Terlahir dengan sendok emas, layaknya putri raja, kehidupan mewah nan megah serta di hormati menjadikanku tumbuh dalam ketamakan. Nyatanya, roda kehidupan benar-benar berputar dan menggulingkan keluargaku yang semula konglomerat menjadi melarat.
Kedua orang tuaku meninggal, aku terbiasa hidup dalam kemewahan mulai terlilit hutang rentenir. Dalam keputusasaan, aku mencoba mengakhiri hidup. Toh hidup sudah tak bisa memberiku kemewahan lagi.
[Anda telah terpilih oleh Sistem Transmigrasi: Ini bukan hanya misi, dalam setiap langkah, Anda akan menemukan kesempatan untuk menebus dosamu serta meraih imbalan]
Aku bertransmigrasi ke dalam Novel terjemahan "Rahasia yang Terlupakan." Milik Mola-mola, tokoh ini akan mati di penggal suaminya sendiri. Aku tidak akan membiarkan alur cerita murahan ini berlanjut, aku harus mengubah alur ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Tertangkap
Wanita itu juga tidak kalah hebat. Rupanya dia juga punya jurus pengelakan yang baik. Setelah terlepas dari kuncianku, dia mundur sampai ke ambang pintu. Dari tangannya, keluar kabut hitam dan unggu, aku sempat melihat wajahnya yang tersenyum sinis, sebelum ia melemparkan kabut itu ke arahku.
Mataku terpejam, merasakan sensasi angin melewati telingaku. "Eh?" Kenapa rasanya tidak sakit? Bukan hanya aku yang terkejut, penyihir itu juga menatapku dengan terheran-heran. Matanya membelalak, seolah tidak percaya sihirnya gagal.
"Apa yang terjadi?" Dia berguman, tidak percaya. Penyihir itu kembali mengeluarkan sihirnya, ia menyerangku dengan bertubi-tubi. Namun, seolah ada gelembung tak kasap mata melindungiku, sehingga ketika sihir itu hendak menyentuhku, langsung menguap di permukaan.
"Wahhh, sepertinya kau masih murid junior, ya?" Aku mengeluarkan permata yang di berikan Dominic lagi, mengarahkannya kepada penyihir itu. "Expelliarmus! Pim-pim-pom! Huh?" Permata itu tidak berfungsi sedikit pun, aku memukul-mukulnya, pun, tetap sama. "Apa benda ini rusak?"
"Rasakan ini!" Ketika hendak menoleh, mendadak kilatan cahaya ungu melintas di depanku, tak sempat mengelak, cahaya itu mengenai pipiku hingga berdarah. "Sepertinya aku harus mengeluarkan energi lebih besar, kau cukup hebat juga."
Aku menyeringai, memperlihatkan gusiku. "Begitulah, aku ini tidak—ah." Ucapanku terhenti ketika penyihir itu menyerangku lagi. Kali ini penyihir itu seperti hantu, menyerang dengan membabi buta. Bukan penyerangan jarak jauh dengan sihir, melainkan penyerangan langsung, melayangkan pukulan-pukulan menyakitkan.
Penyihir itu berhenti sejenak, ia mengeluarkan kabut yang lebih besar lagi di tangannya. Sudut bibirnya terangkat tipis, membuat seringai yang nyaris tak terlihat, namun sorot matanya jelas menampilkan cibiran. "Bagaimana dengan ini?!" Kabut hitam kental itu menyelimuti tubuhku, sensasinya panas dan perih. "Apa kau masih bisa mengoceh? Dasar bocah sialan! Kau membuang-buang waktuku di—"
Bunyi gemuruh hebat membuat kami berdua terdiam. Tanah menjadi bergetar, dan serpihan debu berjatuhan dari langit-langit, diikuti suara teriakan dan kegaduhan di luar sana.
Penyihir di depanku terlihat senang. Ia tertawa keras, air mata sampai keluar dari sudut matanya. "Apa kau mendengar?" Ia bertanya, nadanya terdengar seperti mengejek. "Ratu yang sebenarnya telah kembali, dan ini akan menjadi peringatan terakhir untuk manusia!"
"Apa yang kau maksud? Lepaskan aku dasar nenek sihir!" Aku terus meronta-ronta, tetapi, kabut hitam ini seolah semakin erat menyekik ku. "Sakit,"
"Pengkhianat seperti ini bahkan tidak layak untuk diinjak." Geramnya, matanya menyala dengan kemarahan mendalam. Ia dengan santai mengangkat tangannya, kabut hitam itu menjalar dari dadaku, mencekik leherku hingga kesulitan bernapas, turun perlahan ke bawah. "Kau harus mati di tanganku—ah,"
Pendar cahaya kuning keemasan memancar dari tanganku, saat aku tak sengaja menggeser sisi bros permata Dominic, membuat penyihir itu terpental karena cahaya dari tanganku memakan kabut miliknya. Saat aku terbebas, aku baru menyadari cara memakainya.
"Kau!" Penyihir itu berteriak marah.
Saat ia mengumpulkan sihirnya kepadaku lagi, aku memutar bros itu dan mengarahkannya kedepan, cahaya dari tanganku melebar dengan cepat, penyihir itu berteriak kesakitan dan akhirnya tumbang.
Aku mendekatinya, penyihir itu tergeletak tak berdaya. Mengambil busur silang di pungungku, mengambil ancang-ancang dengan menempatkan jariku pada pelatuknya. "Beritahu aku, apa rencana kalian," Ancamku.
Ia mendongak menatapku. "Waktunya sudah habis," Sebuah lubang hitam terbentuk di bawahnya, penyihir itu tertelan ke dalam dan menyisahkan debu berwarna unggu.
Pintu perpustakaan di dobrak dan terbuka, aku menyaksikan orang-orang terkejut sebelum menyeretku keluar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Waktu berjalan sangat cepat, aku bahkan tak menyadari jika sudah berpindah tempat.
Raja Caden berdiri di singasananya, ekspresinya bercampur aduk, antara sedih dan marah. Beberapa petinggi Albastar, pengawal yang berdiri sepanjang karpet merah, dan juga Caspian, semuanya berdiri tegap. Menyaksikan diriku, yang tengah terduduk bersimpuh di bawah singasana Raja. Posisiku begitu rendah, sampai semua orang bisa melihatku, dengan tatapan mengadili.
Aku tertangkap basah oleh Marquis bersama dengan pengawal Albastar. Kondisiku tidak bisa mengelak karena tengah membawa artefak sihir yang tengah berfungsi. Bahkan jika aku melakukan pembelaan, hanya dengan ucapan saja tidak akan di dengar.
"Kau—kau bawa kemana Ratu?" Suara Raja Caden serak, nadanya terdengar seperti sebuah ancaman kematian. "Jawab!"
Aku menunduk, meremas bajuku karena sangat gugup. "Saya... Juga tidak tau, Baginda." Tubuhku terasa lumpuh, bahuku merosot kebawah, lemas. "Bukan saya yang melakukannya, saya tidak tau apa-apa."
Raja Caden berdiri, ia melangkah cepat kearah ku, matanya menyala dingin. Bilah pedang melayang ke arahku, bunyi gesekannya memekakkan telinga. Aku mendongak ke atas, saat mataku dan mata Caspian bertemu beberapa detik, ada desiran aneh dalam darahku. Pria itu—menghalau pedang Raja Caden.
Tatapan Caspian beralih kepada Raja Caden, ekspresinya tumpul. "Anda tidak bisa menjatuhkan tuduhan tanpa bukti, Baginda."
Udara di dalam istana menjadi dingin, semua orang menjadi tegang dengan tindakan yang dilakukan Caspian. Keduanya memiliki tatapan dingin dan tajam, aura permusuhan terihat kuat dari kedua belah kubu.
"Turunkan pedang anda, Baginda, karena saya tidak mau ada pertikaian disini." Caspian memperingati.
Raja Caden menatapnya, ia menurunkan pedangnya dan tertawa kecil. "Bukankah kau seharusnya paham dengan perasaan terancam itu, Caspian? Aku juga hanya ingin melindungi kekasihku, sama sepertimu." Raja Caden mendengus pelan, aku bisa merasakan emosinya yang meluap. "Apa kau juga bersekongkol dengan kekasihmu?" Raja Caden mengarahkan pedang ke leher Caspian.
Aku sangat terkejut, mundur ke belakang.
Para pengawal dari kedua kubu saling mengancam dengan pedang mereka. Marquis mendekat dan melayangkan pedangnya pada Raja Caden, begitu juga Ajudan Albastar yang mengancam Caspian. Sementara pedang Caspian, masih mengarah kebawah.
"Jika kau terlibat, aku akan dengan mudah menggantikan posisi Grand Duke mu, dan merebut Solara Terras." Ujar Raja Caden.
Aku melihat tangan Caspian memegang erat gagang pedangnya. Urat-urat nadi di tangannya menegang, seolah siap memberikan tantangan.
Aku segera mencegahnya, bersimpuh di bawah kaki Raja Caden. "Tidak, Grand Duke Aston tidak terlibat apapun itu, anda hanya harus menyalahkan saya, Baginda.... " Aku mendongak menatap Raja Caden. "Saya siap jika harus di selidiki," Kataku.
Caspian menegang, ia menatapku dengan nyalang. "Diamlah, Winola.... "
Aku menggeleng, "Grand Duke Aston tidak terlibat apapun," Lirihku. "Tolong jangan libatkan siapapun, Baginda."
Ujung mata Raja Caden berkedut, ia menurunkan pedangnya, semua orang melakukan hal yang sama. Ia berbalik, jubahnya yang menjuntai, menyeret lantai. "Bawalah dia untuk di selidiki,"
jelek
/Curse//Curse/ngambil kesempatan dalam kesempitan