Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 : Diam Yang Menghancurkan
Awalnya Samantha mengira ini hanya pelarian sejenak. Leonard butuh waktu sendiri, mungkin ke luar kota, mungkin ke tempat temannya, mungkin hanya sekadar menghindari kenyataan yang terlalu berat untuk dihadapi. Tapi hari ketiga datang, dan pagi menjelang dengan keheningan yang membuatnya merasa tercekik.
Dia duduk di sisi ranjang, tempat kosong di sebelahnya masih dingin. Bantal Leonard tak tersentuh, aromanya samar, hampir menghilang. Dan untuk pertama kalinya setelah semua kesibukan, kebohongan, dan kebisuan, Samantha menangkap sesuatu yang menghantam lebih dalam daripada rasa bersalah, kerinduan.
Ia merindukan Leonard.
Merindukan suara beratnya di pagi hari yang biasanya mengeluh karena kopi terlalu pahit. Merindukan tawa pelannya saat menonton film dokumenter yang selalu membuat Samantha mengantuk. Merindukan tangan hangat yang dulu tak pernah ragu menggenggam jemarinya, bahkan ketika Samantha sendiri terlalu lelah untuk membalas.
Rasa itu tumbuh perlahan, seperti luka yang baru terasa perih setelah terbuka.
Hari itu, Samantha memberanikan diri menyusuri tempat-tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Kafe kecil di ujung jalan tempat Leonard biasa membaca sambil menyeruput espresso. Tak ada jejak. Ia menanyakan pada pelayan, tapi tak ada yang melihat Leonard beberapa hari terakhir.
Ia mencoba menelepon teman-teman lama suaminya, tapi sebagian besar menjawab dengan nada ragu, ada yang belum mendengar kabar sama sekali, ada pula yang hanya tahu bahwa Leonard sedang mengalami tekanan berat, tapi tak tahu ke mana perginya.
Samantha mulai resah, tapi bukan karena surat-surat tagihan atau ancaman finansial yang kini menumpuk di meja makan. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi. Takut Leonard benar-benar menghilang. Atau lebih buruk lagi… tak ingin ditemukan.
Di sore yang dingin itu, Samantha berdiri di trotoar yang lengang, menatap layar ponselnya yang sunyi, dan untuk pertama kalinya sejak semua kebohongan ini dimulai, hatinya benar-benar terbuka, ia ingin Leonard kembali. Bukan sebagai pelarian dari Nathaniel, bukan untuk membenarkan kesalahan, tapi karena di balik semua luka dan kebohongan, Leonard adalah rumah yang perlahan ia hancurkan sendiri.
Dan kini ia takut rumah itu runtuh… untuk selamanya.
...****************...
Hujan tipis turun ketika Samantha kembali ke mobilnya, jaketnya basah, dan pikirannya kabur oleh ribuan kemungkinan. Ia membuka dasbor, mencari-cari tanpa tujuan jelas, dan di sanalah ia menemukan sesuatu. Sebuah kartu nama, lusuh dan sedikit lembap, dengan nama sebuah bar di pinggiran kota yang pernah Leonard sebut beberapa bulan lalu. Tempat itu biasanya menjadi pelarian saat ia ingin sendiri.
Samantha menatap kartu itu cukup lama sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil dan melaju menembus rintik hujan.
Bar itu terletak di daerah yang agak sepi, temaram oleh lampu jalan yang tak semua menyala. Plang neon berkedip lemah di atas pintu masuk. Dari balik kaca jendela yang buram oleh embun, Samantha bisa melihat beberapa sosok duduk membungkuk di meja, tenggelam dalam dunia mereka sendiri.
Ia masuk dengan ragu, aroma alkohol dan kayu tua langsung menyambutnya. Pandangannya menyapu seisi ruangan, dan di sudut terdalam, nyaris tak terlihat, ia menemukannya.
Leonard.
Lelaki itu duduk membelakangi ruangan, mengenakan hoodie gelap yang basah di bagian bahu. Di depannya, botol bir yang sudah kosong dan gelas yang hanya berisi sisa busa. Wajahnya tertunduk, rambutnya berantakan, dan ada kantung hitam di bawah matanya.
Samantha menahan napas. Beberapa langkah diambilnya, pelan, seolah takut suara langkahnya bisa mengusir lelaki itu pergi.
"Leonard…" suaranya hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membuat bahu lelaki itu menegang.
Ia menoleh, perlahan.
Tatapan mereka bertemu. Ada kejutan, ada luka, tapi juga kelegaan samar yang sulit dijelaskan. Leonard tak mengatakan apa pun. Hanya menatap Samantha seakan mencoba memastikan bahwa itu benar-benar dia, bukan halusinasi akibat terlalu banyak minum.
Samantha menarik napas dalam, menahan gemetar yang menyergap.
"Aku… mencarimu," katanya. Lirih.
Leonard hanya menatap, matanya merah, bukan karena marah, tapi karena terlalu lama memendam beban tanpa tempat menumpahkan.
Dan saat itu juga, tanpa banyak kata, mereka saling tahu, masih ada yang tersisa. Entah harapan, entah penyesalan. Tapi cukup untuk membuat mereka berdiri di tempat yang sama… malam itu.
...****************...
Samantha menarik kursi di depan Leonard dengan perlahan, duduk tanpa mengatakan apa-apa untuk beberapa saat. Hanya suara hujan yang terdengar dari balik kaca, dan lagu lawas yang mengalun lirih dari radio tua di sudut bar.
Leonard menatap gelas kosongnya. "Apa kamu ke sini karena surat-surat itu?" suaranya berat, serak karena kelelahan dan alkohol.
Samantha menggeleng. "Aku ke sini karena aku khawatir. Dua hari, Leonard. Kau bahkan tak mengangkat telepon."
Leonard tertawa kecil, getir. "Aku tidak ingin menjawab. Aku… tidak tahu harus bilang apa. Apa gunanya menjelaskan pada seseorang yang sudah tak peduli?"
"Jangan bilang begitu." Samantha menggigit bibir, menahan rasa bersalah yang menggumpal di tenggorokan. "Aku peduli. Sangat peduli."
Lelaki itu menatapnya untuk pertama kali malam itu, tatapan yang langsung menelanjangi isi hatinya. Luka, kekecewaan, dan… cinta yang belum juga padam.
"Peduli?" Leonard mengangkat alis. "Lalu kenapa rasanya seperti aku sudah jadi orang asing di rumah sendiri? Kau bahkan tak mau kusentuh, Sam. Aku kehilangan pekerjaanku, kehilangan semua yang aku bangun, dan yang kulihat setiap hari hanya punggungmu yang sibuk menghadap layar, tak pernah benar-benar hadir bersamaku."
Samantha menunduk, matanya mulai basah. "Aku merasa kotor, Leonard. Aku merasa tak pantas berada di sampingmu. Aku… terlalu banyak berbohong."
Leonard diam. Nafasnya berat, jemarinya mengetuk permukaan meja pelan.
"Ada yang ingin kau ceritakan padaku?"
Pertanyaan itu menggantung di udara. Samantha tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Leonard dengan mata penuh luka, seolah ingin berteriak dan memuntahkan semua yang selama ini dipendam. Tapi bibirnya hanya bisa bergerak lemah, tak ada satu pun kata yang berhasil lolos.
Leonard menggeleng pelan. "Aku tak akan memaksamu. Tapi jujurlah, Sam. Kalau kau ingin pergi, kalau kau sudah tidak ingin bersamaku lagi… katakan saja. Aku bisa menanggung apa pun, asal jangan kebohongan."
Samantha menghapus air mata yang jatuh tanpa suara. Ia meraih tangan Leonard, menggenggamnya erat.
"Aku masih di sini, karena aku mencintaimu. Tapi aku juga... takut, Leon. Takut semuanya akan runtuh begitu aku jujur. Takut kehilanganmu."
Leonard menatap tangan mereka yang saling menggenggam. Dalam hatinya, masih ada cinta. Tapi luka juga menuntut ruang.
"Kau tak akan kehilangan aku, Sam. Yang membuat kita hancur… bukan kejujuran. Tapi diam."
Hening kembali merayap di antara mereka. Namun tak lagi terasa dingin. Barangkali itu bukan akhir, mungkin justru awal dari keberanian untuk menghadapi semuanya bersama.