Dilahirkan dalam keluarga kaya, Alea Lily Armstrong tumbuh dalam penolakan. Dianggap pembawa sial, ia dikucilkan dan dibenci. Luka hati mengubahnya menjadi wanita dingin. Pertemuannya dengan Alexander, ketua mafia terluka, membawanya ke dunia gelap.
Lea menjadi "Ratu Mafia Tersembunyi," menyembunyikan identitasnya. Dendam membara, menuntut pembalasan atas luka lama. Di tengah intrik mafia, Lea mencari keadilan. Akankah ia temukan kebahagiaan, ataukah dendam menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chery red, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Taring yang Tersembunyi
Pagi di kediaman Richard bagaikan arena sirkus yang pengap, dan Alea adalah objek lemparan pisaunya. Di meja makan, aroma sarapan mewah tak mampu menutupi bau busuk kemunafikan. Richard duduk tegang, Kevin di sisinya memasang ekspresi angkuh, sementara David dan Devan sibuk menyeringai menikmati drama yang akan disuguhkan. Namun, pusat perhatian pagi itu adalah Tiara, yang kini duduk di sebelah Richard, memamerkan kemanjaan barunya di hadapan kakek dan neneknya. Nenek Sofia, dengan perhiasan emasnya yang berlebihan, dan Kakek Herman yang angkuh, menatap Tiara dengan pandangan memuja, mengabaikan keberadaan Alea di pojok meja, seolah gadis itu tak terlihat.
"Om Richard, Kevin, Kakek, Nenek," suara manja Tiara melengking, sengaja dikeraskan. "Lihat deh, Tiara bosan sekali sekolah. PR banyak, teman-teman nyebelin. Tiara cuma mau main-main dan senang-senang saja di rumah Om." Dia terkikik, melirik Alea dengan sinis. "Tidak seperti Alea, yang sok rajin belajar, padahal otaknya cuma dipakai buat cari masalah dan jadi parasit."
Richard tersenyum tipis, mengelus rambut Tiara. "Tentu saja, sayang. Apa pun yang kau mau, akan Om kabulkan. Kau kan keponakan kesayangan Om."
Nenek Sofia menimpali, suaranya menusuk. "Betul sekali, Tiara. Cucu kesayangan kami memang harus hidup nyaman. Kalau ada yang mengganggu, bilang saja pada Nenek. Nenek akan membereskan." Matanya melirik dingin ke arah Alea, seolah menganggap gadis itu bakteri.
Kevin terkekeh. "Tiara tidak perlu repot belajar. Sudah cantik, kaya, dan punya kita semua yang melindunginya. Beda dengan si pembawa sial dan jallangg kecil Alea, sampah masyarakat yang cuma tahu merepotkan." David dan Devan ikut tertawa terbahak-bahak, melontarkan sumpah serapah tak senonoh.
Alea mencengkeram garpunya erat-erat. Darah mendidih di benaknya. Ia sudah lelah dengan sandiwara menjijikkan ini. Selama ini ia diam, tapi bukan berarti ia tak punya batas. "Cukup," desis Alea, suaranya datar namun menusuk. "Kalian semua tidak lebih dari sampah yang menjijikkan. Bahkan lebih rendah dari parasit yang kalian sebut."
Seketika, tawa terhenti. Ruang makan membeku dalam keheningan yang mematikan. Tiara membelalakkan mata, berpura-pura terkejut dan terluka. "Alea! Beraninya kau berbicara kasar dihadapan kakek dan nenek!" teriaknya, wajahnya memerah. "Kau menghina Nenek dan Kakek! Kau memang tidak punya otak, tidak punya etika tidak tau diri! Dasar anak haram pembawa sial!"
Kata "anak haram" itu bagai belati yang menusuk tepat ke ulu hati Alea, memicu api dendam yang selama ini ia pendam. Matanya yang onyx berkilat tajam. "Aku ..? Anak haram ? Hahahaha... Siapa disini yang sebenarnya anak sah dari pemilik rumah ini hah ? Siapa disini parasit yang sebenarnya? Kau yang menumpang. Kau yang tidak tahu diri, Tiara. Pura-pura manja seperti anak anjing yang haus perhatian. Tak bercerminkah dirimu ? kau tidak lebih dari sampah yang sok suci."
"Alea!" Richard menggebrak meja, amarahnya meledak. Wajahnya merah padam. "Beraninya kau menghina Tiara! Kau pikir kau siapa?! Kau itu hanya sampah yang menumpang hidup di rumahku! Tidak tahu terima kasih!"
Kevin bangkit, tangannya melayang cepat. "Dasar jalang kurang ajar!" sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Alea, menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Nyeri yang tajam menjalar, tetapi Alea tidak bergerak, hanya menatap Kevin dengan mata penuh dendam namun berangsur-angsur menjadi tatapan dingin dan penuh perhitungan.
"Kau dengar itu, Alea?!" Richard ikut berdiri, tangan kanannya mendarat di pipi kanan Alea. Kali ini lebih keras, membuat kepala Alea terhuyung ke samping. "Mulai hari ini, aku tidak akan memberikan uang saku sepeser pun padamu! Biaya hidupmu, sekolahmu, semua kutanggung. Kau mau makan apa?! Mau sekolah pakai apa?! Akan kulihat bagaimana kau bertahan hidup tanpa kami!"
Tiara tersenyum puas, melirik David dan Devan yang ikut menyeringai gembira. Mereka menikmati setiap tetes penderitaan Alea. Rasa perih di pipi Alea tak seberapa dibanding luka hati yang menganga. Ia tahu, mereka ingin menghancurkannya, membuatnya bertekuk lutut. Tapi mereka salah besar.
Tanpa sepatah kata pun, Alea bangkit dari kursinya. Ia menatap mereka semua—Richard, Kevin, David, Devan, Tiara, Nenek Sofia, dan Kakek Herman—dengan tatapan dingin, seolah menatap hantu. Ia berbalik, melangkah keluar dari ruang makan yang penuh racun itu, menuju pintu depan.
"Kalian... tunggu saja kehancuran kalian semua, suatu saat kalian akan berlutut memohon kepada ku , tetapi disaat itu.. Semuanya telah terlambat.. " bisik Alea lirih sambil berjalan ke luar pintu rumah.
Alea meninggalkan kediaman itu tanpa menoleh. Udara pagi terasa sejuk di pipinya yang masih panas akibat tamparan, namun hatinya sedingin es. Richard mengira ia telah memutus semua jalur kehidupannya, tetapi ia tidak tahu. Alea telah jauh melampaui perhitungan picik keluarga Richard.
Di balik penampilannya yang sederhana dan citranya sebagai gadis miskin, Alea adalah pemilik kekayaan yang fantastis. Beberapa minggu sebelumnya, saat ia masih menyelami setiap sudut rumah yang tak pernah ia sentuh, ia menemukan rahasia yang disimpan mendiang ibunya, Rosalind. Sebuah diary bersampul coklat kayu yang tersimpan rapi di bawah tumpukan bantal di atas tempat tidur ibunya yang ditemukannya beberapa waktu lalu. Diary itu bukan hanya berisi curahan hati, tetapi juga petunjuk. Petunjuk menuju sebuah brankas tersembunyi di dalam lemari tua yang jarang dibuka, di balik tumpukan kain usang. Dengan kode yang tertulis rapi di diary, Alea berhasil membukanya.
Di dalamnya, Alea menemukan sebundel dokumen berharga, surat-surat kepemilikan aset, saham perusahaan, dan rekening bank yang tak pernah ia duga. Semua itu milik Rosalind, yang diam-diam telah mengalihkan semua kepemilikan harta itu atas nama Alea sebelum kematiannya. Di samping itu, ada setumpuk perhiasan kuno yang menakjubkan, peninggalan keluarga Callahans, yang kini tersimpan aman di tempat rahasia di kamar Alea.
Yang lebih mengejutkan, Alea menemukan kartu ATM yang juga dibuat oleh ibunya secara diam-diam untuk dirinya, dengan jumlah saldo yang fantastis—jumlah yang jauh melampaui apa yang pernah dibayangkan Richard. Tanpa sokongan dana dari Richard pun, Alea bisa hidup dengan berkecukupan bahkan lebih dari berkecukupan. Namun, ia tidak ingin memperlihatkan kekayaannya itu. Kekayaan itu adalah senjata rahasianya, yang harus tetap tersembunyi sampai saat yang tepat.
Bukan hanya itu, Alea juga telah merintis sebuah kerajaan kecil di dunia digital. Semenjak dibimbing dan bertemu dengan pamannya, Alexander, yang juga seorang jenius strategi dan hacker ulung, Alea telah membuat dan merintis sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perlindungan data dan keamanan cyber. Berkat kejeniusannya yang luar biasa, perusahaan rintisannya mulai dikenal oleh orang-orang bisnis kelas kakap yang membutuhkan perlindungan data sensitif mereka. Bayarannya pun tidak main-main, mengalirkan dana dalam jumlah besar langsung ke rekening pribadinya yang tersembunyi. Alea tidak perlu Richard dan semua hartanya, tak ada artinya.
Alea tiba di sekolah dengan ojek online, seperti biasa. Begitu melangkah masuk gerbang, ia melihat Axel, dengan ketujuh sahabatnya yang setia, sudah menunggunya. Axel yang gigih mendekati Alea, pagi ini tampak tak bersemangat. Ia tahu Alea belum mau berinteraksi, belum mau mendengarkan penjelasannya, apalagi menerima permintaan maafnya.
Melihat Alea turun dari ojek, Axel segera menghampirinya. "Alea!" sapanya, mencoba tersenyum ramah. "Sudah sarapan?"
Alea hanya menggelengkan kepala, tatapannya datar. "Belum."
"Kalau begitu, mari kita ke kantin. Aku temani," ujar Axel, tak menyerah. Ia berjalan di samping Alea, diikuti oleh teman-temannya yang kini juga menahan napas penasaran. Mereka menyadari aura Alea yang berbeda, lebih dingin, lebih kuat.
Di kantin, suasana riuh dengan obrolan siswa. Alea memesan nasi goreng, perutnya kosong setelah pertengkaran tadi. Ia duduk diapit oleh Axel dan salah satu temannya, sementara yang lain duduk di seberang mereka.
Tak lama, sosok yang paling ingin Alea hindari muncul. Tiara, diiringi gengnya, David, dan Devan, memasuki kantin. Mereka bergabung dengan sekelompok siswa laki-laki lain yang berbadan besar, anggota geng motor sekolah yang dipimpin oleh Ryan. Ryan sendiri duduk di meja paling ujung, mengamati keramaian dengan mata tajam.
Tiara, dengan mata liciknya, segera melihat Alea. Senyum sinis merekah di wajahnya. Ini kesempatan emas. Ia melangkah mendekati meja Alea, diikuti David dan Devan yang memasang ekspresi puas. Axel dan teman-temannya menegang, siap membela Alea.
"Wah, wah, wah... lihat siapa ini," ejek Tiara, suaranya dipelankan agar terdengar licik. "Si anak haram yang sok cantik dan sok kaya, tapi cuma bisa numpang hidup." Tanpa peringatan, dengan seringai puas, Tiara meraih gelas air teh panas yang ada di meja kantin di dekatnya, dan dengan santainya menuangkan seluruh isinya ke atas nasi goreng Alea. Asap mengepul dari hidangan yang kini basah dan tak bisa dimakan.
Tiara menarik tangannya, berpura-pura terkejut. "Ups... Astaga! Maaf sekali, Alea! Tidak sengaja! Aduh, cerobohnya aku!" Ia cekikikan bersama gengnya, tanpa dosa, tanpa sedikit pun rasa bersalah. David dan Devan tertawa terbahak-bahak, David bahkan menunjuk-nunjuk Alea dengan jari jijik. "Dasar jorok! Pantas saja tidak ada yang mau!"
Hening. Kantin yang tadinya ramai kini mendadak senyap. Semua mata tertuju pada Alea. Axel dan teman-temannya terkejut, rahang mereka mengeras. Mereka siap berdiri dan menghadapi Tiara.
Namun, Alea tidak bergerak. Ia tidak berteriak, tidak menangis, tidak pun merintih. Hanya napasnya yang tenang. Matanya yang onyx perlahan terangkat, menatap Tiara. Api dingin menyala di kedalamannya. Wajah Tiara yang sombong mendadak membeku, merasakan aura berbahaya yang tak pernah ia duga dari Alea.
Tiba-tiba, sebuah gerakan secepat kilat.
Alea bangkit, gerakan Krav Maga pertama meledak. Ia menyambar pergelangan tangan Tiara yang masih terulur di atas meja, memutarnya dengan presisi dan kekuatan yang mengejutkan. Tiara menjerit kesakitan, tangannya terpelintir pada sudut yang aneh.
"Apa-apaan ini?!" teriak David, segera maju untuk menolong Tiara.
Alea tak memberi ampun. Kaki kanannya melesat cepat dalam tendangan side kick rendah, tepat mengenai lutut David. Suara "KRAK" keras terdengar, dan David ambruk ke lantai, wajahnya memucat kesakitan, memegangi lututnya.
Devan tak tinggal diam. Ia menerjang maju, siap membalas. Namun Alea sudah bergerak. Dengan satu gerakan gesit, Alea berputar menghadap Devan, lengan kirinya bergerak dalam blok pertahanan tegas, menangkis pukulan Devan yang mengarah ke wajahnya. Detik berikutnya, tangan kanannya melesat, jari-jarinya membentuk knife hand strike, menyerang titik lemah di leher Devan. Devan terhuyung mundur, napasnya tersengal, matanya membelalak kaget.
Alea tidak berhenti. Ia mendorong Tiara ke arah David yang masih mengerang kesakitan di lantai. Tiara terjerembap di atas David, menambah rasa sakitnya. Alea melangkah maju, kakinya melesat dalam tendangan front kick ke arah dada Devan yang masih terhuyung. Devan terpelanting ke belakang, menabrak meja lain, dan piring-piring di atasnya berhamburan.
Seluruh kantin terdiam, menyaksikan adegan yang tak terduga ini. Alea, gadis yang selama ini dikenal sebagai korban penindasan, kini berdiri tegak, napasnya tenang, matanya berkilat penuh tekad. Gerakan-gerakannya cepat, efisien, dan mematikan. Para siswa dan siswi yang kebetulan ada di kantin mempunyai pertanyaan yang sama di benak mereka "Apakah Alea selama ini menyembunyikan kemampuan bela diri nya?"
Di meja ujung, Ryan, ketua geng, yang sedari tadi mengamati, menyunggingkan senyum misterius. Matanya menyipit, ketertarikannya pada Alea kini berubah menjadi rasa penasaran yang mendalam, bercampur dengan kekaguman yang tak terduga. Ia melihat sesuatu yang jauh lebih dari sekadar kecantikan; ia melihat kekuatan yang tersembunyi.
Alea menatap Tiara, David, dan Devan yang kini terkapar kesakitan, air teh di nasi gorengnya seolah mengejek mereka. Ini hanyalah permulaan.