"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"
Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.
Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TUJUH Persiapan
AKU memandang di cermin. Pantulan dariku membuat terhanyut dalam lamunan tentang sikap Firhan tadi dan pertemuan tak sengaja itu dengan Daniel. Setelah menyisir dan menata rambut—tanpa make-up berlebihan, hanya bedak dan lipstick saja untuk dinner malam ini, dengan gaun dress merah fresh polos sampai di lutut, yang kupadukan nanti dengan heel’s merah. Rambut sengaja ingin diikat atau sanggul, atau apapunlah, agar terlihat rapi.
"Jangan melakukan itu, biarkan saja," selanya yang membuat aktivitas menata rambut jadi terhenti.
Tubuhku berbalik menoleh ke belakang di sebelah utara. Tubuh Firhan sengaja di sandarkan di lemari etalase sepatu sembari melipat kedua tangan ke dada. Ekspresinya sudah berubah secepat itu. Wajahnya sangat berseri memandangku, bak mengagumi karya indah yang baru ia temui.
Lelaki itu melangkah menghampiri, menatap dengan tatapan tertegun anehnya yamg seperti penuh makna di pantulan cermin yang ada di hadapan kami sembari memegang lembut bahuku.
"Kamu terlihat lebih cantik bila mengurainya." Jelasnya mengakui ringan yang nyaris berbisik. Mata Dia tak lepas memandang di cermin, lalu melepas ikatan itu yang membuat wajahku menengadah memandang wajahnya.
"Tapi terlihat berantakan, Fir, aku tidak suka rambut ikal ini!" Gerutuku yang membuat senyum manis itu merekah.
Aku berdiri menghadap lelaki itu, dan ia menatap kedua mata ini lekat-lekat sembari memegang bahu.
"Wajah cantikmu, serasi dengan rambut seperti ini, sangat indah! Seharusnya kamu bangga memiliki rambut ini, orang-orang di luar sana mengeluarkan banyak uang hanya untuk memiliki ini, dan kamu malah tak mensyukurinya," oceh suamiku yang memulai dan hanya membuat senyum ini nampak.
"Belakangan ini kamu sering marah-marah, apa kamu mengidam? Atau menstruasi?"
Ia tertawa, lalu mencubit hidung mungilku dengan lembut. "Entahlah, mungkin aku telat dua tahun." Timpalnya bergurau menahan senyum setelah mengangkat bahu dan membuat aku terkekeh. Ada secercah humor di matanya yang berkolaborasi dengan tatapan hangat dan lembut.
"Jangan bicara lagi, cepatlah bersiap! Kamu tahu betul, sampai batu bisa berbicara pun, kamu tak pernah bisa marah padaku. Lebih tepatnya, tidak mau," sungutku mengeluh, namun menatapnya menggoda.
Firhan tersenyum dan menunduk sejenak, lalu mengangkat wajah dan memandang sambil mengelus rambutku, "Dan aku tahu, kamu selalu benar, Nyonya Firhan. Kamu ibarat surga keduaku, setelah Ibu dan Ayah, dan maaf, untuk kesalahanku selama ini." Sahut Firhan tersenyum menatap mataku dengan lekat, lalu bergumam di akhir kalimat. Kedua mata itu tampak bersungguh-sungguh, aku bisa merasakan ketulusan hati itu.
Lelaki tampan di hadapanku ini, lalu mendaratkan kecupan manis di kening. Kemudian, "Aku akan kembali!" janjinya riang, lalu mengerling padaku.
“Kamu tidak memarahi pak Gun, kan, atas kejadian tadi?” tanyaku saat teringat tiba-tiba, setelah menarik tangannya, mencegat ia sebelum pergi.
Ia cukup terdiam menatapku. Rahang kokohnya sedikit tegang dengan kilatan marah yang cukup geram, tapi betik berikutnya, kembali melunak dan berhasil mengendalikan emosionalnya. “Aku tahu, beliau tidak bersalah dan tidak ada kaitannya dengan itu,”
Sebelum ia berlalu, lelaki itu mengusap lembut rambut ini bersama senyuman manis yang tampak di wajah teduhnya, kemudian menyambar piyama mandinya yang membuat aku tersenyum ketika memandangnya yang hilang dari kamar mandi. Helaan napas legaku terasa. Firhan memang tipikal lelaki yang tak tega mengasari orangtua yang selalu menghormati, tak peduli posisinya apa saat ini.
"By the way, Nyonya Fir, Jangan terlalu berdandan, bisa-bisa mengalihkan seluruh dunia, dan itu membuat aku cemburu!" selanya menimpali asal sambil memandangku dengan tatapan humor saat kepalanya tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar mandi, saat aku hendak merapikan dan menata kembali rambut. Aku terkekeh dan ia kembali menghilang di balik pintu—melanjutkan aktivitas mandinya, setelah memperlihatkan senyum manis. Ya, hal yang baru kuketahui saat pengantin baru adalah ia typikal lelaki bersih. Saking bersihnya, ia bahkan mandi kedua atau kesekian kalinya hanya dengan alasan merasa tak fresh, meski ia baru melakukannya lewat beberapa jam. Dan itu terjadi, ketika ia tetiba harus bepergian atau merasa jengah dan berkeringat.
Dasar!
Lagi-lagi tingkah konyolnya itu membuat senyum ini merekah lebar menyentuh mata.
...* * *...
Setengah jam berlalu, kami berdua telah siap. Kulirik jam yang menempel di dinding kamar ini yang telah menunjukkan pukul enam lewat. Senja tak tampak lagi di langit kota Jakarta yang bisa terlihat melalui jendela besar ini yang berada di kamar kami. Langit sangat cerah malam ini, bulan berbentuk sabit dengan dihiasi banyak bintang, sekaligus pemandangan kota malam metropolitan yang begitu menakjubkan dari atas sini. Aku sengaja membiarkan tirai tidak menutupi jendela yang tengah berada di hadapanku, hanya untuk mengagumi keindahan malam sejenak, sebelum kami dinner.
"Sudah siap?"
Suara Firhan membuat aku menoleh dan tersentak dari lamunan. Lelaki itu berdiri tidak jauh beberapa meter dari tempatku berdiri dan ia lagi-lagi selalu terlihat sangat tampan malam ini.
Lelaki yang selalu saja mempesona itu kini memakai kemeja merah fresh polos dengan lengan kemeja dinaikkan hingga ke siku—sesuai permintaannya—yang kusiapkan tadi untuknya dengan dipadu celana hitam khaki dan sepatu kets hitam. Rambut spike Firhan sengaja di gel dan dimodel membentuk agak berantakan, namun terkesan keren dan sangat tampan. Dia memang sengaja meminta mengganti pakaiannya dan menginginkan pakaian couple casual yang tengah kami kenakan saat ini. Firhan tersenyum, saat menyadari aku terpesona pada penampilannya.
"Aku milikmu, ingat?" ringannya mengingatkan dan membuatku tersenyum malu dan menunduk.
"Seharusnya, aku dandan sempurna untukmu, tapi—"
"Sssstt. Bahkan, kamu tidak mandi pun, kamu masih terlihat sangat cantik di mataku,"
Dan itu, membuat aku terkekeh yang hanya dibalas demgan senyuman khasnya yang nampak saat melihat responku.
Lagi-lagi pipi memanas. Ah, Tuhan, mau di bilang dia merayu, tapi kenyataannya, yang aku rasakan, itu memang real dari hati tulus, ketulusannya benar-benar terasa.
"Berangkat?" tanya dia memandang sembari mengulurkan tangan ke arahku.
Aku tersenyum dan mengangguk, lalu menghampiri dan meraih uluran tangan hangat itu. Ia menggenggam erat tanganku, menyambar tuksedo hitamnya, dan kami turun ke bawah.
Saat melintasi ruang tengah, meski Firhan sengaja merengkuhku dan berhati-hati agar tak memandang ke sisi kanan, tetapi tetap saja, sudut mataku sekilas melihat meja kaca bening dengan motif yang kukagumi itu selama ini, pecah tak tersisa dan kini dibiarkan berserakan di lantai. Hanya tinggal penyangga-penyangganya saja yang berdiri tegak bersama miniatur hiasan dan alas tempat menyimpan koran atau majalah. Sebenarnya, aku ingin bertanya pada suamiku ini, namun kukatupkan keras-keras rongga mulut dengan bibirku. Aku tidak ingin merusak moment indah ini, terlebih suasana hati Firhan yang saat ini sangat bagus.
Tanganku melingkar semakin erat di pinggangnya dan ia merengkuh semakin erat, berjalan sembari menyandarkan kepala di dadanya dan tangan satunya memegang lembut kepalaku. Setelah sampai di beranda dan menghampiri mobil merahnya, ia lalu membukakan pintu depan untukku dan seketika duduk di jok penumpang sebelah pengemudi. Senyum khas Firhan tersungging ke arahku saat lelaki itu telah duduk di jok pengemudinya.
Perlahan-lahan, mobil lalu keluar dan melajukan dengan kecepatan normal, menembus kota dingin Jakarta yang begitu indah.
...* * *...