah. Namun ia mencoba mengalihkan fokusnya.
"Kalau gitu biar aku temani kamu ke pemakaman," tawarnya tulus.
Nadra mengangkat wajahnya, tapi ia tidak langsung menjawab. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih berkecamuk, antara butuh ditemani dan ingin menyendiri.
Melihat Nadra belum juga menjawab, Nayaka menunduk sedikit. Suaranya pelan, namun dalam. "Aku cuma ingin menemani. Menghibur. Tapi kalau kehadiranku malam bikin kamu nggak nyaman, aku pergi aja."
Ucapan itu seperti menampar lembut hati Nadra. Tapi ia tetap mengangguk pelan, menatap lantai.
"Maaf. Mungkin selama beberapa hari ini aku nggak ingin diganggu dulu."
Nayaka mengangguk, meski rasanya pahit. "Baik."
Ia melangkah mundur perlahan, langkah kakinya terdengar berat, seolah enggan menjauh. Sebelum keluar, Nayaka menoleh sekali lagi.
"Kalau kamu butuh apa pun, telepon saja, ya. Ponsel itu sudah aktif."
Nadra tak menjawab. Ia hanya berdiri diam, memeluk jaket Nayaka erat di tubuhnya. Saat suara motor mulai menjauh, matanya berkaca. Tapi bukan karena kecewa, lebih kepada luka yang terlalu baru, dan ia masih belum siap membuka ruang.
Nadra memutar tubuhnya perlahan, menatap ke ruang tamu. Matanya tertuju pada satu benda mencolok, sebuah ponsel mahal, tergeletak di atas meja kecil, seolah sengaja ditinggalkan begitu saja.
Dengan langkah pelan, ia mendekat. Kakinya menyentuh lantai dingin yang masih menyimpan jejak kabut pagi. Jemarinya menyentuh ponsel itu hati-hati, seperti menyentuh sesuatu yang bukan miliknya.
"Ini," gumamnya pelan, "ponsel terbaru. Yang aku lihat di etalase toko, harganya saja cukup buat makan satu kampung selama sebulan."
Nadra menghela napas, menatap layar ponsel yang masih menyala. "Kenapa dia begitu gampang kasih barang mahal kayak gini? Apa dia pikir aku ini pengemis?" tanyanya lirih, sedikit kesal namun juga bingung.
Tapi detik berikutnya, dia langsung menyesali kalimat itu. Ia tahu Nayaka bukan orang sembarangan, dan ia juga tahu ada sesuatu yang berbeda dari cara pria itu memandang dirinya.
Nadra menatap ponsel itu lekat-lekat. "Kalau aku pakai, apa artinya aku menerima dia?" gumamnya lagi. "Tapi kalau aku tolak, bukankah itu menyia-nyiakan kebaikan orang?"
Hening. Tidak ada yang bisa menjawab. Hanya embusan angin dari celah jendela yang menggerakkan tirai lusuh. Akhirnya, Nadra bangkit. Ia membuka laci kecil di bawah meja, menyimpan ponsel itu di sana, menutupnya perlahan.
"Kalau suatu hari aku butuh, aku tahu di mana harus mencarinya," ucapnya lirih.
...BERSAMBUNG.......
...Terimakasih sudah mendukung karya ini....
...Aku juga ingin memperkenalkan karya baruku loh. Genre horor/thriller. ...