"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Aria
Suasana di dalam mobil terasa tegang dan sunyi. Murni melirik ke arah Kaan, dan meski hanya diterangi pencahayaan minim dari luar bangunan tua itu, ia masih bisa melihat jelas ekspresi wajah suaminya yang tampak serius dan fokus.
Cahaya lampu jalan yang samar masuk lewat celah-celah jendela mobil, menyorot sebagian wajah Kaan, memperjelas tatapan matanya yang waspada. Murni bisa merasakan bahwa situasi saat itu sedang tidak baik-baik saja. Hatinya mulai diliputi rasa tidak tenang, membuatnya ikut melayangkan pandangannya ke luar, mencoba mengamati seperti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Detik demi detik berlalu dalam diam yang mencekam.
Hingga akhirnya, lampu dari mobil hitam yang tadi mereka curigai melintas di depan bangunan, dan langsung melewati tempat mereka bersembunyi. Murni secara refleks menahan napasnya akibat perasaan was-was dan kebingungan yang menjadi satu
Cukup lama mereka menunggu dalam diam, sampai kemudian mobil itu kembali lagi melintas dari arah berlawanan, dan berputar arah, dalam kecepatan yang perlahan seperti sedang mencari sesuatu.
Tak ada suara apapun yang berasal dari mereka, selain detak jantung yang bergema di telinga mereka masing-masing. Mereka masih menunggu, serta menanti kepastian bahwa mobil itu telah pergi.
Hingga beberapa menit kemudian, setelah suasana benar-benar terasa aman, barulah Kaan menyalakan lampu kecil di dalam mobil, lalu menghidupkan mesin mobilnya dan bersiap kembali ke jalan utama.
"Mas, sebenarnya ada apa?" tanya Murni yang merasa penasaran dengan apa yang barusan terjadi.
Namun Kaan memilih diam, seolah enggan menjawab pertanyaannya.
"Mas? Mobil tadi itu mobil siapa?" tanya Murni lagi, kali ini suaranya sedikit lebih keras.
"Kita pulang," jawab Kaan singkat, sebelum menginjak pedal gas dan melajukan mobil perlahan keluar dari bangunan tua itu.
Kaan tampak tidak ingin membahas apa pun soal mobil mencurigakan tadi. Hal itu membuat Murni merasa tidak nyaman, hingga hatinya mulai diliputi perasaan tidak enak yang sulit dijelaskan.
"Ternyata... aku belum mengenal Mas Kaan sepenuhnya.' Batin Murni.
Ia mengira hubungan mereka sudah cukup dekat. Ketika sadar jika mereka bisa berbicara dengan leluasa, makan bersama, bahkan tertawa ringan meskipun rasa canggung masih tetap ada di antara mereka. Dan ternyata, di balik interaksi mereka yang terbilang cukup akrab itu, masih ada bagian dari diri Kaan yang terasa asing dan tak terjangkau oleh Murni.
Sosok pria itu masih menyimpan banyak misteri dari Murni yang merupakan orang baru dihidupnya.
.
.
.
Tak berapa lama, akhirnya mobil mereka tiba juga di apartemen. Perjalanan yang terasa panjang karena sunyi itu pun berakhir tanpa sepatah kata pun terlontar dari bibir Kaan ataupun Murni. Hanya suara mesin mobil yang menemani keheningan mereka sepanjang jalan.
Kaan segera turun dan berjalan lebih dulu menuju pintu apartemennya. Dengan cekatan, ia membuka pintu dan melangkah masuk tanpa menoleh ke belakang. Murni mengikuti dalam diam, sembari membawa kantong belanjaan di tangannya.
Begitu mereka masuk ke dalam, suasana apartemen terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Tanpa berkata apa pun, Kaan langsung berjalan masuk ke kamarnya, lalu menutupnya kembali, menyisakan keheningan yang semakin menekan hati Murni.
Murni berdiri sejenak di ruang tengah, memandangi pintu kamar Kaan yang sudah tertutup rapat. Diamnya Kaan terasa seperti tembok tinggi yang tak bisa ia lewati. Tidak ada ucapan apapun yang terlontar dari suaminya. Yang membuat malam itu benar-benar terasa lumayan berbeda.
Dengan perasaan yang tidak nyaman, Murni pun memilih menyusun semua bahan makanan yang sudah ia beli di kulkas dan lemari dapur, sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarnya sendiri dan mengunci pintunya.
Lalu ia mengganti pakaiannya dengan baju tidur santai yang longgar dan nyaman. Kemudian bergegas naik dan merebahkan diri di atas kasur.
Pandangan matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Kesunyian menyelimuti ruangan itu terasa seperti ikut menyimpan resah yang enggan diucap. Dalam diam, pikirannya perlahan hanyut, kembali ke masa-masa awal ia bertemu Kaan.
Tanpa terasa, usia pernikahan mereka sudah berjalan lebih dari sebulan, namun bagi Murni, semuanya masih terasa asing. Seolah-olah mereka hanya dua orang yang kebetulan tinggal serumah, saling mengenal sebatas nama dan peran, tapi belum menyentuh kedalaman satu sama lain.
Ada jurang tak kasatmata di antara mereka, terbentuk dari percakapan yang tertunda, dan dari rahasia kecil yang tak pernah sempat dibagi.
Sejak awal, Kaan memang tidak pernah banyak bercerita tentang dirinya. Membuat Murni benar-benar tidak sepenuhnya tahu dengan sosok Kaan.
Ia menarik napas pelan, mencoba mengurai benang kusut di dalam pikirannya. Tapi semakin dipikirkan, semakin ia sadar, bahwa ia benar-benar belum mengenal Kaan sepenuhnya.
Perlahan, rasa kantuk mulai menyerang tubuhnya. Kelopak matanya terasa berat, dan pikirannya pun mulai melambat. Hingga akhirnya, Murni pun memejamkan kedua matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran tidur yang sunyi, menyisakan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang ikut terbawa ke dalam mimpinya.
.
.
.
Ting tung.
Suara bel pintu terdengar nyaring di dalam apartemen. Murni yang tengah mengobrol hangat dengan ibunya lewat telepon langsung menghentikan kalimatnya.
"Mak, Murni tutup dulu ya telponnya. Ada yang pencet bel," ucap Murni cepat.
"Iya, iya, emak juga mau masak ini. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Mak."
Murni menaruh ponselnya di meja dan bergegas menuju pintu. Begitu pintu terbuka, tampaklah sosok yang tidak asing di matanya, yaitu wanita yang beberapa waktu lalu memperkenalkan dirinya sebagai Aria kini berdiri di depan pintu dengan senyum cerah khasnya.
"Haii! Aku ganggu gak nih?" sapa Aria dengan riang, suaranya terdengar renyah dan penuh semangat. "Aku cuma mampir sebentar, nih, bawa sesuatu buat kamu."
Di tangannya, ada sepiring kukis dengan aroma mentega dan cokelat yang langsung menyeruak.
"Ini kukis buatan aku sendiri. Fresh from the oven!" katanya sambil mengulurkan piring itu ke arah Murni.
Murni tersenyum dan menerimanya dengan dua tangan. "Wah, makasih banyak, Mbak. Udah repot-repot banget," ucapnya tulus.
"Ah, enggak dong! Namanya juga tetanggaan, harus saling sapa dan kasih-kasih camilan begini," balas Aria sambil terkekeh kecil. Gayanya luwes, ringan, dan penuh energi yang menular.
Murni mengangguk pelan. "Masuk yuk, Mbak. Sekalian istirahat bentar."
"Serius boleh?" Seru Aria dengan mata berbinar. "Asyik juga bisa main ke sini akhirnya."
Mereka pun masuk ke dalam. Aria tampak antusias melihat-lihat sekeliling apartemen. Pandangannya menyapu ruangan dengan mata cerah, penuh rasa ingin tahu namun tetap sopan.
"Waah, cozy banget tempatmu! Aku suka nuansa lembutnya. Kamu yang pilih semua dekorasinya, ya?" tanyanya sembari tetap tersenyum.
Murni hanya tertawa kecil sambil menunjuk ke arah sofa. "Mbak duduk dulu ya, aku ke dapur sebentar."
"Oke sip!" sahut Aria santai, lalu duduk dengan nyaman di sofa. Ia menyandarkan punggung sambil menatap sekeliling, tampak benar-benar menikmati suasana kunjungan itu.
Tak lama kemudian, Murni kembali dari dapur sambil membawa sepiring bolu potong yang aromanya masih segar.
"Aduh, gak usah repot-repot, loh," ujar Aria, setengah kaget tapi tetap tersenyum lebar.
"Nggak apa-apa. Aku tadi pagi sempat bikin banyak. Pas banget Mbak Aria datang, bisa bantuin habisin," jawab Murni sambil duduk di sisi lain sofa.
Aria tergelak kecil. "Haha, ini sih rejeki anak baik ya namanya. Kukis bawa, bolu dapet. Deal yang adil!"
Percakapan yang awalnya canggung di antara mereka pun mulai mengalir lancar, beruntungnya Aria adalah tipe orang yang selalu berhasil menghidupkan suasana canggung di antara mereka.
.
.
.
Tanpa terasa, percakapan mereka yang berjalan hangat dan penuh tawa itu pun berlalu begitu cepat. Waktu seakan melaju tanpa disadari, hingga siang perlahan tergantikan oleh nuansa sore yang mulai merambat di balik jendela.
Jam di dinding nyaris menunjukkan pukul lima ketika bunyi notifikasi dari ponsel Aria terdengar nyaring. Aria yang duduk dengan posisi menyilang santai segera mengecek layarnya, lalu beralih menatap Murni dengan senyum kecil.
"Eh, aku kayaknya harus cabut nih. Mau ada urusan di luar," ucapnya sembari memasukkan ponsel ke dalam tas. "Makasih banyak ya, Murni. Udah nerima aku main ke sini. Dan bolumu… duh, enak banget!"
Murni tersenyum hangat. "Alhamdulillah, makasih, Mbak. Sama-sama, aku juga senang banget hari ini, akhirnya ada teman ngobrol," jawabnya tulus.
"Kalau begitu, aku pamit dulu ya," ujar Aria seraya berdiri. Murni ikut bangkit, dan mereka pun berjalan beriringan menuju pintu apartemen.
Namun begitu pintu dibuka, keduanya sontak terkejut.
Tepat saat Aria menarik daun pintu, dari arah luar tampak Kaan sedang mendorongnya untuk masuk. Gerakan mereka terhenti seketika, dan dalam sepersekian detik, tatapan mereka bertemu.
Kaan, yang baru saja pulang, menatap ke arah Aria dengan ekspresi datarnya yang khas, lalu mengalihkan pandangannya pada Murni.
Tanpa canggung, Aria menyunggingkan senyum cerahnya. "Sore, Pak Kaan!" sapanya lugas.
Namun, Kaan hanya mengangguk pelan, tanpa sepatah kata maupun senyuman balasan.
"Dadah, Murni. Sekali lagi makasih ya buat jamuannya." Ujar Aria sembari melambaikan tangan singkat sebelum melangkah pergi melewati lorong menuju lift.
Murni menutup pintu perlahan setelah sosok Aria menghilang dari pandangan. Ia menarik napas sejenak, lalu berbalik.
Kaan sudah melepas jasnya dan menaruh tas laptopnya di atas sofa. Pandangannya sempat tertuju pada meja ruang tamu, di mana tampak sepiring bolu yang tinggal separuh serta dua cangkir kosong yang belum sempat dibereskan.
Dengan sigap, Murni bergerak merapikan semuanya. Ia membawa sisa bolu dan cangkir ke dapur, sementara Kaan merebahkan dirinya ke sandaran sofa dengan gerak lelah yang tertahan.
Beberapa menit kemudian, Murni kembali dari dapur, kali ini dengan sepiring bolu yang baru ia potong. Ia meletakkannya dengan hati-hati di atas meja, tepat di depan Kaan.
"Mas mau minum apa? Teh atau kopi?" tanyanya pelan.
Kaan tak langsung menjawab. Ia menutup matanya sejenak, menarik napas panjang untuk meredakan rasa letihnya.
"...Kopi." Jawabnya akhirnya.
Murni mengangguk dan kembali berbalik menuju dapur, bersiap menyeduh segelas kopi untuk suaminya.
Tak berapa lama, Murni kembali dari dapur dengan membawa nampan berisi secangkir kopi hangat dan sepiring kukis. Dengan hati-hati, ia meletakkan nampan itu di atas meja, lalu mengambil cangkir kopi dan menyodorkannya ke depan Kaan.
"Ini kopinya mas, sama kukis dari mbak Aria." Ucap Murni sembari duduk di sisi lain sofa.
Kaan yang semula memejamkan mata, membuka matanya perlahan. Ia menegakkan posisi duduknya, lalu memandang ke arah meja. Sepiring kukis dan sepiring bolu coklat kini terhidang di hadapannya.
"Oh, ini bolu aku bikin tadi siang, mas," kata Murni, nada suaranya terdengar sedikit ceria.
Tanpa berkata apa-apa, Kaan mengambil sepotong bolu dan menggigitnya. Ia mengunyah perlahan, tetap diam tanpa menunjukkan reaksi berarti. Tak ada komentar, tak ada pujian seperti yang sempat Murni harapkan. Hanya keheningan yang menggantung di antara mereka.
Setelahnya, Kaan mengambil cangkir kopi dan menyeruput isinya perlahan. Lalu meletakkan kembali cangkir itu ke atas meja, sebelum akhirnya mengangkat tatapannya ke arah Murni.
"Tadi itu siapa?" tanyanya datar.
Murni mengerutkan dahi, merasa agak bingung dengan pertanyaan itu. "Tadi?" ulangnya pelan, "itu tadi mbak Aria. Mbak Aria yang sempat aku ceritain semalam, mas." Jawabnya ringan.
Mendengar itu, kini giliran Kaan pula yang mengerutkan alisnya.
"Aria?" batinnya, "bukannya Aria itu... seorang ibu-ibu seumuran ibu?"
Pandangan Kaan tetap mengarah pada Murni, tapi pikirannya seolah berkelana sendiri, menelaah nama yang terasa janggal dibandingkan dengan sosok perempuan yang tadi dilihatnya di depan pintu.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣