Demi membantu sahabatnya lepas dari jeratan perjodohan, membuat Eve harus berurusan dengan pria angkuh dan sombong bernama Arsen. Hidup Eve yang semula tenang mendadak hancur dalam waktu sebulan.
Arsen berhasil mengacaukan acara pernikahan Eve dan membuat wanita itu hamil. Hingga takdir mempertemukan mereka kembali. Rico, adik Arsen memperkenalkan Eve sebagai kekasihnya. Arsen semakin kalut saat mengetahui Eve adalah teman masa kecil sekaligus satu-satunya wanita yang ingin ia nikahi di usia dewasa.
Apa yang akan Arsen lakukan selanjutnya? Mampukah Eve memaafkan Arsen dan menepati janji masa kecil mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KidOO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Menemukan Jejak
Pagi yang sedikit mendung. Awan putih menggantung bak kembang gula. Cuaca sedang tidak cerah, sama seperti suasana hati Arsen. Pria dengan rahang tegas dan wajah tampan itu diam di mobil, memandang ke arah seberang jalan di mana sebuah toko swalayan berdiri.
Tujuannya bukan untuk belanja. Ia hanya ingin mengingat masa lalu, mengenang ketika area seluas tiga hektare itu masih milik panti asuhan Lentera Hati.
Hingga detik ini, anak buahnya belum memberi kabar. Arsen tidak buru-buru namun juga tidak bisa terlalu lama bersantai. Karena itulah saat panggilan yang ia tunggu masuk, pria itu segera menjawab.
"Ya? Bagaimana?"
"Saya baru mendapatkan alamatnya, Pak. Orang yang Anda cari tinggal bersama putrinya di pinggiran kota. Sayangnya beliau meninggal setahun lalu karena penyakit jantung."
"Beri aku alamat lengkapnya." Hanya itu yang Arsen katakan setelah terdiam selama beberapa detik.
Mobil hitamnya meluncur, melewati jalanan kota yang padat merayap. Kabar kematian Bu Windah cukup membuatnya kecewa. Seakan satu-satunya pintu yang ia tuju telah tertutup. Kini harapannya bergantung pada anak dari wanita yang Arsen ingat sangat ramah itu.
Empat puluh menit berkendara, pria itu memasuki kawasan perumahan kelas menengah. Rumah bernomor lima belas dengan cat lemon tak sulit ia temui. Arsen turun dan mendapati pintu pagar itu setengah terbuka.
"Cari siapa?" Belum sempat Arsen memencet bel yang terpasang di dinding pagar, wanita dengan pakaian rapi dan kacamata menyambutnya dari arah belakang.
"Aku ingin bertemu Nora," sahut Arsen sambil menoleh. Ia menebak jika itu adalah tetangga yang kebetulan lewat.
"Saya Nora. Ada perlu apa?" Wanita dengan tangan menenteng kantung belanja itu menatap Arsen.
Arsen juga melakukan hal yang sama, memindai wanita yang rasanya tidak asing. Dulu ia mengenal hampir semua anak panti itu, tapi tak benar-benar mengingat yang mana anak kandung Bu Windah.
"Halo?" Wanita bernama Nora itu melambaikan tangan di depan wajah Arsen.
"Perkenalkan, aku Arsen." Pria itu menawarkan tangan dan Nora memindahkan kantung dari tangan kanan ke kini sebelum menjabat.
"Bisa kita bicara sebentar tentang panti asuhan yang dulu Bu Windah kelola?" lanjutnya.
"Silahkan, Arsen." Nora mendorong pintu pagar dan masuk terlebih dulu.
Arsen mengangguk kala Nora memintanya masuk ke ruang tamu. Ruangan tiga kali empat itu rapi dan bersih. Dinding-dindingnya nyaris penuh dengan beberapa foto anak kecil, baik sendiri maupun berkelompok.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" Nora memulai percakapan setelah masuk untuk meletakkan barang belanjanya.
"Aku tidak yakin jika kau ingat denganku, tapi aku saat berusia sepuluh tahun aku sering datang ke panti."
"Ohh. Kau Arsen putra Tante Lilia. Hm, pantas saja aku merasa pernah melihatmu. Lalu kedatanganmu kemari untuk ...." Nora berhenti, seolah meminta Arsen melanjutkan kalimatnya.
"Sebelumnya aku minta maaf tidak datang saat Bu Windah telah meninggal. Aku baru mengetahui kabar itu pagi tadi," ucap Arsen dengan mata kelabu. Ia tidak berpura-pura kali ini.
"Santai saja, ibuku sudah lama sakit. Setidaknya sekarang ibu tidak merasakan sakit lagi," balas Nora dengan senyum simpul.
Arsen mengangguk kecil. Tatapannya beralih pada sederet foto di dinding. Dari tempatnya duduk saja ia bisa memastikan jika potret-potret itu adalah milik anak panti.
"Apa kebakaran waktu itu cukup parah?" Netra Arsen kembali pada Nora.
"Lumayan. Yang kuingat api itu berasal dari salah satu kamar dan dengan cepat menjalar ke ruangan lain. Untunglah tidak ada korban. Tapi ada beberapa anak yang terkena luka bakar." Nora mengubah posisi duduk. Percakapan ini membawa memori yang terasa masih segar di ingatan.
"Lalu di mana kalian pindah?"
"Ibuku menerima tawaran dari sebuah yayasan. Kami tinggal selama setahun dan keajaiban terjadi." Nora tersenyum namun sorot matanya menunjukkan kesedihan.
"Keajaiban apa?" Arsen bertanya lagi.
"Di tahun itu semua anak mendapat orang tua asuh. Ya, semuanya."
"Termasuk Nana?" Arsen tak bisa lagi menahan bibirnya untuk menyebut nama itu. Nama gadis kecil yang hingga saat ini sangat Arsen rindukan.
"Nana? Ohh, maksudmu Shena? Iya, dia juga diadopsi sepasang suami istri yang belum mempunyai anak," terang Nora.
'Shena. Ternyata namanya adalah Shena.' Arsen tersenyum sendiri sembari berucap dalam hati.
"Kau tahu siapa nama orang tua angkatnya?" Raut wajah Arsen menunjukkan semangat.
"Tidak, tapi mungkin aku bisa memeriksa di jurnal ibuku," jawab wanita itu.
Nora bangkit dan masuk ke ruangan lain. Begitu kembali, tangannya sudah membawa buku tebal bersampul hitam yang usang. Ia membuka beberapa halaman, berhenti sejenak dan membuka halaman lain.
"Pak Bagus dan Bu Ratih. Juga ada alamatnya. Tapi ini sudah delapan belas tahun yang lalu." Nora menggeser buku itu agar Arsen bisa melihatnya juga.
Bibir Arsen membentuk satu garis lengkung ke atas. Ia mendapatkan alamat Nana. Selangkah lagi, mereka akan bertemu. Si tuan muda mengira semua akan berjalan seperti yang ia inginkan.
**
"Mulai hari ini namamu adalah Evening Shena."
Eve tersenyum mengingat ucapan Pak Bagus di hari pertama pria itu membawanya pulang. Ia resmi menjadi bagian keluarga itu saat senja. Mungkin karena itu Pak Bagus memberinya nama Evening.
Senyum manis Eve perlahan memudar. Kini ia bukan lagi seorang putri. Tidak ada orang tua maupun keluarga untuknya.
Di tengah kesedihan yang melanda, Eve merasakan sentuhan hangat pada punggung tangannya. Seketika senyum Eve terlihat lagi, walau senyum formal yang mulai menjadi kebiasaannya.
"Eve? Apa apa, Sayang?" Nyonya Lilia menangkap gurat kesedihan di wajah calon menantunya.
"Bukan apa-apa, Bunda," respon Eve.
Nyonya Lilia mengangguk dan tidak bertanya lagi. Mereka kembali diam, menikmati panorama kota dari dalam mobil yang membawa mereka ke pusat perbelanjaan siang itu.
"Bunda seneng lho kamu mau ikut. Tapi kalau kamu capek, langsung bilang ya." Tanpa ragu nyonya besar menggandeng tangan Eve.
Dua wanita itu didampingi satu orang pelayan yang bertugas membawa barang belanja. Nyonya Lilia tak henti mengajak Eve mengobrol. Tentang makanan favorit hingga rencana membeli keperluan bayi.
"Sebentar, Eve. Kamu lanjut ke area buah ya. Jangan lupa buah kesukaan Rico," ujar Nyonya Lilia sesaat sebelum menerima telepon lalu menjauh.
Buah kesukaan Rico? Jangankan buah, ia bahkan tidak tahu apapun tentang pria itu. Eve melirik si pelayan yang tersenyum sopan padanya.
"Ehm, Tuan Rico bisanya suka buah apa?" tanya Eve.
Ekspresi pelayan itu sedikit berubah tapi ia tetap menjawab pertanyaan Eve. Dalam benak ia cukup terkejut jika calon istri Rico tak tahu hal sederhana macam itu.
"Tuan Rico suka apel fuji dan juga melon, Nona."
"Ohh. Ayo kita cari," ajak Eve sambil berjalan. Ia tak tahu jika sepasang mata sedari memperhatikan gerak-geriknya dan berniat mendekati tak lama kemudian.
"Eve!" panggil sebuah suara.
***
jodoh pasti bertemu dan gak pernah salah