NovelToon NovelToon
Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: samsuryati

Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”

“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”

“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”

“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”

“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”

“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12

Tangis nenek belum juga reda, tapi para bibi tetangga mulai bergerak mendekat dan menenangkan.

“Sudah, Bibi..u… sekarang bukan waktunya panik soal uang,” ujar salah satu bibi yang paling tua, menepuk-nepuk punggung nenek perlahan. “Anakmu itu yang penting… dia bisa mati kalau tidak segera ditangani.”

“Benar, nenek gu” sahut yang lain. “Kalau sampai terjadi apa-apa sama Paman Kedua, uang segitu pun tidak akan bisa beli nyawa paman kedua kan ”

"Tapi.. hanya itu uang yang ada, sekarang...di mana aku harus cari pinjaman?"

Satu di antara mereka, yang dikenal suka berbicara lugas, berkata dengan nada tegas, “Saya akan pergi ke rumah kepala desa sekarang juga. Kita minta bantuan. Kalau perlu, pinjam uang desa dulu—biar nanti potong poin saja saat panen. Potong saja dari poin hasil kerja ladang, itu lebih masuk akal daripada tunggu uang jatuh dari langit!”

Nenek hanya mengangguk pelan. Wajahnya masih suram, dan raut matanya terlihat lebih tua dari sebelumnya. Dia akhirnya berdiri, tubuhnya gemetar seperti batang bambu tertiup angin. “Baik… aku akan ikut ke kota,” katanya dengan suara serak. “Aku tak bisa duduk diam di rumah kalau anakku bertarung nyawa.”

Gu Yueqing sudah berdiri di ambang pintu, siap membantu ibunya dengan wajahnya tegang, tapi bibirnya menggigit ketakutan.Gu Yueqing yang malat, tidak tahu jika semua orang sudah berpikir buruk tentang dia

Fokus nya cuman pada ayah nya saja.

Semua orang mulai bergerak dengan cepat. Ada yang bersiap membawa tikar untuk membaringkan Paman Kedua di atas gerobak sapi.ada yang membawa barang seadanya, dan beberapa orang berlarian menuju rumah kepala desa.

Sementara itu, Ulan tetap duduk di tikar, tubuhnya bersandar lemas di tiang rumah. Wajahnya masih tampak pucat tapi kini tak ada satu pun air mata di pipinya. Bahkan saat nenek meliriknya sebelum pergi, tak ada lagi kemarahan di mata tua itu… hanya kekosongan dan kelelahan.

“Ulan, kau istirahatlah. Rumah serahkan padamu untuk sementara,” kata salah satu bibi dengan suara lembut. “Kau juga belum pulih betul.”

Ulan hanya mengangguk lemah.

Satu per satu mereka bubar,ada yang mengikuti ke kota, ada yang kembali ke rumah masing-masing untuk mengurus anak dan suami. Suasana rumah yang tadi penuh suara jeritan, tangis, dan langkah tergesa, kini perlahan hening.

Pintu rumah tertutup kembali… hanya suara angin sore yang menyelinap melalui celah dinding kayu.

Ulan duduk diam cukup lama.

Lalu, perlahan-lahan, sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Bukan senyum riang, bukan pula senyum polos… melainkan senyum yang sangat pelan, datar, dan penuh ketenangan. Ia menoleh sedikit ke arah pintu, memastikan semua benar-benar pergi.

Ia membetulkan posisi duduknya, menyandarkan tubuh pada bantal tipis, lalu memandang ke langit-langit rumah sambil menghela napas panjang.

“Hening akhirnya,” bisiknya sendiri.

Tak ada lagi tangisan, bentakan, atau tuduhan. Tak ada lagi pukulan dari nenek, tidak ada lagi ejekan dari ibu. Tak ada suara piring beradu atau seruan penuh amarah. Rumah milik keluarga Gu itu untuk sesaat menjadi milik Ulan seorang diri.

Dan senyumnya semakin dalam.

Terima kasih Tuhan, Paman kedua, hidup dengan dosa,ini hanya pemborosan untuk pekerjaan malaikat "

Ulan sendiri tidak tega, tapi di kehidupan sebelumnya,dia sudah banyak menasehati nya.Tapi balasan nya sungguh sangat mengecewakan.Dan Paman kedua lah yang membujuk nenek untuk pernikahan celaka itu.

Apa yang terjadi hanya sebatas kontribusi.

Malam itu udara terasa lembab. Angin malam menyusup dari celah-celah dinding papan rumah, membuat lampu minyak bergoyang perlahan. Di kamar paling belakang, Ulan berbaring menyamping, wajahnya menghadap dinding, matanya tertutupDia kantuk karena semangok bakso dengan banyak cabai yang membuat dia berkeringat.

 tapi sekarang , dia menutup mata dengan napasnya terlalu tenang untuk orang yang benar-benar tidur.

Ia sedang pura-pura tidur.

Telinganya tajam menangkap setiap suara langkah di luar kamar, setiap derit pintu yang dibuka pelan, dan suara gumaman tak puas yang mulai mengisi ruang utama rumah. Beberapa menit kemudian, suara ibunya terdengar paling jelas.

“Aku sudah bilang… mana mungkin uangnya sebanyak itu,” desis ibunya, nadanya sengit. “Mertuaku itu sudah pikun. Mungkin dia sendiri lupa naruh uangnya, atau mungkin cuma bohong dari awal. Mengaku-ngaku uang dicuri, padahal siapa tahu memang nggak punya apa-apa?”

Ayah Ulan menjawab pendek, lelah, “Jangan asal ngomong. Masalah ini serius.”

Ibu mendengus. “Serius, ya serius. Tapi pikirkan juga ini: kalau memang ada uang Rp13.000 lebih, kenapa dia nggak bilang dari dulu? Bukankah itu jumlah besar? Bisa angun rumah paling bagus di desa ini!”

Lalu suara ayah naik sedikit. “Dia nggak bohong! Dia cerita di depan semua orang, termasuk kepala desa! Dan dia sudah interogasi Yueqing di rumah sakit.”

Suasana menjadi sunyi beberapa detik.

“Apa katanya Yueqing?” tanya ibu, nadanya penuh curiga.

“Yueqing tidak mengaku. Dia bahkan bilang, dia tahu uang itu bukan untuknya—jadi buat apa mencurinya?”

Ulan yang masih berbaring diam, membuka mata perlahan. Pandangannya menerawang ke tembok tanah liat di depannya, lalu tertutup kembali. Senyum tipis muncul di wajahnya.

“Ia benar,” lanjut ayahnya di luar. “Tanpa mencuri pun, semua orang sudah tahu uang itu untuk dia. Buat apa repot-repot mencuri, kan?”

“Tapi aku tidak percaya!” suara ibu mengeras, penuh amarah.

Katanya ini mahar Ulan, tapi dengan enteng ibu mertua berkata, Yueqing perlu beli baju bagus dan tambahan mahar jika dia menikah nanti dengan orang kota.

Tapi dia sebagai ibu kandungnya bahkan tidak di berikan satu sen pun.Jadi ibu mulai menaruh kebencian terhadap gu Yueqing.

“Bagaimana kalau dia pura-pura suci? Bagaimana kalau sebenarnya dia atau ibunya yang diam-diam ambil? Mereka tahu kita orang miskin… mereka bisa saja menjebak, lalu balik menyalahkan keluarga kita!”

Plak

Terdengar suara keras—tamparan.

Ulan menahan napas.

“Kau keterlaluan!” bentak ayah. “Kalau kau mulai berpikir begitu, artinya kau menuduh keluarga sendiri. Jangan sampai aku dengar kau omong seperti itu lagi!”

Tangisan tertahan menyusul dari ibu. Dua saudara laki-laki Ulan,Gu Xiaobo dan Gu Xiaocheng—yang tidur di ruangan yang sama, mulai bangun karena suara ribut. Mereka terdengar berbisik satu sama lain.

“Kenapa ribut lagi malam-malam…”

“Sudahlah, tidur saja. Besok pasti ribut lagi…”

Lalu suara mereka menghilang, berganti dengan hembusan napas panjang anak-anak yang kembali merebahkan diri ke tikar. Mereka harus jalan kaki untuk pulang,dan sekarang juga sedang mengantuk pengen tidur.

Ulan tetap diam. Jantungnya berdegup tenang, seolah sedang menikmati sandiwara yang sudah ia prediksi jauh sebelumnya. Ia tak pernah memejamkan mata betulan malam itu. Ia tak butuh tidur,dia butuh mendengar semuanya.

Dan malam itu, ia mendengar cukup banyak.

Hanya setelah mendengar kan,Ulan yang berpura-pura tidur menjadi tidur beneran.

***

Pagi itu, kabut tipis masih menggantung rendah di antara pepohonan, namun suara-suara dari dapur belakang rumah keluarga Gu sudah mulai terdengar. Kayu-kayu diseret, kuali-kuali digeser, dan langkah tergesa mengisi pagi yang belum sempat tenang.

Ibu Ulan bangun lebih awal, suaranya lantang memenuhi rumah, “Ulan! Kau pikir bisa tidur sepanjang hari hanya karena pura-pura sakit? Cepat bangun! Kita harus kirim makanan ke rumah sakit kota sebelum siang!”

Ulan membuka matanya perlahan, lalu mengerang pelan, “Ibu... tubuhku lemas sekali…”

Namun tak ada belas kasih. Sang ibu mencibir, menarik selimut kasar yang menutupi tubuhnya. “Jangan banyak alasan. Kau pikir hanya kau yang lelah? Kami semua juga lelah!”

Ulan bangkit perlahan, kakinya gemetar seolah hampir tak kuat menahan tubuh. Wajahnya tampak sangat pucat. Dia berjalan tertatih menuju dapur yang masih dingin, belum tersentuh api.

Tangannya gemetar saat mencoba menyusun kayu bakar. Tapi saat itulah, sudut matanya menangkap sosok tua yang baru saja menyingkap tirai bambu menuju dapur , seorang bibi tua sebaya neneknya, seorang wanita yang senang bergosip, tapi dikenal jujur dan dihormati karena usianya.

Dalam sekejap, Ulan mengambil keputusan.

Dengan satu napas panjang, ia berpaling sedikit, membuat wajahnya menghadap cahaya pagi yang masuk dari sela dinding. Tangannya sengaja masih memegang kayu yang belum sempat dinyalakan. Dan tepat ketika langkah bibi tua itu makin dekat dan mata mereka hampir bertemu, tubuh Ulan goyah lalu terjatuh dengan suara berat.

“Duk!”

Tubuhnya terbanting di samping tungku batu yang masih dingin. Kayu-kayu berjatuhan dari pelukannya, menggelinding ke sudut dapur. Suasana hening sejenak… lalu terdengar teriakan kecil dari bibi tua itu.

“Ulan!? Astaga! Ada apa ini!?”

Wanita tua itu segera melangkah cepat masuk ke dapur, berjongkok di sisi Ulan yang tampak tak sadarkan diri, wajahnya pucat pasi, bibirnya kering dan sedikit pecah seperti tidak mendapatkan cukup air. Tangan bibi itu memeriksa kening Ulan, yang memang sengaja ia biarkan dingin dan berkeringat tipis.

“Ini anak sudah setengah mati tapi masih dipaksa masak?” gumamnya terengah, setengah marah.

Tak lama, suara bibi itu bergema keluar, memanggil siapa saja yang masih ada di rumah.

“Cepat ke sini! Ulan pingsan di dapur! Dia bisa mati kalau seperti ini terus!”

Teriakannya menarik perhatian, dan riuh langkah kaki segera terdengar dari ruang tengah. Saat ibu Ulan muncul dan melihat anak perempuannya tergeletak, wajahnya menunjukkan sedikit keterkejutan,tapi juga rasa tidak percaya.

Namun bibi tua itu sudah lebih dulu bersuara. “Kau ini, anakmu sudah sekurus itu masih juga dipaksa kerja? Lihat dia! Pucat seperti mayat!”

“I-itu cuma... dia memang lemah, tapi.." sang ibu mencoba membela diri, tapi bibi itu menyambung cepat.

“Saya tadi lihat dengan mata kepala sendiri. Anak ini belum sempat menyalakan tungku pun sudah jatuh. Kalau dibiarkan, bukan cuma satu yang dibawa ke rumah sakit, nanti dua sekaligus!”

Ulan masih diam, matanya setengah terpejam, napasnya teratur namun dibuat seolah lemah.

Bibi tua yang sempat memarahi ibu Ulan karena memaksa anak sakit memasak kini berdiri di ambang dapur, kedua tangannya bertolak pinggang, matanya tajam mengawasi bagaimana ibu Ulan tergesa-gesa mengisi rantang dengan nasi dan lauk yang baru matang. Asap dari nasi masih mengepul, namun tak mampu mengaburkan kekesalan si bibi.

"Kalau anakmu mati karena kau paksa kerja, jangan bilang-bilang aku tak mengingatkan," gumamnya keras sambil berdecak.

Ibu Ulan tak membalas. Wajahnya keruh, namun tangannya tetap bergerak cepat menutup wadah makanan dengan kain lap dan mengikat tali pengikatnya. Baru saja ia hendak melangkah keluar, tiba-tiba terdengar derap kaki kecil berlari dari depan rumah. Seorang anak lelaki desa muncul di ambang pintu, napasnya memburu, wajahnya tegang.

“Bibi! Bibi! Keluarga Gu... keluarga Gu sudah kembali!” katanya terputus-putus. “Mereka... mereka bilang… Paman kedua sudah… meninggal dunia di rumah sakit!”

Segalanya berhenti seketika.

Ibu Ulan menjatuhkan rantang dari tangannya, menimbulkan suara dentingan keras dan beras yang tercecer ke tanah. Matanya membelalak.

“Apa?” suaranya nyaris tak terdengar.

Anak itu mengangguk, napasnya masih tersengal. “Aku lihat sendiri! Ada mobil dari rumah sakit di pintu masuk desa ! Mereka semua menangis!”

Tangisan meledak dari mulut ibu Ulan, spontan dan keras, seolah semuanya baru saja menabrak dadanya sekaligus. “TIDAAK! Adik kedua...u—!”

Tanpa menunggu lama, dia berbalik dan berlari masuk ke dalam kamar, menghampiri suaminya yang masih terbaring dalam selimut tebal, malas menghadapi pagi.

“Bangun! Bangun cepat! adik kedua sudah meninggal!” jeritnya histeris.

Suara gaduh itu membuat lelaki tua itu terlonjak bangun. "Apa?! Kau bilang siapa?!"

“Adikmu! Yang tadi malam masih duduk minum denganmu! Dia… dia sudah meninggal dunia di rumah sakit!”

Wajah ayah Ulan seketika kehilangan warna. Tatapannya kosong, tangannya gemetar menyentuh keningnya sendiri, seolah tak percaya.

“Tidak… tidak mungkin… dia masih tertawa semalam... kita masih minum bersama...”

Plak....

"Suamiku..??"

Ayah Ulan menampar istrinya,dia pikir ibu Ulan sedang berbohong.

“Ada mobil dari rumah sakit!” teriak anak kecil tadi dari luar. “Aku lihat sendiri! Mereka pulang dan semua menangis!”katanya lagi yang segera menyadarkan ayah Ulan.

"Adik...huhu.adik kedua..."

Tangisan mulai menggema dari setiap sudut rumah. Beberapa tetangga yang berada di luar rumah sudah mulai berdatangan, terpanggil oleh suara jeritan dan ratapan.

Ulan sendiri masih terbaring di kamarnya, memejamkan mata dengan tenang, tubuhnya tetap diam seolah belum sadar dari pingsannya. Tapi di balik kelopak matanya yang tertutup, pikirannya bekerja cepat.

Akhirnya... semuanya mulai bergulir sesuai rencana.

1
Etty Rohaeti
lanjut
Fauziah Daud
yup betul ulan.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt... lanjut
Fauziah Daud
trusemangattt
Cha Sumuk
sdh bab 3 tp mc cewek nya msh bodoh ms ga phm2 bahwa dirinya lg ngulang waktu, cerita ga jls berbelit Belit kesan nya,
samsuryati: say mc nya, sejak awal hanyalah seorang gadis tanpa pengalaman bahkan tanpa ilmu pengetahuan. tidak seperti kita yang tahu membaca dia hanya tahu desa bahkan belum pernah menikmati kota. meninggal pada tahun 70 sekian, hidupnya memang seperti katak di bawah tempurung.

jadi kelahiran kembali memberikan dia pilihan namun pilihan itu belum serta merta membuat dirinya berubah dari gadis muda yang bodoh menjadi gadis muda yang pintar.
ingatlah di dalam dua kehidupan dia bahkan belum pernah belajar.
Ini bukan tentang transmigrasi gadis pintar era 21 ke zaman 60-an di mana era kelaparan terjadi.
bukan say, cerita ini di buat membuat ulan mampu merubah hidupnya selangkah demi selangkah tidak langsung instan.

salah satunya adalah dia yang tidak pernah belajar sebenarnya bisa membaca tulisan-tulisan yang dipaparkan oleh layar virtual.
ya say, anggap saja itu adalah modal pertama dia untuk berubah.
jadi aku masih perlu kamu untuk mendukung agar perubahannya bisa membuatmu puas
total 1 replies
Fauziah Daud
bagus.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt
Andira Rahmawati
ulan nya terlalu lambat telminya kelamaan..😔
Fauziah Daud
bijak ulang.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt.. lanjut
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
lanjuttt
Fauziah Daud
luarbiasa
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
hadir thor
Cilel Cilel
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!