Hara, gadis perfeksionis yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan itu baru saja mengalami putus cinta dan memutuskan bahwa dirinya tidak akan menjalin hubungan lagi, karena menurutnya itu melelahkan.
Kama, lelaki yang menganggap bahwa komitmen dalam sebuah hubungan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, membuatnya selalu menerapkan friendzone dengan banyak gadis. Dan bertekad tidak akan menjalin hubungan yang serius.
Mereka bertemu dan merasa saling cocok hingga memutuskan bersama dalam ikatan (boy)friendzone. Namun semuanya berubah saat Nael, mantan kekasih Hara memintanya kembali bersama.
Apakah Hara akan tetap dalam (boy)friendzone-nya dengan Kama atau memutuskan kembali pada Nael? Akankah Kama merubah prinsip yang selama ini dia pegang dan memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Hara?Bisakah mereka sama-sama menemukan cinta atau malah berakhir jatuh cinta bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizca Yulianah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
An Unempathetic Man
Ddrrrtttt! Ddrrtttt! Ddrrrttt!
Hara yang baru saja sampai itu terheran-heran menatap layar ponselnya. Dia bingung harus menjawab panggilan tersebut atau tidak. Dia menoleh ke arah kanan, ke arah si penelepon yang duduk di sebelah mejanya.
Sinta Meja Sebelah calling...
Begitulah nama yang terpampang di layarnya, sementara si pemilik nama sedang melongok juga ikut melihat layar yang kini Hara tatap bergantian, bolak balik antara ponsel lalu ke Sinta.
"Cuma mau ngecek, lo nyimpen nama gue apa" Jawab Sinta acuh kemudian mematikan panggilan di ponselnya sendiri. "Spesifik banget loh padahal, tapi kenapa gue di panggil bu punopo sama ajeng?" Ujar Sinta yang lebih mirip bertanya ke dirinya sendiri daripada Hara.
"Sinta di kantor ini ada banyak" Jawab Hara santai, akhirnya paham dengan kelakuan aneh di pagi hari Sinta. "Kemarin itu bapak kost gue mau jodohin gue sama keponakannya, kebetulan banget lo telepon, jadi sekalian alasan kabur deh" Jelas Hara sembari menyalakan komputernya.
"Tapi kok pake bahasa planet" Tanggap Sinta yang kini sudah menghadap layar komputernya juga dan mulai mengerjakan laporannya.
"Kalau gue bilang dari temen katanya mereka nungguin, makanya gue bilang dari ibu, karena ibu kalau telepon lumayan lama" Mereka kini terlarut obrolan sembari menghadap ke layar komputer masing-masing.
"Pantesan" Sinta mengangguk-anggukkan kepalanya paham.
"Kok nggak telepon lagi?" Tanya Hara yang kali ini membuka jurnal dan mengecek jadwal hariannya.
"Ya abis gue kira lu kesambet, makanya nggak gue lanjutin"
"Memang lu ada perlu apa? Katanya si Nita lo kemarin nggak masuk"
"Nah itu dia alesan gue telepon, gue mau ngajuin cuti mendadak, kalau nggak ada acc dari lo atau bu Inggar SDM nggak nerima" Kali ini Sinta memutar tempat duduknya, menghadap ke arah Hara yang mulai serius menatap jurnal dan kalender di hadapannya. Mencocokkan antara rencana kerjanya dan rencana hariannya.
"Oh... Kenapa cuti?" Hara yang seharian kemarin memang sibuk antara pengadilan, meeting di luar dan kunjungan klien itu pun tidak tau kalau Sinta mengajukan cuti.
"Biasalah tamu bulanan, nyerinya parah, tapi sekarang udah ok" Geleng Sinta dan berbalik ke pekerjaannya. Kalau saja bukan Hara, mungkin dia akan kesal setengah mati karena merasa di acuhkan saat ngobrol. Tapi dia adalah Hara, yang kalau punya tangan sepuluh mungkin kesemua tangannya akan dia karyakan, intinya tidak boleh menganggur.
"Rugi amat tuh cuti cuma di pake sehari doang, nggak di pake semuanya aja sekalian" Balas Hara yang masih saja bolak balik antara jurnal dan kalender. Dan kemudian menyerah, jadwal hariannya sudah tidak muat lagi, terlalu padat.
"Gue mau kayak lo lah, ntar akhir tahun cutinya di rembes, lumayan banget duitnya. Gue lagi pengen beli sesuatu"
Namun percakapan biasa mereka harus terhenti oleh Amir, office boy, yang datang membawakan amplop coklat untuk Hara.
"Siapa yang ngirim Mir? Kok kosongan" Tanya Hara heran sembari membolak balikkan amplop tersebut, mencari tau siapa pengirimnya.
"Di anter langsung sama pak polisi bu katanya suruh langsung di sampaikan ke bu Hara, jangan yang lain" Jawab Amir dan kemudian pamit pergi.
"Oh" Hara yang langsung paham dengan penjelasan Amir tak lupa mengucapkan terima kasih sebelum Amir pergi. "Disuruh gojekin aja malah di anter sendiri" Gumamnya bingung.
"Apaan isinya? Kenapa kok yang nganter polisi?" Tanya Sinta penasaran.
"Stnk gue, kemarin gue ngurus tilang di pengadilan" Jawab Hara santai. Kemudian merobek amplop coklat itu dan mengeluarkan isinya.
"Kok ada duitnya?" Sinta yang semakin penasaran itupun menarik kursinya agar lebih mendekat ke arah Hara. Dia melihat tiga lembar kertas berwarna pink dan juga sebuah kartu nama milik Hara yang terselip di antara surat tanda nomor kendaraan milik Hara.
Pemilik paket itupun sama terkejut dan juga heran dengan dirinya. Dia melihat selembar kertas yang di lipat di antara semua barang yang dia ketahui sebagai miliknya.
Dengan penasaran dia membuka kertas catatan tersebut.
Gue bukan cowok yang butuh duit seperti yang lo pikirin. Tiga ratus doang harga diri lo? Kama.
Hara dan juga Sinta, yang ikut memanjangkan lehernya karena penasaran dengan isi surat itu, hanya bisa melongo dan kemudian saling lempar pandangan.
"Punya musuh lo?" Pertanyaan itu yang pertama kali meluncur dari Sinta demi melihat isi surat yang di lihat dari berbagai sudut manapun terdengar seperti sebuah surat pernyataan perang.
"Nggak tau" Hara hanya bisa mengedikkan bahunya, masih berusaha mencari korelasi antara surat tilangnya dengan Kama, polisi yang datang entah darimana untuk kemudian menawarkan membantunya.
"Nah itu kenapa suratnya begitu isinya?" Kejar Sinta masih ingin tahu.
"Nggak tau" Meskipun masih bingung dengan situasi yang ada, tapi Hara lebih memilih melanjutkan pekerjaannya. Urusan di luar itu akan dia pikirkan nanti.
...****************...
Rio bolak balik berdehem dan memindahkan posisi duduknya, mencari posisi ternyaman di tengah-tengah suasana canggung antara dirinya dan Kama yang saat ini hanya diam mematung. Tentunya dengan wajah di tekuk, kusut, dan masam.
Rio baru kali merasa tidak nyaman duduk dengan Kama setelah perpisahan yang sedikit tidak mengenakkan mereka kemarin. Dia terus saja bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya. Bingung memikirkan topik obrolan apa yang kiranya bisa mencairkan suasana.
"Har..." Baru saja Rio membuka mulutnya, wajah kusut nan masam milik Kama telah menoleh ke arahnya, kali ini di imbuhi dengan sedikit tatapan keras seolah menyiratkan nama Hara terlarang di sebut, membuat Rio tercekat. "Ri ini loh udah makan belum?" Rio melanjutkan kata-katanya yang terputus dengan bingung.
Mendengar nama Hara tidak tercantum dalam kalimat pertanyaan yang di lontarkan Rio, Kama kembali ke memalingkan wajahnya, yang masih kusut masam, menatap jalanan tempatnya bertugas. Mengawasi setiap pelanggaran yang mungkin terjadi.
Rio yang semakin bingung dengan tingkah sahabatnya itu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Menerka-nerka apa yang terjadi pada sahabatnya sampai harus memulai hari dengan wajah kusut seperti itu.
"Udah" Namun jawaban singkat dari Kama itu membuatnya kembali menegakkan badan. Memberikannya sedikit angin segar tentang hubungan canggung mereka. Sedikit lagi komunikasi sepertinya es batu ini akan mencair.
"Har..." Tapi, lagi-lagi, baru saja Rio membuka mulutnya, dia telah mendapatkan tatapan keras dari Kama. Kali ini lebih kesal dari sebelumnya. "Ri ini loh dapet jatah ngatur lalin di daerah Jl. Surodinawan kan?" Rio yang sudah sangat bingung dengan tingkah sahabatnya itu semakin tak enak hati. Kesalahan apa yang dia perbuat sampai-sampai harus mendapatkan tatapan mengerikan dua kali.
Namun, lagi-lagi, Kama yang tidak tertebak suasana hatinya itu memalingkan wajahnya. Semuanya serba lagi-lagi dan lagi.
"Iya" Jawaban singkat-singkat Kama sangat tidak membantu dalam mencairkan suasana, Rio yang semula optimis kini kembali ciut nyali. Rio menghembuskan napasnya perlahan, takut bahkan suara helaan napasnya mampu meledakkan emosi Kama yang tidak stabil.
"Har..." Kali ini sepertinya emosi Kama sudah mencapai ambang batasnya, terbukti dengan helaan napas kasarnya sebelum menoleh lagi, menatap wajah kebingungan Rio. "Ri ini lo mau dugem nggak?"
"Bisa nggak sih pertanyaan lo di mulai dari huruf lainnya, masih ada A,B,C yang nganggur tuh" Omel Kama pada akhirnya, meluapkan seperseratus dari nilai emosinya.
Rio yang langsung sadar semua ini karena huruf H itu pun akhirnya menghela napas lega. Setelahnya baru menahan tawanya agar tidak meledak.
"Har..."
"Sshhhh" Kama mendesis penuh kekesalan.
"Rusnya lo ngomong kek dari tadi" Kali ini Rio sudah lebih santai, dengan sedikit niat jahilnya.
"Berisik" Kama yang kali ini masuk dalam jebakan Rio itu menghela napas jengah. Pikirannya mengingat-ingat kenapa baru sepagi ini banyak sekali huruf H mampir di harinya.
Mulai dari papan pemberitahuan tentang Hati-hati ada proyek, lalu di susul dengan papan reklame harga promo di depan sebuah minimarket bermaskot lebah dengan warna biru dan kuning yang mendominasi. Dan di akhiri dengan hunian mewah di tengah kota? Kahuripan residence jawabannya.
Mulai hari ini dia membenci huruf H, dan sialnya "hari" ini pun di mulai dari huruf H.
Kama mengusak kepalanya dengan kasar. Dia telah menabuhkan genderang perang dengan nyata, tapi kenapa sama sekali tak bersambut? Apa gadis kampung itu tak mengerti? Bertambah lagi prasangkanya tentang Hara, selain angkuh, buta, dan sekarang bodoh.
Brengsek
Kama frustasi menghadapi makhluk satu itu. Terbakar rasa marahnya sendiri.
...****************...
"Makan siang" Sinta yang ada di sebelah Hara itu pun mencolek rekan kerjanya yang selalu saja sibuk dengan sambungan telepon dan layar komputer.
"Ok ok" dengan ibu jari dan telunjuknya yang menyatu Hara menjawab ajakan Sinta. Sekaligus meminta jeda waktu sebentar untuk menyelesaikan sambungan teleponnya.
Sinta yang dengan sabar menunggu kembali memandangi amplop berisi stnk juga uang serta kartu nama Hara yang telah kusut tak berbentuk, jelas sekali bekas seseorang yang mencoba meremas untuk kemudian membuangnya, terlebih lagi berisi surat yang berkonotasi penghinaan.
Dia penasaran apa yang sebenarnya terjadi sampai ada orang yang berbuat seperti itu kepada Hara.
Hara memang orang yang terkesan kaku, lurus, tapi bukan berarti dia orang yang menyebalkan. Menurut Sinta, Hara malah menjurus ke arah polos. Awal mula mereka berkenalan dan menjadi rekan kerja, Sinta sangat mengkhawatirkan kepolosan Hara. Bagaimana bisa dia tinggal di kota besar penuh dengan bermacam-macam orang dari segala penjuru daerah, bukan tidak mungkin dia akan menjadi korban penipuan.
Namun seiring berjalannya waktu, Sinta malah merasa malu. Dirinya yang pribumi asli kota besar itu, nyatanya harus lebih mengkhawatirkan dirinya sendiri daripada Hara. Bagaimana tidak, menghadapi klien yang terkadang resek saja dia tidak bisa bersikap profesional, dan Hara lah yang selalu berhasil menyelesaikan masalah dengan para klien tersebut.
"Akhirnya kelar juga" Hara meregangkan punggungnya, memutarnya ke kanan dan ke kiri, berharap mendapatkan sedikit bunyi retakan yang menimbulkan kenikmatan dari rileksnya otot-otot punggung.
Demi melihat Hara yang telah sangat sangat berkerja keras dan baik hati, Sinta tidak tega membayangkan ada orang yang mengibarkan panji perang padanya.
"Hara anak baik, Hara anak baik" Pungkasnya sembari merangkul pundak Hara dan menuntunnya ke arah pantry.
Suasana di pantry seperti biasa, selalu sepi dan hanya mereka berdua yang makan siang di sana. Kebanyakan para karyawan lebih memilih makan di kantin yang ada di lantai dasar, atau sekalian makan di restoran yang tersebar di sepanjang area gedung perkantoran ini.
"Jadi siapa yang ngirim begituan?" Tanya Sinta tanpa basa-basi saat mereka mulai menyantap makan siang.
"Kama" Jawab Hara santai.
"Kalau itu sih gue tau. Ada tulisannya kan" Menyuap sesendok salad sayur dengan taburan ayam suwir di atasnya. Tema makan siangnya kali ini adalah western.
"Padahal bukan dia loh yang ngurusin tilangan gue, kenapa bisa dia yang ngirim suratnya ya?" Pertanyaan dengan nada penyataan itu sepertinya di tujukan lebih kepada dirinya sendiri daripada Sinta yang kali ini sedang menyesali pilihan bekal makan siangnya, demi melihat nasi dengan ayam goreng mentega milik Hara.
"Terus kenapa jadi Kama?" Tanya Sinta asal, sulit berkonsentrasi dengan obrolan mereka. Godaan diet.
"Tau!" Hara mengedikkan bahunya, mengambil sepotong besar ayam dan memasukkannya ke mulut. "Ntar gue telepon deh orangnya" Lanjutnya dengan mulut penuh.
Uhuk, uhuk, uhuk!
Sinta mendadak tersedak demi mendengar penuturan Hara. Dia kenal siapa yang pengirimnya, dan masih bisa santai? Kalau itu dia, sudah barang pasti sedari tadi dia akan langsung menelepon pengirim paket bernada penghinaan itu dengan membalas salamnya menggunakan berbagai macam umpatan serta sumpah serapah yang dia ketahui kosa katanya. Kalau perlu dia akan membuka kamus dan mencari lebih banyak lagi kosakata-kosakata baru. Harga diri.
"Lo kenapa? Nggak hati-hati banget" Hara buru-buru menyodorkan botol minum milik Sinta dan membantu menepuk-nepuk punggungnya.
"Lo tau siapa yang ngirim tuh paket?" Tanya Sinta kaget setelah berhasil menguasai diri. "Dan lo diem aja?" Kali ini suaranya semakin meninggi. "Nggak beres deh lo. Nih ya, kalau itu gue, udah gue telepon tuh di Komo..."
"Kama" Ralat Hara cepat yang mendapat sambutan pelototan mata dari Sinta.
"Masih bisa lo ya benerin nama dia"
"Ya kan nggak sopan aja ganti-ganti nama orang seenaknya, orang tuanya yang kasih nama, kita harus menghormati"
"Aaarrrggg!!! Tau deh! Kesel banget lihat lo. Terlalu positif banget jadi anak. Memang lo nggak marah di gituin sama si Kama" Sembur Sinta.
"Ya kan gue nggak tau alasan dia kenapa begitu. Memang sih kemarin dia nawarin ngurus surat-suratnya, katanya gratis, cuma yang jadi masalah, harusnya Pak Rio yang ngirim, kenapa jadi ada di dia, apa pak Rio minta tolong ke dia atau gimana, itu yang gue nggak ngerti" Jelas Hara panjang lebar tentang unek-uneknya.
"Hara..." Sinta menghela napas kasar, berusaha menekan emosinya. "Nggak penting siapa itu Rio atau Kama, yang penting sekarang, lo harus tanya apa maksudnya dia dengan harga diri lo cuma tiga ratus ribu. Ok? Kalau perlu lo maki-maki tuh orang" Omel Sinta kesal.
"Ntar ajalah sepulang kerja, kalau sekarang bawaannya emosi gue. Tengah hari begini. Kalau udah pulang kerja lebih adem, mandi dulu, istirahat dulu" Acuh Hara sembari melanjutkan makan siangnya.
"Nggak!" Sinta menangkup kedua pipi Hara dan membuat mereka berhadapan, saling pandang. "Se.ka.rang! Biar gue bisa bantuin lo maki-maki tu orang. Lo tuh terlalu polos buat marah" Dengan masih berusaha meredam emosinya, Sinta meraih ponsel Hara yang ada di meja. Lalu menyodorkannya kepada Hara.
Tidak ingin memperpanjang masalah, Hara pun mencari di kotak masuk pesan yang di kirimkan oleh Kama, dan kemudian menekan dial. Tak lupa menyuruh Hara untuk mengaktifkan mode speaker.
Tuuut....tuuut...tuuut...tuuut
"Ya?" Suara bass di ujung sana terdengar malas dan menyebalkan.
"Pak Kama ya? Ini saya Hara yang kemarin ketemu..." Saat Hara ingin menjelaskan alasannya menelepon Kama sudah memotongnya.
"Cuma tiga ratus ribu, simpan aja buat kebutuhan makan lo. Hidup di kota besar beda dengan di kampung, lagian udah tugas gue juga mengayomi masyarakat, terlebih lagi yang lemah" Setelah kata-kata yang menyakitkan itu, Kama memutus panggilannya begitu saja.
Meninggalkan Hara dan Sinta yang melolong syok. Bagaimana bisa ada orang yang sangat bermulut tajam, kurang ajar, minim empati, dan sok seperti itu dan masih hidup pula.
kasih kesempatan sama Kama dong,buat taklukkin Hara😁😁
menjaga pujaan hati jangan sampai di bawa lari cowok lain🤣🤣🤣
Nggak kuat aku lihat Kama tersiksa sama Hara🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
aku bakalan nungguin kamu yang bucin duluan sama Hara😁😁😁
tiba-tiba banget Pak Polici kirim buket bunga pagi' 😁😁😁😁😁
tapi kenapa tiba-tiba Hara telp ya????