Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.
Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?
Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.
Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hal yang Meresahkan
Aldo pulang dengan keadaan resah. Bagaimana tidak, seorang Kevin sudah mengetahui masalah hatinya. Dia tidak sengaja menguping pembicaraannya dengan Tania waktu itu. Dan sekarang, pria itu dengan mudah melepaskan Tania ke dalam pelukannya. Ini bukan tugas mudah, walaupun Aldo harus mencoba perasannya.
Yang dia takutkan adalah salah satu di antara Tania dan Jean ada yang terkhianati. Dia benar-benar meresahkan hal itu.
Yang sekarang dia tatap adalah buku diary milik Kevin yang isinya semua tentang Tania. Dia tatap lekat buku cokelat itu. Kemudian perlahan tangannya mengambil lalu membuka lembar pertama.
Tentang Tania.
Tulisan yang dia baca di kertas depan. Lalu, dia buka lembar selanjutnya sembari beringsut duduk di pinggir ranjang.
Kemudian foto kecil mereka terpampang di sana. Tania dengan mulut berlepotan es krim dengan Kevin memeluknya dari samping.
Aldo terkekeh.
Tania terlihat lucu waktu kecil. Oh tunggu, sejak kapan Tania punya lesung pipi?
Saat dibuka lembar selanjutnya dia membaca sebuah biodata. Dan, betapa terkejutnya dia saat membaca siapa nama orang tua Tania. Matanya membola. Dia benar-benar tidak percaya akan hal ini. Apakah Kevin salah menuliskannya atau tidak? Ini mustahil terjadi!
Aldo menutup buku, enggan melihat halaman selanjutnya. Wajahnya menegang dengan keringat dingin bercucuran di ruangan ber-AC.
"Enggak mungkin."
...******...
Dion sedang berada di dalam kamarnya. Dia mencopot jas hitam dan menyisakan kemeja putihnya. Dia membuka dua kancing atas kemejanya dan melonggarkan dasinya. Dia berdiri di depan tirai putih yang beterbangan karena angin malam. Dia membuka ponselnya lalu mengirimkan nomor seseorang dan juga foto pada nomor yang dia tuju.
Selain itu, orang yang mendapatkan pesan dari Dion segera mengeceknya lalu menanyakan kepastian.
Ponsel berdering.
"Itu benar nomor dia?"
"Iya."
"Dari mana kamu mendapatkannya?"
"Saya mendapatkannya dari orang lain. Tenang saja, dia tidak tahu kalau saya punya nomor dia. Dan perantaranya pun tidak tahu," jelas Dion.
Helaan napas terdengar panjang. "Baik, saya percaya kamu melakukannya dengan rapi."
Dion tersenyum kecil. Dia mengingat kejadian beberapa hari lalu. Di mana dia meminta nomor seseorang dan ternyata bukan hanya nomor orang itu yang dia catat di ponselnya. Tetapi juga, nomor orang lainnya, yang jauh lebih penting.
"Terima kasih," ujar Dion.
"Oh iya, bagaimana kamu bisa menangkap foto gantungan itu?"
"Tadi saya menyamar sebagai sopir taksi dan menumpangi dia. Kemudian gantungannya tidak sengaja jatuh. Dan saya ambil kesempatan itu."
"Bagus. Kamu memang paling sempurna."
Dion tersenyum kecil.
"Baik, selamat malam. Terus pantau. Beberapa minggu ke depan saya akan pulang."
Sambungan diputus.
Dion menatap layar ponselnya yang tiba-tiba memunculkan notifikasi dari nomor Tuti.
Tuti: Mas ganteng, udah tidur?
Dion berdecih saat membaca itu dan langsung memasukkan ponselnya.
Sebentar lagi atau lama lagi. Semuanya pasti akan terungkap.
...******...
Saat jam istirahat tiba dan siswa-siswi pergi ke kantin. Termasuk Aldo, Bima, dan Nico. Tetapi sayangnya, di antara tiga cowok itu, hanya satu yang tidak fokus dengan makanannya—Aldo.
Ting! Ting! Ting!
Bima memukul mangkuk bakso Aldo. "Dimakan, jangan dilihatin. Bakso enggak akan suka balik sama lo. Jadi percuma lo lihatin juga," ujar Bima.
Aldo mendesah berat. Ada seseorang yang dia tunggu di kantin ini. Dan matanya, menyorot ke arah pintu kantin.
"Itu buku apa sih?" tanya Nico menunjuk buku di samping mangkuk Aldo.
Sontak, Aldo segera menarik buku itu.
"Yaelah, belum juga megang. Sensitif amat kayak cewek," ujar Nico.
"Amanda sering sensitif, ya?" tanya Bima.
"Kadang-kadang," jawab Nico. "By the way, bentar lagi kita bakal adain acara ulang tahun sekolah. Lo udah—"
Belum sempat Nico melanjutkan ucapannya. Dia lebih dulu mendengar suara grasah-grusuh lalu gebrakan meja. Saat dilihat, ternyata Aldo sudah pergi. Oh terlupa, Aldo balik lagi karena bukunya ketinggalan.
Bima dan Nico saling pandang. Lalu, pandangannya sama-sama tertuju ke arah uang pecahan seratus ribu.
"Busettt, orang kaya mah enggak mandang duit," ujar Bima dan Nico bersamaan.
...******...
"Hello, Tania! Berapa kali gue bilang sama lo kalau makan itu yang fokus. Lo mikirin apa, sih?" tanya Nabilla.
Tania mendesah berat. "Gue mau curhat nanti malam."
"Mau sekarang, nanti malam, besok pagi, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan. Gue enggak mau dengar," ujar Amanda.
"Jahat banget lo jadi teman," ujar Nabilla.
"Bodo amat," ujar Amanda.
Saat Amanda dan Nabilla mulai bercekcok dan Tania pusing mendengarkan dan akhirnya berpaling. Dia menemukan Aldo dan Kevin berhadapan di pintu kantin. Sepertinya akan ada adegan heroik karena perlahan dada Aldo dan Kevin semakin dekat.
Sementara itu, Jean dan Tari yang sedang membeli minuman terkejut melihat dua orang di ambang pintu kantin. Mereka saling tatap bingung.
...******...
Sreeekkk!!!
Buku cokelat itu digeser beberapa senti ke depan—Aldo menyodorkannya pada Kevin. Mereka memanfaatkan ruangan OSIS yang sepi sebagai perbincangan private ini. Tatapan panas Aldo beradu dengan tatapan dingin Kevin.
"Gue mau tanya tentang kebenaran buku ini," ujar Aldo seraya mengetuk-ngetuk cover buku dengan jemari telunjuknya.
Kevin menghela napas. "Apa yang harus ditanyakan? Ini semua isinya kebenaran."
"Oh iya?" Aldo mengangkat alis tidak percaya. "Kakak beneran nulis ini sesuai kebenaran?"
"Iya. Lo pikir gue bohong?" tanya Kevin. Dia menunjuk wajahnya. "Coba, apa yang buat lo enggak percaya dengan tulisan di buku ini?"
...******...
Tap! Tap! Tap!
Jean urung menggerakkan kenop pintu ruang OSIS saat dia mendengar pembicaraan. Panasaran, Jean mendekatkan telinganya ke arah pintu. Dan, betapa terkejutnya dia saat mendengar satu kebenaran keluar dari mulut Kevin.
Cengkeramannya pada botol aqua semakin kencang hingga berbunyi krekek.
"Jean?"
Jean tersentak kaget dan langsung menoleh ketika seseorang menepuk pundaknya—Tania.
"Lo ngapain?" tanya Tania.
Jean kaku. Dia masih belum bisa percaya dengan kebenaran ini. Jangan sampai Tania tahu.
"Gue mau masuk, awas."
Tania hendak menggeser Jean. Tetapi, gadis itu lebih dulu menarik tangannya.
"Tania," panggil Jean.
"Ada apa?"
"Bukannya tadi lo di kantin sama Amanda dan Nabilla?"
"Iya."
"Kenapa lo ke sini?"
Ada hal yang aneh dari Jean. Raut wajahnya tegang seolah menyembunyikan sesuatu.
Kreyok!
Pintu ruang OSIS terbuka menampakkan Kevin dan Aldo keluar. Dua cowok itu meneguk ludah dan menatap bingung Jean dan Tania.
"Kalian kenapa?" tanya Aldo.
"Kalian habis apa?" tanya Tania balik.
"Kita habis rapat privat untuk acara ulang tahun sekolah," jawab Kevin.
"Oh," ujar Tania.
"Gue duluan, ya," ujar Aldo. Pria itu lantas berlalu pergi dengan gerakan kaku.
"Gue juga, dah. Hati-hati, biasanya pintu suka ketutup sendiri," ujar Kevin.
Alih-alih membuat Tania dan Jean terkekeh, justru dia sendiri yang terkekeh. Sedangkan dua cewek itu berdecih.
"Mau ke mana?" Jean menahan Tania yang hendak pergi.
"Gue mau ambil pulpen di ruang OSIS. Pulpen gue hilang di kelas."
...******...
Amanda diam merenung di dalam ruang cheers. Tatapan matanya kosong. Satu tangannya mengetuk-ngetuk pensil di atas meja. Sedangkan satu tangannya lagi menopang sisi kepala. Ada satu hal yang Amanda pikirkan, yang terus berkelebat di benak Amanda. Bukan soal dirinya, tetapi soal sahabatnya—Tania.
Ruangan cheers yang sepi membuat pikirannya semakin tenang dan larut. Lipatan di kening itu semakin kentara.
Kreyok!
Nabilla membuka pintu ruangan dan menemukan Amanda diam membisu. Dia berjalan mendekat lalu mengambil pulpen dari tangan Amanda yang membuat gadis itu mengubah posisi lebih rileks dan mengembuskan napas panjang.
"Ini 'kan pulpen Tania. Kenapa lo ambil? Bilangnya enggak tahu," ujar Nabilla. "Kalau sampai dia tahu ternyata pulpennya ada sama lo, pasti dia bakal adu bacot sama lo," lanjutnya seraya meletakkan pulpen itu di rak spidol.
Tidak ada respons dari Amanda. Penasaran, Nabilla meliriknya lagi. Dan ternyata, Amanda masih tetap melamun. Dia menarik kursi lebih dekat.
"Lo mikirin apa? Soal Nico?" tanya Nabilla.
Amanda menggeleng.
"Terus? Tugas dari Pak Wayan dan Ibu Jihan?" tanya Nabilla.
Amanda menggeleng.
"Terus apa? Lo jangan buat gue takut dengan ngelamun gitu," ujar Nabilla.
Amanda mengembuskan napas panjang. Dia meneliti wajah Nabilla lalu berbisik lirih, "Menurut lo aneh enggak sih nama belakang Tania dan Jean sama?"
Diam. Nabilla mencerna kata-kata Amanda dengan baik. Lalu sedetik setelahnya, dia paham. "Maksudnya? Tolong diperjelas," pinta Nabilla.
"Gue punya firasat buruk soal Tania," ujar Amanda. Dari nadanya terdengar khawatir.
"Buruk gimana?" tanya Nabilla penasaran.
Amanda tidak mampu mengucapkan jawabannya dengan suara. Dia memilih menjawabnya dengan gerakan mulut yang membuat kening Nabilla seketika berkerut dan mulutnya setengah terbuka.
Nabilla tidak percaya dengan hal yang diucapkan Amanda.
...******...
Jean adalah orang yang pandai menyembunyikan sesuatu dan mengatur sesuatu. Dia bisa berekspresi ceria saat hatinya sedih. Dia bisa berekspresi sedih saat hatinya ceria. Kelebihan itulah yang selalu dia manfaatkan untuk terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Kadang, dia suka memaksakan senyum.
Hanya pada orang-orang yang mengenalnya secara sekilas. Kalau orang-orang yang mengenal Jean lebih dalam, tentunya orang itu tahu kalau Jean hidup dengan kepura-puraan.
Terlalu banyak pikiran membuat raut wajahnya sedikit pucat.
"Gue enggak nyangka, ternyata lo anaknya tante Mila. Pantas aja asyik diajak ngobrol," ujar Jean.
"Emangnya lo ketemu nyokap gue di mana?" tanya Tania.
Mereka berjalan keluar kantin. Jean menggendong tas. Sedangkan Tania membawa aqua botol. Entah sejak kapan, kebiasaan yang sering Aldo lakukan itu digantikan oleh Tania—mengantar Jean sampai gerbang.
"Waktu di rumah sakit. Panjang ceritanya," ujar Jean.
"Kalau gitu lo jangan ceritain gimana pertemuan lo sama nyokap gue. Karena itu panjang, dan gue males dengar cerita panjang," ujar Tania.
Jean terkekeh kecil. "Ada-ada aja lo. Eh, gue mau ke toilet dulu. Lo mau ke ruang OSIS, 'kan?"
Tania mengangguk. "Iya udah, hati-hati."
Jean kembali balik arah. Padahal pintu keluar ada di depan mata. Tania belok ke arah kanan untuk menuju ruang OSIS. Namun sayangnya, sebuah panggilan menghentikan langkahnya.
"Tunggu!"
Tania menoleh lalu menyipitkan mata. Dari jauh, dengan disinari matahari siang, siluet panjang Dion terlihat mendekat. Kalau sudah dicopot kacamatanya, barulah terlihat bentuk alis Dion yang straight.
Tania membentuk kepalan tinju di kedua tangannya. Bersiap melayangkannya ke arah Dion jika pria itu berani macam-macam padanya.
"Mau apa?" tanya Tania ketus. Dia berusaha memberanikan diri.
"Saya cuma mau tanya. Kamu tadi sama Jean, sekarang di mana dia?" tanya Dion. Matanya menoleh ke kanan kiri.
"Dia lagi ke toilet. Lo tunggu aja di mobil," ketus Tania.
Baru saja Dion ingin menjawabnya, seseorang lebih dulu menyela.
"Tania!"
Tania menoleh dan melihat Kevin mendekat. Dia tersenyum senang. Dengan hadirnya Kevin bagaikan malaikat.
"Habis dari mana?" tanya Kevin. Dia membenarkan sandaran tasnya.
"Dari kantin," jawab Tania.
"Oh." Mata Kevin lalu terarah pada Dion. Dia meneliti wajah Dion yang sepertinya tidak asing. "Kita kayak pernah ketemu deh," ujar Kevin.
Dion tersenyum kecil. "Mungkin. Kalau gitu saya permisi, terima kasih," ujar Dion lalu beranjak pergi.
"Itu siapa?" tanya Kevin seraya menunjuk Dion yang berlalu masuk ke dalam mobil.
"Itu supirnya Jean," jawab Tania.
"Oh. By the way, mau pulang sekarang enggak?" tanya Kevin.
"Eumph ... emang Kak Kevin mau pulang sekarang?" tanya Tania.
Kevin mengangguk. "Iya, kalau lo mau bareng ya, ayo," ujar Kevin.
Tania berjingkrak senang. "Oke, gue ambil tas dulu di ruangan, ya," ujar Tania.
Kevin mencekal tangan Tania yang hendak berlalu pergi. Dia mengangkat tas Tania ke hadapan gadis itu. "Udah gue bawain," ujar Kevin.
Tania menerima uluran tasnya. "Baik banget sih," ujar Tania.
Kevin mengacak rambut Tania. "Ayo," katanya lalu merangkul Tania berjalan keluar.
...******...
Selain Amanda, Aldo juga merasakan hal yang sama; firasat buruk yang akan menimpa Tania. Dia mendekatkan telunjuknya ke bibir dan memainkan seperti lollipop.
"Aldo lo nggak mau pulang? Hari ini nggak ada rapat. Anak-anak yang lain juga udah pada pulang," ujar Nico.
Aldo tersadarkan dari lamunannya. Dia menoleh ke sekitar. Lalu, matanya menatap sudut yang biasanya dijadikan tumpukan tas. Aldo mengernyit, tidak ada tas yang tersisa di sana.
"Tas Tania mana?" tanya Aldo.
"Udah dibawa sama kak Kevin," jawab Nico.
"Oh. Lo mau pulang?" tanya Aldo melihat Nico yang mengganti seragamnya dengan kaus polos warna hitam.
"Gue mau main futsal. Sekalian lihat Amanda," ujar Nico genit.
"Bima mana?" tanya Aldo.
"Enggak tahu ke mana," jawab Nico. "Gue keluar dulu. Jangan lo kunci ya ruangannya," ujar Nico sembari menudingkan telunjuk tepat ke arah Aldo. Pria itu menghilang dari balik pintu.
Aldo mendesah berat. Dia mengeluarkan buku diary cokelat dari dalam laci lalu membukanya. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang sesungguhnya terjadi.
Aldo mendesah berat lagi. "Tania Putri Ardian Sanjaya. Jean Putri Ardian Sanjaya," lirih Aldo.
Dia mengeluarkan ponselnya lalu mengirimkan pesan kepada Kevin.
Semoga Tania baik-baik aja saat lo mengatakan yang sesungguhnya akan terjadi.
Setelah itu dia memasukkannya kembali ke dalam saku celana. Dia berbenah diri sebelum pulang ke rumah menyusul teman-temannya.
...******...
Suara adukan terdengar nyaring di dalam ruangan minimalis ini. Mila sedang mengaduk cokelat panasnya lalu menyeruputnya. Dia duduk di kursi lalu membuka laptop. Tetapi, suara dering ponsel mengganggu niatnya.
Layarnya berkedip membuat Mila mengambil ponselnya. Ada nomor yang tidak dikenal mengirimkan pesan untuknya.
Apa kabar?
Mila mengernyit bingung. Dia membalas pesan itu.
Baik, siapa ya?
Dan, tak lama ada balasan pesan.
Saya Rio. Kamu lupa dengan saya, Ayu?
Mila mendesah berat. Ini pasti salah sambung. Dia membalas pesan itu.
Maaf, saya bukan Ayu. Anda salah sambung.
Selang sedikit lama. Balasan muncul lagi.
Oh, maafkan saya.
Mila tidak berniat membalasnya. Dia menutup kembali ponselnya. Tetapi sebelum itu dia meneliti nomor itu. Dan, ternyata kodenya bukan dari Indonesia. Mila mengernyit bingung. Ditambah saat dia mengklik foto profilnya.
...******...
Kevin membawa Tania ke tempat yang sama sebelumnya; kawasan di sekitar rel kereta. Mereka berdua kembali disambut hangat oleh anak-anak di sana. Kevin mengangkat bingkisan berisi kue dan anak-anak itu langsung menyerbu berebut kue yang Tania bagikan.
Seorang nenek tua datang dengan berjalan bungkuk dibantu tongkatnya. Dia ikut tersenyum manis menyambut mereka berdua seperti yang dilakukan anak-anak.
"Kalian datang lagi?" tanyanya berjalan mendekat.
Tania dan Kevin balas tersenyum sambil menyalami nenek tua itu.
"Iya, Nek. Kami ada waktu luang, jadi ya ke sini," ujar Kevin.
"Kalian anak-anak baik. Ngomong-ngomong, ke mana dua orang laginya?" tanya nenek itu.
Yang dimaksud adalah Tari dan juga pacarnya. Karena berkat mereka berdua, Tania dan Kevin sering ke sini.
"Mereka lagi sibuk," ujar Kevin.
Nenek itu mengangguk. "Ayo, mau mampir ke rumah nenek?"
...******...
Dua teh manis hangat dan sepiring biskuit terhidang di meja bundar di depan rumah. Nenek itu duduk di depan Kevin dan juga Tania.
"Nama nenek, Anjum. Kalian?"
"Saya Kevin. Ini teman saya, Tania," ujar Kevin menunjuk Tania.
"Anak manis," ujar Nek Anjum.
"Terima kasih, Nek," ujar Tania.
"Ayo, dimakan dan diminum," ujar Nek Anjum.
Tania dan Kevin mulai menyeruput minumannya.
"Nenek itu waktu kemarin lihat kalian ke sini bagi-bagi kue. Sebelumnya juga, ada sepasang remaja yang suka ke sini bagi-bagi makanan. Kadang, ngajarin anak-anak sini membaca," ujar Nek Anjum.
Kevin dan Tania tersenyum mendengarnya.
"Nenek senang, masih ada yang peduli pada rakyat miskin seperti kami. Dulu, kami pernah komplain untuk pindah kawasan karena di sini begitu rentang. Tapi, dari sana tidak merespon apa-apa. Makanya, kami semua terpaksa menetap di sini," ujar Nek Anjum.
"Memangnya sudah berapa lama Nek Anjum dan yang lainnya menetap di sini?" tanya Tania.
Nek Anjum mendesah berat. "Lima tahun. Dulu, kami semua tinggal di dekat pasar dan kota. Tapi, semenjak kawasan itu digusur untuk membangun pabrik, kami disuruh pindah. Dan sebagian orang memilih pergi ke sanak saudara, sedangkan sebagian memilih menetap di sini," ujar Nek Anjum.
Mata mereka tertuju kepada anak-anak yang sedang bermain.
"Mereka adalah anak yang tidak berdosa, yang harus menanggung akibat perbuatan buruk orang lain. Harusnya mereka sekolah. Tapi, ekonomi benar-benar tidak mendukung. Kami di sini hanya bisa berharap bantuan tiba, besar ataupun kecil. Hanya itu, harapan satu-satunya kami," ujar Nek Anjum.
"Nenek di sini ... yang paling tua ya?" tanya Tania.
Nek Anjum terkekeh kecil. "Bisa dibilang begitu. Makanya, Nenek sangat bersyukur melihat orang-orang seperti kalian. Menjumpai orang itu banyak dan mudah. Tapi, untuk menemukan mana yang baik, itu yang susah," jelas Nek Anjum.
Kevin diam, dia berpikir untuk sesuatu hal. Sebelum dia benar-benar meninggalkan Indonesia, alangkah baiknya dia berbuat sesuatu sebagai kenangan. Dia melirik Tania yang tatapan matanya tertuju ke arah anak kecil yang sedang menyuapi ayahnya.
"Oh iya, kalian ini kelas berapa?" tanya Nek Anjum.
"Saya sebelas, kalau dia dua belas," jawab Tania.
Nek Anjum mengangguk-angguk. "Ya, ya, ya. Dulu sih, waktu nenek usia segitu ada yang suka. Masih ingat sekali."
"Oh iya? Siapa?" tanya Tania. Baginya, cerita Nek Anjum yang satu ini sangat menarik disimak.
"Lupa namanya. Tapi, dia mendam perasaan. Sampai akhirnya dia enggak bisa sama nenek. Dari kejadian itu nenek jadi belajar. Bahwa, jangan pernah memendam sesuatu hal, karena yang sakit kita sendiri. Belajarlah berani berbicara," jelas Nek Anjum.
Mendengar ucapan itu membuat Tania dan Kevin saling tatap dan menunduk. Nek Anjum terkekeh melihat tingkah Tania dan Kevin yang tiba-tiba kaku.
...******...
Hujan tiba-tiba saja turun saat Kevin dan Tania berada di seperempat jalan. Mereka terpaksa berteduh di warung dan kembali meminum teh hangat. Kevin menyampirkan jaket denimnya di punggung Tania. Ibu penjual datang menyuguhkan dua teh hangat dalam gelas.
Mereka merasakan kehangatan di tangan saat menyentuh gelas itu. Rambut Tania dan Kevin sedikit basah.
Kevin menoleh, melihat Tania sedang meniup-niup tehnya. "Panas?" tanya Kevin.
Tania langsung menoleh. "Lumayan. Tapi enak, anget," ujarnya.
Kevin terkekeh.
Mereka sama menyeruput teh manisnya hingga menimbulkan suara.
"Ingat-ingat ucapan Nek Anjum tadi, gue jadi kepikiran," ujar Kevin.
"Kepikiran gimana?" tanya Tania.
"Mendem sesuatu hal itu emang enggak baik. Itu artinya kita nyakitin diri sendiri," ujar Kevin.
"Baguslah," ujar Tania.
"Apanya yang bagus?" tanya Kevin mengernyit bingung.
"Setidaknya, kita udah nyakitin diri sendiri sebelum orang lain nyakitin kita," ujar Tania.
Kevin terkekeh geli. "Bukan gitu, Tania. Lo mah, apa-apa enggak pernah serius," ujar Kevin.
Tania terkekeh geli. "Jadi, kenapa bisa Kakak kepikiran?" tanya Tania menoleh ke arah Kevin.
Kevin membuang napas kasar. Dia menatap sepenuhnya Tania. Perlahan, dia menggenggam tangan Tania. "Lo tahu, 'kan? Gue pernah bermimpi sekolah di Jerman? Dan gue ... gue—"
"Lo bakal ke Jerman?" potong Tania.
Sekarang suara rintikan hujan itu semakin kentara terdengar di telinga. Suasana tiba-tiba terasa hening dan canggung.
"Gue enggak mau bilang ini sama lo. Tapi, bakal lebih buruk kalau gue enggak bilang," ujar Kevin.
Manik mata mereka bertemu dalam orbit lurus.
"Enggak apa-apa. Itu 'kan impian Kakak. Bagus dong, Kakak bisa wujudin," ujar Tania.
"Lo benar nggak apa-apa gue tinggal?" tanya Kevin.
Tania menyunggingkan senyum. "Kayak nggak pernah ditinggal aja sebelumnya. Gue akan ikut senang kalau Kakak sukses," ujar Tania.
Kevin tahu, ini bukan sosok Tania yang dia kenal. Gadis itu menahan sesuatu di dalam tubuhnya. Sesuatu yang panas. Sesuatu yang bergejolak di dalam perut. Tania merasakan tamparan yang sangat keras.
Kevin sedari tadi tidak luput memperhatikan sisi wajah Tania. Dia seolah sedang menunggu kapan air mata luruh dari Tania. Tetapi sayangnya, air mata itu tidak akan pernah turun.
...******...
Setelah hujan reda mereka pulang ke rumah. Tania turun dan menatap Kevin. Begitu kentara kalau dia menangis di atas boncengan.
"Mata lo abis nangis, ya?" tanya Kevin.
Sontak, Tania segera mengelap matanya. "Enggak, tadi ada hewan yang masuk. Terus keluar air mata," ujar Tania.
"Maafin gue," ujar Kevin.
"Kak Kevin lebay, deh. Kayak nanti nggak akan ketemu aja. Lagi pula 'kan nggak sekarang Kakak pergi," ujar Tania.
Kevin mendesah berat. Dia tidak tahu lagi harus berkata bagaimana. Dia terlalu kaku.
"Kalau gitu, gue pulang," ujar Kevin.
Tania mengangguk. Dia melambaikan tangan kepada Kevin yang menuntun motornya masuk ke dalam pekarangan rumah. Hal yang lucu di sini adalah ekspresi sendu Kevin berlawanan dengan ekspresi ceria yang Tania paksakan.
Tania masuk ke dalam rumah. Dia menitikkan air mata saat dia balik badan. Satu kenyataan pahit yang akan dia terima nantinya.