SEASON 1!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading 🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERTEMU SANG KAISAR
Kaisar menatap putranya sekali lagi, kali ini dengan sorot mata yang lebih dalam, seolah mencoba membaca seluruh isi hati anaknya dalam satu lirikan.
“Jika saat itu datang,” ucapnya perlahan, “pastikan kau siap menanggung apa pun akibatnya. Karena kerajaan ini... tidak pernah memberi ampun bagi pengkhianat, bahkan jika darah mereka adalah darah kekaisaran.”
Petrus diam. Tapi di balik diamnya, rencana-rencana telah mulai tumbuh. Namun keraguan juga muncul.
Kakak kau sangat menyebalkan.
★★★★
Langit malam telah berganti jadi kelam yang benar-benar hitam. Tak ada bintang, hanya bulan separuh yang menggantung jauh di atas menara istana. Lentera batu menyala redup di sepanjang lorong utama, memberikan suasana yang tidak menghangatkan, hanya menyibak gelap agar langkah kaki tetap tahu arah.
Karin, guru tabib istana, menghampiri rombongan begitu mereka memasuki halaman utama. Wajahnya serius, napasnya tertahan begitu melihat luka-luka di tubuh para prajurit muda yang baru kembali dari hutan. Ada bekas panah, goresan, dan pakaian robek. Semuanya cukup untuk membuat jantungnya mencelos.
“Apa kalian baik-baik saja?” ucap Karin dengan suara nyaring, penuh kekhawatiran.
Matanya cepat menemukan dua sosok kecil di antara kerumunan. Fyona yang setengah tertidur di pelana, dan Daren yang duduk diam dengan darah kering yang menembus balutan kain. Mata Karin menajam, langkahnya langsung menuju ke sana.
“Kau terluka,” katanya cepat, menatap Daren tajam, “Ikut aku.”
Daren menggeleng pelan. “Aku sudah diobati Fyona.”
Karin, yang dikenal guru tanpa penolakandan tidak banyak toleransi, berlutut agar sejajar dengan wajah Daren, lalu berkata tanpa nada lembut, “Tidak ada penolakan. Kau harus ikut denganku.”
Tangannya langsung menggenggam lengan Daren. Daren menoleh cepat ke arah Kanel, seolah meminta perlindungan. Kanel hanya mengangguk pelan. Sebuah isyarat.
Percayalah.
"Fyona ayo." kata karin, pergi menuntun kedua gadis kecil itu.
Tabib-tabib lainnya sudah senior mulai memapah satu per satu prajurit yang terluka, membawa mereka ke ruang penyembuhan istana yang berisi aroma jamu dan uap herbal.
Di ruang perawatan Paviliun, Karin membuka balutan perban di tangan Daren dan membersihkan luka Daren tanpa banyak bicara. Ia terampil, cepat, dan tegas. Sesekali matanya melirik wajah Daren seolah mencoba membaca lebih dari sekadar cedera fisik.
Pengobatan selesai, Fyona mulai tertidur di sisi dipan, sementara Daren duduk diam, mengamati sisa darah di mangkuk air.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Seorang pria tua berambut putih dengan jubah biru keunguan masuk. Wajahnya tenang namun penuh wibawa. Tuan Alvarion, penasehat utama sang Kaisar.
“Anak itu,” katanya datar. “Dipanggil yang mulia Kaisar, sekarang.”
Daren membeku. Tubuhnya mendadak dingin.
“A-apa... kenapa?” gumamnya. Tidak berani bertanya keras-keras.
“Pesan langsung dari Kaisar. Ayo.” Suaranya tak memberi ruang untuk tawar-menawar.
Daren berjalan di belakangnya, langkah kecil tapi tegak. Di lorong, ia melihat gadis-gadis bangsawan memakai gaun indah dari sutra lembut. Anak laki-laki berpakaian pelatihan kerajaan, mengenakan sepatu bersih dan senyum penuh kepolosan.
Daren menunduk. Tidak iri. Hanya... asing.
Apa aku bisa... suatu hari memakai gaun seperti mereka?
Ia menepis pikiran itu. Tidak penting. Tidak perlu.
Mereka berhenti di depan pintu besar berukir lambang kerajaan Balderans. Dua penjaga membukanya perlahan, menampakkan aula kecil yang sangat mewah. Di dalamnya, hanya ada satu takhta batu dengan bantal merah darah, dan satu pria berjubah merah duduk diam di atasnya.
Kaisar Theron. Memiliki rambut kuning yang sama seperti Kanel dan warna mata yang sama seperti Gerald putranya
“Masuklah, Daren Virana,” ucapnya.
Daren masuk perlahan. Suara pintu tertutup di belakangnya terdengar seperti palu pemutus nasib.
Ia berdiri dengan lutut hampir gemetar. Menunduk tapi tak sujud.
Kaisar menatap anak itu lama. “Aku dengar kau membantu dan menyelamatkan putraku,"
Daren menelan ludah. “Saya hanya... melakukan apa yang saya bisa,"
“Gerald bukan sembarang anak. Banyak orang ingin dia mati. Termasuk... dari dalam istana ini sendiri.” Tatapan Kaisar menggelap. “Dan kau... dengan tubuh sekecil itu, berdiri di antara bahaya dan darahnya,"
Hening sejenak. Lalu Kaisar bersandar.
“Terima kasih,"
Daren menunduk ringan. “Ma-maaf kaisar, itu tidak perlu. Saya hidup, makan layak, itu sudah cukup. Tidak perlu ucapan terima kasih,”
Kaisar mendengus pelan. “Kau anak yang aneh, namun sangat terpuji,"
Daren tidak membalas.
Kemudian Kaisar berdiri perlahan, jubahnya menjuntai seperti bayangan malam. Ia berjalan mendekat, lalu meletakkan satu tangan di kepala Daren. Tidak penuh kasih, tapi tidak kejam juga. Seperti menandai sesuatu. Atau... mengenali.
“Kau akan menghadapi banyak hal, Daren Virana. Dunia di sini lebih bengis dari hutan mana pun, tapi aku yakin kau bisa melewatinya,"
Daren mengangguk pelan.
“Sekarang, kembali. Istirahatlah. Tapi bersiaplah. Hari esok... bukan milik orang yang lemah.”
Pintu dibuka.
Daren melangkah keluar dari ruangan megah itu dengan langkah pelan. Senyum kecil terukir di wajahnya, senyum bahagia karena untuk pertama kalinya, Kaisar mengakuinya. Namun, kebahagiaan itu menguap begitu saja saat ia melihat sosok Jenderal Aldren berdiri di koridor istana bersama seorang gadis yang mengenakan gaun mewah berwarna zamrud. Gadis itu lebih tua darinya, penampilannya kontras dengan Daren yang masih mengenakan pakaian latihan yang lusuh dan bercak darah yang mengering di bagian siku dan bahu.
Mereka melangkah mendekat. Tanpa sepatah kata, Jenderal Aldren menyenggol bahu Daren dengan kasar, membuat tubuh mungilnya terjatuh menghantam lantai marmer dingin. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada lirikan peduli. Hanya diam penuh superioritas.
Daren tak melawan. Ia tahu, itu bukan haknya. Ia hanya anak dari masa lalu yang dibuang dunia ini.
Saat ia mencoba bangkit, rasa sakit mendadak menjalar ke tangannya. Gadis itu anak sang jenderal.... yang angkuh menginjak jari-jarinya dengan sepatu keras berujung logam. Sekilas, terlihat senyum kecil di sudut bibirnya. Lalu mereka pergi, seolah yang mereka lakukan tak berarti apa-apa.
Daren menggenggam tangannya yang kini mulai membiru. Tapi ia tetap diam.
Dari kejauhan, Jaden menyaksikan semuanya. Hatinya menegang. Begitu pasangan ayah-anak itu berlalu, ia segera menghampiri Daren yang masih berusaha berdiri.
"Kai tidak apa-apa?" tanya Jaden dengan suara tenang, namun penuh khawatir.
Daren menoleh padanya dan mengangguk sedikit. "Tidak apa-apa," jawabnya tenang, meski suaranya terdengar rapuh.
Ia menunduk, tak berkata lebih. Rasa sakit bukan hal baru baginya. Ia sudah bersahabat dengan luka.
"Maaf, saya harus pergi sekarang." ujarnya singkat, lalu melangkah pergi, meninggalkan gemerlap istana yang tak pernah benar-benar menyambutnya…
Daren kembali ke barak, tempat di mana ia lebih memilih membentuk dirinya, daripada dihancurkan oleh penghinaan.