"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Menyusul Cassie
"Lepaskan dia, Bram," suara Adrian terdengar tegas, namun tak sepenuhnya keras. "Untuk kebaikan kalian berdua."
Bram hanya diam, berdiri di depan jendela ruang tengah, memandangi langit kelabu yang bergelayut di atas Jakarta. Jemarinya mengepal, rahangnya mengeras.
"Cassie tidak baik-baik saja, Nak," lanjut Adrian. "Jika dia kembali mengingat semua kenangan buruk, jika dia sadar akan keguguran itu, bukan tidak mungkin dia akan membencimu seumur hidup."
"Aku tahu," ucap Bram lirih. Matanya menatap kosong keluar jendela. "Tapi justru karena itu aku harus berada di sampingnya. Aku tidak bisa membiarkannya sendirian menghadapi semua ini."
"Terkadang cinta juga berarti membiarkan orang yang kita sayang pergi."
Bram berbalik, sorot matanya tajam. "Tidak, Pa. Tidak kali ini. Aku sudah cukup menyakitinya. Aku tidak akan menjadi pengecut lagi."
"Kau sudah menjadi seorang pengecut ketika menodai pernikahan kalian dengan menghadirkan orang ketiga. Bila sejak awal, kamu tidak menyukainya. Lebih baik kamu kembalikan dia dengan baik orang tuanya. Bukan malah membuatnya terluka," balas Melinda yang kesal dengan kelakuan Bram.
Perjodohan keduanya tidak luput dari campur tangan Cassie. Akan tetapi, Bram sebenarnya memiliki kuasa untuk menolak keinginan kedua keluarga. Hanya saja, dia tidak melakukan apa pun hingga pernikahan keduanya terjadi.
Raina yang sejak awal memang dekat dengan Bram tidak membiarkan begitu saja pernikahan Bram dan Cassie berjalan baik. Dia menggunakan berbagai cara untuk menarik perhatian Bram.
"Aku berjanji tidak akan membuatnya terluka, Ma. Tolong restui aku untuk membawa kembali menantumu," gumam Bram menggenggam tangan Melinda.
"Mama harap kamu mendapatkan balasan atas perbuatanmu terlebih dahulu sebelum kembali bersama!" tukas sang Mama, kemudian meninggalkan Bram yang tercengang dengan sikap mamanya itu.
***
Sehari kemudian, Bram berada di Bandara Changi, Singapura. Ia menurunkan kacamata hitamnya, menyembunyikan wajah letihnya dari pantulan cermin di toilet bandara. Satu koper kecil berisi pakaian dan satu ransel penuh dokumen berada di tangannya.
Ia menyewa apartemen sederhana tidak jauh dari klinik yang disebutkan oleh informan pribadinya. Di sana, berdasarkan informasi yang ia dapatkan, Cassie sedang menjalani terapi psikolog. Bram tidak gegabah. Ia memilih untuk mengamati lebih dulu dari kejauhan.
Bram memilih untuk pergi sendiri, dia meninggalkan asisten pribadinya untuk menghandle pekerjaannya di perusahaan. Walau sudah dilarang oleh kedua orang tuanya. Dia tidak peduli. Selamanya dia tidak akan melepaskan Cassie.
Hari pertama, Bram berdiri di seberang rumah sakit. Dari balik kaca mobil, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya. Cassie turun dari mobil bersama seorang perempuan yang ia kenali sebagai Jessie, kakak Cassie. Cassie mengenakan hoodie putih dan masker, kepalanya tertunduk.
Langkahnya pelan, nyaris ragu. Tangannya gemetar saat Jessie memegang lengannya dengan hati-hati. Bram nyaris keluar dari mobil, tapi menahan diri. Ini bukan waktunya.
Ia menyusul ke rumah sakit tempat Cassie diperiksa. Informasi dari kenalannya menyebutkan bahwa Cassie sempat mengalami serangan panik saat sesi. Hal itu membuat, Bram sangat kalut. Cassie dikatakan sering berteriak, menyebut nama seseorang sambil memukul-mukul kepalanya sendiri.
Bram menggenggam gagang kemudi erat-erat. Dia takut menghadapi kenyataan yang ada.
"Dia mencoba menyakiti dirinya lagi, Jess..." Clarissa terdengar lelah dari balik telepon.
"Dia mengira dirinya pantas mati... Karena seseorang yang tak bisa dia ingat," suara Jessie bergetar.
Bram berdiri di dekat Jessie ketika perempuan itu menghubungi mamanya. Bram terpaku mendengar semua hal itu. Ia tak bisa terus mendengar itu. Ia ingin memeluk Cassie. Ingin berkata bahwa semua ini bukan salahnya. Tapi siapa dia sekarang? Dia hanyalah hantu dari masa lalu yang bahkan dihapus oleh pikiran Cassie.
Bram kembali ke apartemen sewaannya. Ia membuka laptop, melihat foto-foto Cassie yang diam-diam ia ambil dari kejauhan. Hanya sebagai pelipur rindu. Cassie sedang duduk di taman rumah sakit, dikelilingi daun-daun gugur. Sorot matanya kosong. Bibirnya bergerak-gerak seolah bicara pada seseorang, namun tak ada yang menjawab.
"Kamu bahkan kehilangan dirimu sendiri, Sayang... dan itu semua karena aku."
Bram merunduk, memejamkan mata. Dia harus melakukan sesuatu bila ingin memperbaiki pernikahan mereka.
Keesokan harinya, Bram nekat masuk ke rumah sakit dengan menyamar sebagai pekerja di ruang sakit. Ia menyuap petugas kebersihan agar bisa masuk ke lantai tempat Cassie dirawat. Di balik kaca ruang observasi, ia melihat wanita yang dulu memanggilnya suami kini duduk diam menatap jendela.
Jessie ada di sana, membacakan buku dengan suara pelan. Bram mendekat, berdiri di balik dinding penghalang.
"Kadang, aku merasa jiwanya separuh pergi," ucap Jessie pelan, suaranya lirih.
"Tapi dia mulai mengingat, ya?" tanya Clarissa dari balik telepon yang disambungkan ke speaker.
"Iya, sedikit demi sedikit... Tentang pernikahan, tentang... seorang pria. Beberapa kali dia menyebut nama pria itu. Setiap kali dia mencoba mengingat lebih jauh, dia menangis."
Clarissa dan Jessie sepakat tidak akan mengatakan tentang Bram di harapan Cassie. Mereka berdua justru menginginkan agar Cassie selamanya lupa pada cintanya untuk Bram. Cinta yang hanya menyebabkan luka dalam hatinya.
"Biarkan waktu yang menyembuhkan."
Namun waktu tak pernah menyembuhkan jika luka terus dibiarkan menganga. Bram tahu, ia harus mengambil tindakan. Ia tidak bisa membiarkan Cassie perlahan hancur karena luka yang ia timbulkan sendiri.
Dan jika satu-satunya cara untuk menyelamatkan wanita itu adalah dengan membawanya kembali... maka ia akan melakukannya.
Bahkan jika ia harus melakukan sesuatu yang kotor sekalipun.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca.
Apa yang akan dilakukan Bram? Ikuti terus ya kelanjutannya. 😌
Dan juga keluarga Adrian kenapa tdk menggunakan kekuasaannya untuk menghadapi Rania yg licik?? dan membiarkan Bram menyelesaikannya sendiri?? 🤔😇😇
Untuk mendapatkan hati & kepercayaannya lagi sangat sulitkan?? banyak hal yg harus kau perjuangan kan?
Apalagi kamu harus menghadapi Rania perempuan licik yg berhati ular, yang selama ini selalu kau banggakan dalam menyakiti hati cassie isteri sahmu,??
Semoga saja kau bisa mendapatkan bukti kelicikan Rania ??
dan juga kamu bisa menggapai hati Cassie 😢🤔😇😇
🙏👍❤🌹🤭
😭🙏🌹❤👍