Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
“Siapa yang baru datang, Mas?” tanya Maria dari dalam rumah. Wanita itu membawa nampan berisi tiga cangkir kopi dan satu piring pisang goreng.
“Bu Kumala, anaknya Bu Sarti,” jawab Doni, pria itu melangkah dan duduk di kursi teras rumah. “Bu Sarti kemarin terjatuh di ladang dan hari ini beliau tidak bisa bekerja karena kakinya sakit.”
“Oh, begitu,” gumam Maria tak memperpanjang pertanyaannya. Ia lalu kembali masuk ke dalam rumah.
“Udah lama, Mas mengurus ladang dan perkebunan itu?” tanya David yang baru saja ikut bergabung bersama Pak Helmi.
“Baru satu tahun belakangan ini. Kenapa, kamu tertarik juga untuk bekerja di ladang?”
David menggeleng, dan tersenyum tak percaya. “Aku tidak tertarik bekerja di bawah terik sinar matahari. Aku lebih senang untuk menghidupkan kembali tradisi kuliner dalam keluarga kita.”
“Warung makan itu?” tebak Doni dengan sangat tepat.
“David sangat optimis untuk mengelolanya kembali. Syukurlah, jadi bangunan itu tidak terbengkalai begitu saja,” imbuh Pak Helmi. Tangannya menepuk pundak David, sebagai tanda pemberi semangat.
“Bukan ide yang buruk. Lagipula, kita punya seorang chef hebat seperti Luna,” Doni menambahkan.
Di saat Pak Helmi mengangguk setuju dengan ucapan Doni, tampak David seperti tidak sepemikiran dengan kakak kandungnya itu. Terbukti dengan dirinya yang sekarang hanya diam membisu, tidak bersemangat seperti tadi.
“Keahlian Luna…sama sekali tidak akan berpengaruh pada perkembangan rumah makan keluarga kita,” jawab David pada akhirnya dengan nada ketus. “Dia adalah seorang chef yang sering mengerjakan menu internasional. Sedangkan keluarga kita sangat mementingkan resep asli turun temurun.”
“Yah, setidaknya Luna bisa diandalkan dalam segala hal. Tidak ada salahnya dia membantu,” jawab Doni dengan santai.
“Betul, Ayah setuju dengan Doni,” Pak Helmi kini juga memberikan suaranya untuk mendukung Luna masuk ke dalam bisnis keluarga mereka. Karena Pak Helmi sendiri telah menganggap Luna sebagai putrinya sendiri, bukan seorang menantu.
Pak Helmi dan Doni tampak menikmati kopi dan camilan mereka, sedangkan David hanya bisa memanyunkan bibirnya ke depan seperti seekor bebek yang tengah mengamuk. Tidak akan ia biarkan Luna kembali mendapatkan banyak perhatian di lingkungan ini.
***
Sedangkan di dapur, Luna baru saja selesai menyiapkan bekal sekolah pertama untuk Sarah dan Siena. Mereka tampak sangat bersemangat untuk memulai sekolah di tempat barunya.
Meski sudah ditutup rapat menggunakan kotak bekal, tapi Siena tetap sejak tadi merengek agar Luna membukanya sejenak, Siena ingin mengintip bekal makannya hari ini. Setelah Luna mengizinkan dan membuka tutup bekal tersebut, mata Siena langsung berbinar melihat menu apa yang disiapkan oleh Ibu mereka.
Ada nasi, ayam fillet, sayuran, dan satu buah apel. Siena merasa sangat senang karena ayam fillet adalah kesukaannya sejak dulu. Setelah puas dengan bekal miliknya, fokus bocah perempuan itu mulai terarah pada bekal milik sang kakak, Sarah.
Ada menu apa di dalamnya. Begitulah pemikiran polos seorang Siena.
“Bekal kakak apa?” tanya Siena. Tangannya langsung meraih kotak bekal milik Sarah, hendak membukanya juga karena penasaran. Tapi Sarah melarang Siena melakukan hal tidak sopan seperti itu, membuat Siena kini menunduk hendak menangis.
Luna yang melihat ketegangan di antara kedua putrinya, mulai berusaha menjadi seorang penengah. Tidak bisa dirinya membenarkan salah satu dari mereka. Luna menenangkan Siena dengan cara dipeluk sampai merasa nyaman dan lebih tenang.
“Bu, aku hanya ingin melihatnya,” lapor Siena pada Ibunya. “Masa cuma gitu aja nggak boleh, sih?”
“Itu haknya kak Sarah, karena bekal itu punya dia,” Luna mencoba menasehati Siena dengan sabar. “Jadi jangan bersikap egois seperti itu lagi, ya.”
“Bukannya Ayah juga egois, karena membawa kita pindah ke rumah ini,” jawab Siena dengan polosnya. Bocah perempuan itu merasa belum lega tinggal di lingkungan seperti itu. “Aku tidak suka di sini.”
“Siena nggak boleh berkata seperti itu, sayang. Kita semua pindah agar bisa lebih dekat juga dengan kakek dan nenek.”
Anak seusia Siena tentu saja belum bisa menerima sepenuhnya lingkungan baru begitu saja. Semua kenyamanan yang pernah Siena dapatkan di tempat tinggalnya dulu, tidak sama dengan yang ada di tempat ini.
“Sarah, Siena, ada apa?” tanya David yang tiba-tiba muncul dari arah depan. Pria itu mendekat dan mensejajarkan tinggi badannya dengan Siena yang hampir menangis. Tatapan itu kini berpindah ke arah Luna, bersiap untuk menanyakan sesuatu. “Ada apa dengan kedua putri kita?”
“Hanya masalah bekal,” jawab Luna singkat.
Tidak ingin memperpanjang percakapan ini, David kini berusaha untuk menenangkan Siena dan mengatakan jika bekal mereka berdua sebenarnya sama. Setelah mendapatkan anggukan dari Siena, David pun lalu mengajak keduanya untuk segera berangkat ke sekolah.
“Hati-hati, sayang. Belajar yang rajin,” ucap Luna sambil melambaikan tangan.
Siena langsung menoleh dan membalasnya dengan lambaian tangan juga. Sedangkan Sarah, seperti biasa, dia hanya akan terdiam meski tatapannya tertuju ke arah Luna. Karena sifat pendiam Sarah itulah yang membuat Luna sedikit kesulitan untuk mengetahui isi hati maupun apa yang diinginkan oleh putri sulungnya.
Sesaat setelah David dan anak-anak pergi, Luna bergegas kembali ke lantai atas untuk merapikan kamar kedua putrinya. Sebelum suara seseorang menghentikan langkahnya di atas tangga.
“Ayo, ikut aku ke pasar,” ucap Maria dengan nada dingin.
“Sekarang, Mbak?” tanya Luna dengan hati-hati.
“Iya, sekarang.” Maria terdengar menaikkan nada suaranya. “Kutunggu di luar,” lanjutnya yang mulai melangkah ke arah luar.
Luna menghela nafasnya kasar. Belum juga pekerjaan selesai, sudah harus ikut pergi ke pasar. Dengan kaki yang terasa berat, ia kembali turun dan menyusul Maria dengan segera.
***
Suasana pasar hari ini tampak begitu ramai. Banyak dari para pedagang yang menawarkan barang dagangannya, ada juga yang sibuk melayani para pembeli. Pasar di tempat ini tergolong masih tradisional, dengan hanya para penjual yang menggelar dagangannya di sebuah tikar yang lebar.
Sejak tadi Maria yang bertugas berbelanja, memilih beberapa barang yang ingin dibelinya. Sedangkan Luna, berjalan mengikutinya dari belakang, sambil membawa keranjang berisi barang belanjaan.
“Kamu pasti tidak pernah pergi berbelanja seperti ini kan, Luna?” tanya Maria, intonasi suaranya seperti tengah mengejek pada Luna. “Jika tinggal di kampung seperti ini, harus pintar memilih bahan makanan. Makanya, aku mengajakmu agar kamu bisa melihat bagaimana warga di sini sehari-harinya.”
“Terima kasih, Mbak sangat perhatian,” jawab Luna dengan senyuman.
Melihat Luna yang tersenyum tanpa beban itu membuat Maria sangat kesal. Niat hati ingin menyusahkan adik iparnya, tapi justru dia tampak sangat menikmati semuanya. Seperti tengah piknik saja.
Maria membalikkan tubuhnya, melangkah dengan cepat sambil menghentakkan kakinya ke tanah layaknya seorang anak kecil yang merajuk. Luna yang melihatnya dari arah belakang hanya bisa tersenyum, karena dia memang sengaja bertingkah seperti itu agar kakak iparnya merasa kesal.
Keduanya kini baru berhenti di tempat seorang pedagang buah. Ibu mertua mereka mengatakan ingin membuat es buah nanti siang, jadi Maria mulai memilih beberapa jenis buah, seperti melon, dan semangka.
“Mbak Maria, tumben Bu Galuh tidak ke pasar?” tanya penjual buah, seorang wanita paruh baya yang memiliki rambut hitam bergelombang.
“Ibu dan Ayah hari ini akan pergi kondangan ke kota, Bu,” jawab Maria. Tangannya baru saja meletakkan semangka untuk ditimbang.
“Oh begitu,” penjual itu mulai menimbang, tapi tatapannya mulai tertarik pada seorang wanita yang dianggapnya cukup asing, berdiri tepat di belakang Maria sejak tadi. “Yang di belakang itu siapa, Mbak?” tanyanya lagi.
Maria melirik sejenak ke arah Luna, lalu memasang wajah datarnya. Seolah jika keberadaan Luna sangat mengganggunya. “Istrinya David,” jawabnya malas.
“Benarkah?” Tiba-tiba penjual itu berdiri mengulurkan tangannya, dan disambut baik juga oleh Luna. “Saya tidak menyangka jika istrinya David akan secantik ini. Tidak heran sih, karena David memang populer di kampung sejak kecil.”
“Anda terlalu memuji,” ucap Luna dengan malu-malu.
Mendengar ocehan si penjual buah yang menyebalkan, Maria tampak memutar bola matanya sangat malas. Jika diingat kembali, telinganya sudah sangat bosan mendengar semua orang yang terlalu melebih-lebihkan kedatangan mereka.
“Cepat hitung semuanya, Bu,” celetuk Maria.
“Loh, katanya mau bikin es buah? Kenapa hanya beli segini?” bingung si penjual karena Maria hanya mengambil buah semangka saja.
“Itu saja sudah cukup. Tolong cepat ya, saya buru-buru.”
Si penjual tak mengucapkan apapun lagi dan mulai menyiapkan buah yang dibeli oleh Maria. Luna juga tampak terdiam, merasa sadar jika sikap kakak iparnya berubah setelah penjual itu mulai memuji dirinya.
Padahal jika dipikir kembali, hal seperti ini bukanlah salahnya. Tapi, setiap kali ada seseorang yang bersikap baik padanya, maka disitulah Maria akan bertingkah semakin menyebalkan.
BERSAMBUNG