Pemuda 18 tahun yang hidup sebatang kara kedua orangtuanya dan adeknya meninggal dunia akibat kecelakaan, hanya dia yang berhasil selamat tapi pemuda itu harus merelakan lengan kanannya yang telah tiada
Di suatu kejadian tiba-tiba dia mempunyai tangan ajaib dari langit, para dewa menyebutnya golden Hands arm sehingga dia mempunyai dua tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarunai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Setelah proses transaksi dan dokumen selesai, Klara sendiri yang menawarkan untuk mengantar Han ke villanya.
"aku nggak nyangka, ternyata kamu ahli dalam pengobatan." kata Klara saat dalam perjalanan menuju Villa.
Han yang mendengar itu sedikit malu, ia belum terbiasa saat mendapatkan sanjungan dan tidak tahu harus berbuat seperti apa di hadapan wanita cantik ini. jika kehidupan sebelumnya dirinya selalu mendapatkan penghinaan kali ini berbeda dan ia perlu beradaptasi tapi tidak menunjukkan kesombongannya.
"Terima kasih ya, Han… udah nolongin Ayah aku," lanjut Klara setelah melihat Han yang salah tingkah itu, entah kenapa kekagumannya terhadap pemuda itu selalu bertambah setelah mengenalnya lebih dalam.
"Iya, aku hanya bantu sebisanya… Tapi aku gak nyangka kalau Pak Jaja ternyata ayah kamu," jawab Han. "Awalnya kupanggil beliau ‘Pak’, tapi setelah tahu… ya harus ‘Tuan’ dong."
Klara tertawa kecil. “Panggil ‘Pak’ juga nggak masalah, kok. Ayahku juga nggak seformal dan butuh penghormatan seperti itu.”
tak terasa keasikan mengobrol, mobil sampai di pelataran vila tiga lantai di Bukit Loc Frumos. Han turun, matanya membulat kagum memandang bangunan megah, halaman luas, penjaga berseragam, dan arsitektur modern dengan sentuhan klasik.
“Wah…” gumamnya lirih.
Klara tertawa pelan. “Ayo masuk. Ada lift kok, jadi gak perlu capek naik tangga. Di dalam ada mini bar, ruangan bioskop, tempat gym, kolam renang, ruang santai, dan total dua belas kamar—tiga untuk pekerja, dua untuk tamu, dan kamar utama di lantai dua dan tiga.”
“Bagus. Aku suka vila ini,” kata Han, tulus dari hati.
“Syukurlah,” balas Klara, tersenyum puas. “Oh iya, ART-nya ada tiga, penjaga dua. Kamu mau pertahankan mereka atau…?”
“Biarkan mereka tetap bekerja di sini,” jawab Han singkat.
setelah satu jam lebih Klara berdiam di Villa Han, ia menatap jam mungil di pergelangan tangannya. Jarum jam telah menunjukkan tengah hari. Ia pun berdiri perlahan dari sofa mewah vila itu.
"Baiklah, sepertinya aku harus pulang," ucapnya dengan nada pelan, namun senyum di wajahnya tetap bertahan. "Kalau begitu, jika kamu ingin menjual berlian dan emas lagi, kamu wajib menjualnya ke kepadaku. Anggap saja itu sebagai balasan kecil atas bantuanku dalam mendapatkan vila ini," lanjut Klara, kali ini dengan guratan kegembiraan di wajahnya.
Han hanya mengangkat alis dan tersenyum miring. "Itu pasti... Tapi, dengan satu syarat," katanya sambil menatap mata Klara dalam-dalam dengan sedikit senyum menggoda. "Kamu yang harus melayaniku sendiri. Kalau bukan kamu, aku tidak akan menjualnya."
Pipinya langsung bersemu merah. Klara buru-buru membuang pandangannya, seolah takut Han membaca isi hatinya yang mulai tak bisa disembunyikan. "Tu-tentu saja... aku akan melayanimu... sebaik mungkin..." katanya tergagap, sebelum akhirnya dengan langkah tergesa dan wajah memerah, ia berlari keluar vila tanpa menoleh lagi.
Han hanya tertawa pelan melihat gadis itu. wanita yang aneh..." gumamnya sambil menggelengkan kepala, namun dalam hatinya terasa sedikit hangat.
Entah kenapa, Han merasa pandangannya terhadap wanita mulai berubah. Mungkin, tidak semua wanita seperti yang dulu membuat hatinya luka. Mungkin… tidak semua cinta akan menyakitkan.
Sore harinya, Han keluar dari vilanya untuk mengambil barang di kos. Ia memesan ojek online dengan handphone-nya yang layarnya sudah retak-retak.
"apa aku harus beli hp?" pikir Han.
Tapi dengan cepat ia menggeleng, untuk sekarang ia tidak terlalu perlu dengan handphone, lebih baik ia membeli motor atau mobil untuk berpergian seperti ini agar lebih mudah.
Lima menit kemudian, ojeknya datang. Han pun berangkat menuju kosannya. Dua puluh menit berlalu, dan ia sudah sampai. Ia segera mengambil barang-barangnya.
Kakek pemilik kos terkejut saat Han berpamitan dan menyerahkan kunci, padahal Han baru tinggal di sana satu hari.
“Kenapa, Nak Han, sudah mau pamit? Apa tempat ini kurang nyaman?” tanya si kakek.
“Bukan begitu, Kek. Saya sudah membeli rumah, jadi saya harus menempatinya,” jawab Han sopan.
“Kalau begitu, tunggu sebentar. Saya ambilkan sisa uangnya. Karena Nak Han hanya tinggal satu hari, saya anggap itu cuma numpang saja,” kata si kakek sambil hendak masuk ke rumahnya.
Namun Han segera menahan, “Tidak usah, Kek. Simpan saja. Saya ikhlas. Lagipula, Kakek tinggal sendiri dan sudah tua.”
Setelah itu, Han kembali ke vilanya.
“Tuan muda, makan malam sudah saya siapkan,” kata Minah, asisten rumah tangga berumur 29 tahun, yang masih muda dan cantik.
“Iya, nanti saya makan. Saya mau mandi dulu,” jawab Han.
Selesai mandi, Han turun untuk makan malam. Setelahnya, ia kembali masuk ke kamar.
"Aku harus tetap sekolah. Walaupun sudah punya banyak uang, tapi sekolah itu penting," pikir Han.
Karena Han belum mengenal banyak tentang sekolah di kota Tamian, ia pun berinisiatif menanyakan langsung pada orang yang ia percaya—Klara. Ia mengambil kartu nama Klara yang tersimpan di dalam cincin penyimpanannya, lalu menyalin nomor itu ke ponselnya.
Setelah mencoba menghubungi beberapa kali, akhirnya teleponnya diangkat.
“Halo, siapa?” suara Klara terdengar Datar dari seberang.
“Ehem… ini aku, Han,” jawab Han pelan.
“Oh! Han… Aku kira siapa yang nelpon malam-malam begini,” jawab Klara terdengar sedikit lebih bersemangat “Ada apa, Han?”
“Aku cuma mau minta tolong… Kamu ada rekomendasi sekolah SMA yang bagus di kota ini nggak?” tanya Han jujur.
Klara terdiam sesaat, terkejut. “Kamu... masih SMA, Han?” tanyanya, suaranya sedikit ragu dan tercampur heran. “Aku kira kamu udah kuliah… Soalnya... badan kamu tinggi... terus… bagus…” gumam Klara lirih, nyaris tak terdengar, seolah kata terakhirnya keluar tanpa sadar.
Namun Han, yang kini telah memiliki kekuatan luar biasa sebagai pewaris ilmu dewa kehidupan, tentu mendengarnya dengan jelas. Tapi ia memilih berpura-pura tak mendengar, senyum tipis muncul di wajahnya.
“Hah? Kamu bilang apa? Aku nggak denger,” sahut Han polos.
Klara langsung tersentak gugup. “Nggak… nggak! Maksudku… kamu mau sekolah? Ya sudah, besok aku bantuin kamu masuk ke SMA Tamian School, itu salah satu yang terbaik di sini,” katanya, berusaha menutupi kekagumannya.
“Apa aku nggak merepotkan kamu, Klara? Kamu bisa kasih aku alamatnya aja, aku bisa sendiri ke sana,” balas Han, merasa sungkan.
“Han, jangan bicara seperti itu,” suara Klara jadi lebih lembut dan tegas. “Ini belum seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu lakukan untuk ayahku. Lagi pula... sekarang kita sudah jadi rekan bisnis. Sudah seharusnya kita saling membantu.”
Han diam sejenak, hatinya terasa hangat oleh perhatian Klara.
“Ya sudah… terima kasih, Klara,” katanya tulus.
“Pokoknya, kalau kamu butuh apa pun, bilang saja. Aku pasti bantu… asal aku bisa,” ucap Klara penuh kesungguhan.
“Oke,” balas Han singkat.
“Besok aku jemput kamu, ya,” lanjut Klara.