Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MEMINTA RESTU
Sore menjelang senja, langit memerah malu-malu di atas jalanan yang mulai sepi. Di dalam mobil hitam milik Arkan, Febi duduk diam dengan tangan di pangkuan. Tatapannya keluar jendela, menatap pepohonan yang lewat satu per satu. Ia belum tahu, bahwa hari ini akan menjadi titik balik dalam kisah mereka.
"Sayang .." suara Arkan pelan, memecah keheningan, "boleh aku ikut masuk sebentar?"
Febi menoleh cepat. “Hah? Ke rumah? Ngapain, Mas?”
Arkan menatap lurus ke depan. “Aku mau ketemu Ayah dan Ibu kamu. Aku rasa sudah waktunya.”
Jantung Febi langsung melonjak ke tenggorokan. “Mas… kamu serius? Sekarang?”
Arkan mengangguk. “Aku serius. Aku ingin hubungan ini bukan cuma diam-diaman. Aku mau mereka tahu, dan kalau mereka izinkan… aku mau minta restu.”
**
Rumah keluarga Beni menyambut mereka dengan aroma gorengan hangat dan suara tivi dari ruang tamu. Pak Beni sedang membaca koran, sementara Bu Anita sibuk melipat baju di ruang keluarga. Begitu Arkan masuk bersama Febi, suasana mendadak hening.
Pak Beni menurunkan korannya. Tatapannya tajam, seperti sedang mengamati laporan keuangan penting.
“Selamat sore, Pak… Bu,” sapa Arkan sopan sambil menunduk.
Bu Anita tersenyum tipis, sopan tapi penuh tanda tanya. “Pak Arkan?”
“Iya, Bu.” Arkan menoleh sebentar ke arah Febi lalu kembali menatap kedua orang tua itu. “Saya datang ke sini bukan sebagai atasan Febi. Tapi sebagai pria yang ingin… memperjuangkan hubungan dengan putri Bapak dan Ibu.”
Suasana kian sunyi. Bahkan detik jam dinding terdengar lebih keras.
“Hubungan?” ulang Pak Beni pelan. “Bapak pacaran dengan Febi?”
Febi nyaris bersembunyi di belakang Arkan. Tapi ia mengangguk pelan.
“Saya serius, Pak. Hubungan kami baru. Tapi saya tahu… saya harus datang ke sini. Minta restu. Dan minta kepercayaan Bapak dan Ibu.”
Pak Beni dan Bu Anita saling pandang. Tak ada amarah, tapi juga tidak langsung bahagia. Ada kekhawatiran yang jelas terlihat di mata keduanya.
“Maaf, bukan kami tak suka,” kata Bu Anita hati-hati. “Tapi hubungan dengan orang seperti Pak Arkan… yang dari keluarga besar dan mungkin penuh sorotan… bukan perkara ringan. Febi itu putri kesayangan kami. Kami khawatir dia akan terluka.”
Pak Beni menambahkan, “Pak Arkan tahu sendiri, dunia Bapak dan Febi itu beda. Kaya dan sederhana itu bukan cuma beda isi dompet. Tapi beda cara pandang, beda kebiasaan, beda dunia. Dan kalau suatu saat kamu balik ke duniamu, dan Febi merasa asing… siapa yang akan menanggung lukanya?”
Arkan menatap mereka dalam-dalam. Lalu ia bicara, pelan tapi penuh keyakinan.
“Pak, Bu… saya tahu semua kekhawatiran itu. Dan saya pun tidak ingin membuat Febi harus mengorbankan dirinya untuk masuk ke hidup saya. Justru saya yang ingin belajar hidup bersama dia. Di dunia mana pun. Karena bersama dia, saya merasa lebih jujur. Lebih… manusia.”
Hening.
Lalu Pak Beni berdehem pelan. “Kamu yakin, Nak?”
“Sangat yakin, Pak.”
Bu Anita menarik napas panjang. Ia menatap Febi yang hanya bisa berdiri sambil menggigit bibir.
“Kami tidak akan menghalangi. Tapi satu hal, Pak Arkan…”
“Iya, Bu?”
“Jangan pernah sakiti putri kami. Jangan main-main. Kalau sudah kamu bawa masuk ke dunia kamu, jangan setengah-setengah. Jangan tinggalin dia di tengah jalan.”
Arkan mengangguk, penuh hormat. “Saya janji, Bu. Pak. Saya akan jaga Febi. Sebaik mungkin.”
Pak Beni akhirnya tersenyum kecil. “Kalau begitu. Jangan bikin kami menyesal.”
Arkan mengangguk dalam-dalam. Di dalam hatinya, sebuah pintu telah terbuka. Dan di sanalah ia berdiri: sebagai pria yang benar-benar berniat menjadikan Febi bagian dari hidupnya.
**
Pagi itu di kantor PT FORTUNE, suasana terasa agak berbeda buat Febi. Saat Arkan duduk di hadapannya sambil menyerahkan berkas, tiba-tiba dia bilang, “Sayang, malam ini aku mau bawa kamu ketemu Oma Ninggrum.”
Febi langsung terkejut. “Malam ini? Kok dadakan mas. Aku belum siap, Mas. Aku takut Oma nggak suka sama aku.” Suaranya terdengar ragu, campuran antara gugup dan bingung.
Arkan meletakkan tangannya di atas meja dan menatap mata Febi dengan lembut. “Santai aja. Oma itu orangnya baik, nggak bakal menghakimi kamu. Aku cuma pengen kamu kenal sama keluarga. Ini penting buat aku.”
Meski kata-kata itu menenangkan, Febi tetap merasa hati berdebar.
Setibanya di rumah, Vania, adiknya yang ceria, langsung menyambut dengan penuh semangat.
“Kakak, jangan panik dulu! Aku bakal bantu pilihin baju yang paling oke. Terus aku kasih tips supaya kamu bisa jadi favorit ‘calon nenek mertua’!” Vania terkekeh sambil menyeret Febi ke kamar.
Tadi di WA Febi curhat kepada Vania kalau Arkan mengajaknya malam ini bertemu Omanya.
Sambil memilih-milih pakaian, Vania terus memberikan tips-tips lucu yang membuat Febi tertawa walaupun dalam hati masih ada kegelisahan.
Tiba-tiba, ingatan tentang masa lalu Febi muncul. Keluarga sederhananya, perjuangan ibu dan Ayahnya dan rasa minder yang sering menghantui ketika membayangkan keluarga Arkan yang kaya dan terpandang. Tapi suara Arkan saat video call singkat malam itu kembali menguatkan.
“Jangan khawatir, Sayang. Aku percaya Oma Ninggrum akan melihat kamu apa adanya. Jadi, cukup jadi diri kamu sendiri, ya.”
*
Saat Arkan menjemput, Febi memegangi tangan Arkan erat-erat di dalam mobil. Hatinya penuh campuran gugup dan harap.
Rumah Oma Ninggrum terasa hangat dan menenangkan dengan nuansa klasik yang kental. Aroma teh melati menyambut mereka saat masuk ke ruang tamu. Febi langsung merasa sedikit lega meski tetap gugup.
Pertemuan pertama terasa agak kaku. Oma Ninggrum duduk tenang sambil memandang Febi dengan penuh perhatian. Pembicaraan dimulai dari hal-hal ringan seperti pekerjaan dan hobi.
“Kerja di mana, Nak?” tanya Oma dengan suara lembut.
“Aku kerja di perusahaan Mas Arkan, Oma. Sebagai sekretarisnya,” jawab Febi dengan gugup.
Obrolan pun mengalir lebih dalam tentang keluarga, nilai-nilai hidup, dan harapan. Oma mulai terlihat tertarik dengan pertanyaan yang makin personal tapi tetap sopan.
Tiba-tiba, pintu terbuka dan Tante Wulan masuk dengan ekspresi terkejut. “Arkan, kamu bawa siapa malam-malam begini?” ucapnya dengan nada tak terduga.
Arkan menatap Febi lalu berkata, “Ini Febi, pacarku.”
Suasana mendadak berubah tegang. Tante Wulan belum tahu tentang hubungan mereka dan terlihat kurang setuju. “Bukannya kamu akan dijodohkan dengan Meta, anak teman tante yang lebih cantik dan setara dengan keluarga kita?”
Mendengar itu, hati Febi menjadi sakit. Setara??? Cih…
Namun Oma Ninggrum mengangkat tangan menenangkan. “Wulan, anak muda sekarang sudah bisa memilih jalan hidupnya sendiri. Kita harus menghormati itu.”
Kalimat itu membuat situasi sedikit mencair. Malam itu ditutup dengan doa dan restu yang terasa hangat di hati Febi dan Arkan.
**
Di perjalanan pulang, Febi masih merasakan detak jantungnya yang cepat tapi ada perasaan lega. Di mobil, mereka berbincang lebih terbuka tentang masa depan, berharap membangun sesuatu bersama.
Keesokan harinya, Oma Ninggrum menelepon Arkan. “Febi anak yang baik. Tapi ingat, hati-hati dan jangan main-main dengan perasaan orang lain,” pesan Oma dengan penuh perhatian.
Tante Wulan justru mulai mengorek latar belakang Febi dengan rasa curiga, membuka peluang konflik yang belum tentu bisa dihindari.
Namun Arkan makin yakin dengan keputusan untuk perlahan membuka hubungan mereka ke keluarga besar. Ia ingin membuktikan keseriusannya.
Setibanya di rumah, Febi cerita semua ke Vania. Sang adik langsung heboh dan tertawa lepas, membuat suasana jadi ringan kembali, menghapus sedikit beban yang sempat menghimpit hati.