NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

Malam pengakuan itu mengubah segalanya. Aku terbangun keesokan paginya dengan perasaan yang belum pernah kurasakan selama berbulan-bulan: ketenangan. Bukan ketenangan karena masalah telah selesai, tapi ketenangan yang datang dari pemahaman. Beban berat di pundakku terasa sedikit lebih ringan, bukan karena hilang, tapi karena sekarang aku tahu aku tidak memikulnya sendirian.

Aku tidak lagi melihat diriku sebagai korban tak berdaya yang terjebak dalam takdir buruk. Aku adalah seorang pemain dalam sebuah drama rumit, dan aku baru saja diberi informasi krusial tentang alur ceritanya. Informasi ini adalah senjataku. Dan aku berniat menggunakannya.

Perubahan pertama dimulai dari diriku sendiri. Pagi itu, aku tidak lagi bersembunyi. Aku keluar dari kamar dan dengan sengaja bergabung di meja makan untuk sarapan. Kehadiranku yang tiba-tiba membuat Ayah dan Ibu terkejut.

"Pagi, Yah, Bu," sapaku, suaraku terdengar lebih ceria dari biasanya.

"Pagi, Nak," jawab Ayah, menatapku dengan tatapan menyelidik. Ibu hanya tersenyum tipis, masih waspada.

Tak lama kemudian, Kak Binar muncul, mendorong Mas Danu yang berjalan di depannya. Pemandangan yang biasa: sang suami setia melayani istrinya yang "rapuh". Kak Binar tampak segar, senyum kemenangan masih terukir di wajahnya. Dia pasti berpikir rencananya untuk membuatku terpojok telah berhasil tadi malam. Dia mengharapkan aku muncul dengan mata bengkak dan wajah muram.

"Pagi semua," sapanya riang. Matanya langsung tertuju padaku, mencari tanda-tanda kehancuran. Ketika ia tidak menemukannya, senyumnya sedikit memudar. "Wah, tumben sekali kamu sarapan bareng, Arin. Ada angin apa?"

"Hanya merasa lapar pagi ini, Kak," jawabku santai sambil mengoleskan selai ke rotiku. Aku sengaja menghindari menatap Mas Danu, tapi aku bisa merasakan tatapannya tertuju padaku.

"Oh ya, Mas," kata Kak Binar, mengalihkan perhatian kembali pada suaminya, mencoba menegaskan kembali dominasinya. "Nanti siang jadi kan kita ke dokter? Mengecek hasil lab yang kemarin."

"Jadi, Sayang," jawab Mas Danu.

"Bagus," kata Kak Binar, lalu melirikku lagi. "Kita harus pastikan semuanya sempurna. Program ini harus berhasil di percobaan pertama. Iya, kan, Arin?"

Dia menembakkan peluru pertamanya hari itu, sebuah pengingat publik tentang "tugasku". Dulu, pertanyaan seperti ini akan membuatku bungkam dan malu. Tapi tidak lagi.

Aku menatapnya langsung, senyum tipis tersungging di bibirku. "Tentu saja, Kak. Kita semua pasti berharap yang terbaik. Tapi, kalau boleh jujur, aku sedikit khawatir."

Alisku yang berkerut pura-pura cemas berhasil menarik perhatian semua orang. "Khawatir kenapa, Nak?" tanya Ibu.

"Aku baca beberapa artikel semalam," aku memulai kebohonganku yang telah kupersiapkan. "Katanya, tingkat stres yang tinggi pada... ehm... 'calon ibu', sangat mempengaruhi keberhasilan pembuahan."

Aku sengaja menggunakan istilah klinis untuk membuatnya terdengar lebih valid.

"Stres karena tekanan, ekspektasi yang terlalu tinggi, atau suasana rumah yang tidak kondusif... itu semua bisa menghambat, lho, Bu," lanjutku sambil menatap lurus ke arah Kak Binar. "Jadi, mungkin ada baiknya kita semua, terutama aku, mencoba untuk lebih rileks. Tidak terlalu terburu-buru. Biarkan semuanya berjalan alami. Demi hasil yang maksimal, tentunya."

Pukulan telak. Aku baru saja menggunakan logikanya—"demi keberhasilan program"—untuk melawan senjatanya sendiri. Aku mengubah posisiku dari objek yang harus "berhasil" menjadi subjek yang kondisinya harus "dijaga".

Wajah Kak Binar berubah pias. Dia tidak bisa membantah argumenku karena itu terdengar sangat masuk akal dan "demi kebaikan bersama". Jika dia memaksakan kehendaknya, dia akan terlihat egois dan tidak peduli pada "hasil".

"Arin... ada benarnya juga," kata Ayah pelan, tampak lega karena ada alasan logis untuk menunda ketegangan.

"Betul itu," sahahut Mas Danu dengan cepat, mendukungku. "Dokter juga selalu bilang, pikiran harus tenang. Tidak boleh stres. Mungkin kita tidak perlu terlalu kaku dengan jadwal, Binar. Yang penting, kita semua nyaman."

Kak Binar terjebak. Dia menatapku dengan tatapan membunuh, tapi di depan semua orang, dia tidak punya pilihan selain tersenyum kecut. "Iya... iya, tentu saja. Maksudku juga begitu. Ketenangan Arini adalah yang utama."

Babak pertama dimenangkan olehku.

Sejak hari itu, aku mulai mengubah taktikku secara total. Aku tidak lagi menghindari mereka. Sebaliknya, aku justru sengaja "hadir". Aku ikut mengobrol di ruang keluarga. Aku menawarkan diri membantu Ibu di dapur. Aku bahkan sesekali bertanya pada Kak Binar tentang butiknya.

"Gimana koleksi baru di butik, Kak? Laku keras?" tanyaku suatu sore saat ia sedang membaca majalah fashion.

Dia menatapku dengan curiga. "Kenapa tiba-tiba kamu peduli?"

"Tidak boleh?" Aku tersenyum. "Aku kan adikmu. Aku hanya penasaran. Siapa tahu aku bisa bantu promosi di media sosialku. Teman-temanku kan banyak yang suka fashion."

Tawaran "bantuan" ini membuatnya bingung. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons. Di satu sisi, menolak tawaranku akan membuatnya terlihat sombong. Di sisi lain, menerimanya berarti membiarkanku masuk ke dunianya.

Perlahan tapi pasti, aku mulai mengambil alih narasi. Aku tidak lagi membiarkan diriku didefinisikan olehnya. Aku menunjukkan bahwa aku punya kehidupanku sendiri, teman-temanku sendiri, dan aku tidak terpengaruh oleh drama yang coba ia ciptakan.

Konflik kami tidak lagi berupa ledakan amarah, melainkan perang dingin yang dimainkan dengan kecerdasan dan sindiran halus.

"Arin, kamu kelihatan lebih ceria sekarang, ya," katanya suatu hari, nadanya manis tapi matanya tajam. "Apa karena sudah mulai... 'berdamai' dengan tugasmu?"

"Bukan, Kak," jawabku sambil tersenyum. "Aku hanya sadar, hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan meratapi hal-hal yang tidak bisa kuubah. Lebih baik fokus pada hal-hal yang bisa membuatku bahagia. Seperti pekerjaanku, teman-temanku... hal-hal yang benar-benar milikku sendiri."

Kata-kataku adalah sebuah pernyataan kemerdekaan. Aku mengatakan padanya bahwa kebahagiaanku tidak lagi bergantung pada situasi di rumah ini. Dan itu membuatnya semakin frustrasi.

Hubunganku dengan Mas Danu juga memasuki fase baru yang rumit. Kami tidak pernah lagi membahas pengakuannya malam itu. Seolah-olah ada kesepakatan tak terucap untuk menyimpan kebenaran itu di antara kami berdua. Tapi kesadaran itu mengubah cara kami berinteraksi.

Kami menjadi sekutu dalam diam. Kami saling bertukar pandang penuh pengertian di meja makan saat Kak Binar mulai melancarkan sindirannya. Dia akan mendukung argumenku secara halus, dan aku akan menciptakan pengalihan isu saat Kak Binar mulai memojokkannya.

Suatu malam, saat aku sedang mengerjakan proyek di laptop di ruang keluarga, dia duduk di sofa yang sama, menjaga jarak, juga sibuk dengan laptopnya.

"Butuh kopi?" tawarnya tiba-tiba.

"Boleh, Mas," jawabku.

Dia kembali dengan dua cangkir kopi. Dia meletakkan satu di dekatku. "Aku buat tidak terlalu manis. Seperti yang kamu suka."

Lagi-lagi, perhatian kecil itu. Tapi kali ini, aku tidak lagi merasa bingung atau bersalah. Aku hanya tersenyum tulus. "Makasih, Mas."

Kami bekerja dalam keheningan selama hampir satu jam. Keheningan yang nyaman. Saat itulah Kak Binar turun dari kamarnya, mengenakan gaun tidur sutranya. Dia berhenti di ambang pintu, menatap kami berdua yang duduk di sofa yang sama, diterangi cahaya laptop masing-masing. Pemandangan itu mungkin terlihat seperti pasangan suami-istri normal yang sedang bekerja berdampingan.

Wajahnya langsung mengeras. "Mas Danu? Kukira kamu sudah mau tidur?"

"Sebentar lagi, Sayang. Masih ada email yang harus dibalas," jawab Mas Danu tenang.

"Kenapa harus kerja di sini? Kan bisa di ruang kerja? Atau di kamar?" tanyanya, jelas-jelas terganggu dengan kebersamaan kami.

"Di sini lebih santai. Lagipula, Arini juga sedang kerja. Jadi sekalian saja," jawab Mas Danu, sengaja menyebut namaku.

Kak Binar berjalan mendekat, berdiri di antara aku dan Mas Danu, seolah mencoba memisahkan kami secara fisik. "Ya sudah, cepat selesaikan. Aku nggak bisa tidur kalau kamu belum di sampingku."

Dia kemudian menatapku. "Dan kamu, Arini. Jangan terlalu malam tidurnya. Ingat, kamu harus jaga kesehatan. Demi... yah, kamu tahu lah."

Dia kembali menggunakan "program" itu sebagai senjata untuk mengusirku. Tapi kali ini, aku sudah siap.

Aku menutup laptopku dengan tenang. "Kakak benar. Sudah malam. Aku juga sudah selesai." Aku bangkit berdiri. "Selamat malam, Kak, Mas."

Aku berjalan melewatinya tanpa memberinya kepuasan melihatku tersinggung. Tapi sebelum aku benar-benar pergi, aku berhenti dan berbalik.

"Oh ya, Kak," kataku dengan nada ringan. "Soal program itu. Aku rasa, kita tidak perlu terlalu khawatir. Kalau memang sudah takdirnya, pasti akan terjadi, kok. Yang penting kan niat baik kita semua untuk saling membahagiakan. Iya, kan?"

Aku menatapnya lekat, lalu menatap Mas Danu, lalu kembali menatapnya. Aku sengaja menggunakan kata "saling membahagiakan", sebuah konsep yang jelas tidak ada dalam kamusnya. Aku menunjukkan bahwa aku tidak lagi melihat ini sebagai kewajiban sepihak.

Tanpa menunggu jawabannya, aku berjalan menuju kamarku. Aku bisa merasakan tatapan marahnya yang seolah ingin menusukku dari belakang.

Malam itu, di dalam kamarku, aku tersenyum. Untuk pertama kalinya, aku merasa memegang kendali. Aku tidak lagi melawan dengan amarah atau air mata. Aku melawannya dengan ketenangan, kecerdasan, dan kebahagiaan yang kusengaja. Aku menunjukkan padanya bahwa aku tidak bisa dihancurkan.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu bagaimana hubunganku dengan Mas Danu akan berkembang. Tapi satu hal yang pasti, titik balik telah terjadi. Arini si korban telah mati. Yang ada sekarang adalah Arini yang akan berjuang untuk merebut kembali hidupnya, sepotong demi sepotong. Dan perang ini, masih jauh dari kata selesai.

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!