NovelToon NovelToon
Cinta Terlarang Dengan Abang Tiri

Cinta Terlarang Dengan Abang Tiri

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Cinta Terlarang / Cintapertama
Popularitas:39.1k
Nilai: 5
Nama Author: mama reni

“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”

Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.

Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.

Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.

Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab Sebelas

Pagi itu berjalan cepat bagi Kevin. Setelah kejadian yang nyaris membuat jantungnya copot tadi, ia memaksa dirinya kembali fokus. Dunia bisnis ayahnya bukan tempat bagi orang yang mudah goyah, apalagi hanya karena urusan pribadi. Maka, begitu ia sampai di kantor, semua ekspresi gelisahnya sudah ia tutup rapat.

Gedung perusahaan itu berdiri megah di pusat kota. Dinding kaca berkilau, mencerminkan sinar matahari pagi yang mulai menanjak. Logo “Robby & Co. Development” terpampang besar di depan lobi, nama yang sudah puluhan tahun menjadi jaminan kepercayaan di dunia properti.

Kevin melangkah cepat menuju lift. Setiap pegawai yang lewat menyapanya dengan hormat. “Pagi, Pak Kevin.” “Selamat pagi, Pak.”

Ia hanya membalas dengan senyum tipis dan anggukan kecil. Dalam hati, dia belum sepenuhnya tenang. Bayangan wajah Mama Ema saat pagi tadi masih membekas di kepalanya, pandangan penuh kecurigaan itu membuatnya terus merasa waswas.

Begitu sampai di lantai atas, Kevin langsung menuju ruang rapat besar. Timnya sudah berkumpul. Di meja depan, proyektor sudah menyala, menampilkan presentasi besar dengan judul, 'Proyek Surabaya Skyline Residence'.

Ia menarik napas dalam, berdiri tegak. Semua mata tertuju padanya. “Baik, kita mulai,” ucap Kevin mantap.

Selama satu jam penuh, Kevin memaparkan rencana kerja, strategi pemasaran, pembagian anggaran, dan desain proyek dengan tenang dan penuh percaya diri. Ia menjelaskan setiap slide dengan detail, setiap pertanyaan dijawab tanpa ragu. Bahkan klien dari Surabaya yang awalnya tampak kaku, perlahan menunjukkan ekspresi kagum.

Saat presentasi selesai, ruangan itu hening sesaat, lalu tepuk tangan bergemuruh.

“Luar biasa, Kevin,” ujar salah satu direktur senior yang sudah lama bekerja dengan ayahnya. “Kamu benar-benar siap nerusin perusahaan ini.”

Kevin hanya tersenyum sopan. “Terima kasih, Pak. Tapi ini hasil kerja tim juga.”

Tak lama setelah itu, klien menandatangani kontrak tender besar itu di hadapan mereka. Semua orang bersorak kecil, beberapa staf bahkan saling menepuk punggung. Kevin bisa melihat ekspresi bangga dari Papa Robby yang berdiri di ujung meja.

Setelah semua orang keluar, hanya mereka berdua yang tertinggal di ruang rapat itu. Papa Robby duduk bersandar di kursinya, tangan kirinya memutar pulpen, sedangkan tangan kanannya menunjuk kursi di depan.

“Duduk, Kev.”

Kevin menurut, duduk dengan posisi tegak. Suasana mendadak berubah tenang, tapi tegang.

“Aku bangga sama kamu,” ucap Papa Robby akhirnya. “Presentasimu tadi luar biasa. Cara kamu menangani pertanyaan-pertanyaan mereka, bahkan direktur utama dari Surabaya itu sampai nyerah debat sama kamu. Hahaha.” Ia tertawa kecil, tapi matanya tetap tajam.

Kevin tersenyum kaku. “Terima kasih, Pa. Aku cuma berusaha ngelakuin yang terbaik.”

“Dan kamu berhasil,” sahut Papa Robby cepat. “Sekarang, perusahaan ini, secara resmi udah aku percayakan ke kamu.”

Kevin menatapnya, sedikit terkejut. “Maksud Papa?”

Papa Robby mencondongkan tubuh. “Aku mau istirahat dulu dari urusan bisnis. Udah terlalu lama aku kerja tanpa berhenti. Mama kamu juga udah sering ngomel minta aku lebih banyak di rumah. Jadi, mulai hari ini, semua urusan kantor, proyek, laporan, meeting, klien, semuanya kamu yang pegang.”

Kevin sempat kehilangan kata. “Tapi ... Pa, ini tanggung jawab besar. Aku masih ....”

“Masih muda? Justru itu alasannya,” potong Papa Robby. “Kamu punya semangat dan kepala dingin. Sesuatu yang dulu aku punya waktu seumur kamu. Sekarang giliran kamu yang buktiin kalau kamu bisa lebih baik dari aku.”

Kevin menunduk, berusaha menahan rasa gugup yang kembali muncul. “Terima kasih, Pa. Aku akan jaga kepercayaan Papa.”

Papa Robby hanya tersenyum kecil, lalu berdiri, menepuk bahu putranya. “Aku tahu kamu bisa. Tapi ingat, Kev ... jangan pernah lakuin sesuatu yang bisa bikin aku marah. Sekali aja kamu buat kesalahan besar, kepercayaan ini nggak akan aku kasih lagi.”

Nada suaranya berubah serius, membuat Kevin refleks mengangguk cepat. “Aku ngerti, Pa.”

“Bagus,” ucapnya. “Sekarang aku pamit dulu. Ada urusan pribadi sore ini. Kamu lanjut aja di kantor sampai semua beres.”

Kevin mengangguk, meski hatinya mulai bertanya-tanya. Papa-nya jarang pergi di jam kerja kecuali untuk hal yang penting. Tapi ia tak menanyakan apa-apa, hanya menunduk hormat ketika sang ayah meninggalkan ruangan.

Sepeninggal ayahnya, Kevin menatap jendela besar ruang rapat yang menghadap ke arah kota. Dari sini, gedung-gedung tinggi tampak kecil, jalanan ramai seperti urat-urat kehidupan yang terus bergerak.

Ia menarik napas panjang. “Jangan sampai kecewain Papa,” bisiknya pada diri sendiri.

Sore berganti malam.

Lampu-lampu kota mulai menyala, memantul di kaca mobil Kevin yang melaju pelan menuju rumah. Ia baru keluar dari kantor pukul delapan malam, setelah memastikan semua berkas tender aman dan proyek bisa langsung dijalankan minggu depan.

Ketika mobilnya memasuki halaman rumah, ia sempat mengerutkan kening. Di depan garasi, terparkir dua mobil asing, satu sedan hitam mengilap, satu lagi SUV putih dengan plat luar kota.

Kevin menurunkan kaca mobilnya sedikit, memperhatikan. “Siapa ya?” gumamnya. Biasanya, kalau ada tamu, Mama Ema akan memberi tahu lewat pesan. Tapi kali ini tidak ada kabar apa pun.

Ia mematikan mesin dan keluar. Lampu-lampu taman menyala lembut, menerangi jalur menuju pintu utama. Dari dalam rumah terdengar samar suara percakapan, laki-laki dan perempuan. Nada suaranya terdengar formal tapi hangat, seperti sedang menjamu tamu penting.

Begitu ia membuka pintu, aroma khas masakan rumahan langsung menyambutnya. Wangi sop ayam dan teh melati memenuhi udara.

“Papa, Mama?” panggilnya pelan sambil menurunkan tas kerja.

Dari arah ruang keluarga terdengar suara Papa Robby. “Kevin, ke sini dulu.”

Kevin berjalan masuk. Ruang keluarga mereka memang luas, dengan sofa putih melingkar dan lukisan besar di dinding. Di sana, duduk sepasang suami istri berpenampilan rapi, lelaki beruban dengan jas cokelat muda dan wanita anggun dengan perhiasan kalung mutiara di lehernya.

Di samping mereka, duduk seorang pemuda sekitar usia Kevin, mungkin dua atau tiga tahun lebih muda. Wajahnya tenang, posturnya tegap, mengenakan kemeja biru navy dan celana bahan. Tatapannya ramah tapi mantap, tipikal orang yang percaya diri dan tahu apa yang ia mau.

Mama Ema menyambut Kevin dengan senyum lembut, memberi isyarat agar ia duduk di sebelahnya. “Kevin, sini nak, kenalan dulu.”

Kevin sedikit bingung, tapi menuruti. Ia duduk di ujung sofa, berhadapan langsung dengan ketiga tamu itu.

Papa Robby yang sejak tadi terlihat santai menegakkan tubuhnya. “Kevin, ini Pak Hendra dan Bu Ratih,” ucap Papa Robby memperkenalkan. “Mereka teman lama Papa waktu kuliah di Bandung dulu.”

Kevin tersenyum sopan dan menjabat tangan keduanya. “Senang bertemu, Pak, Bu.”

Pak Hendra membalas dengan hangat. “Papa kamu sering cerita tentang kamu, Kev. Katanya kamu sekarang yang pegang perusahaan ya?”

Kevin tertawa kecil. “Baru hari ini, Pak. Jadi masih belajar.”

“Hahaha, semangat itu yang penting,” sahut Pak Hendra ramah.

Bu Ratih ikut menambahkan, “Papa kamu dulu anak yang paling ambisius di kampus. Sekarang anaknya juga kelihatan begitu ya.”

Kevin hanya mengangguk sopan. Tapi matanya sempat melirik ke arah pemuda di sebelah mereka—yang dari tadi duduk tenang sambil menatapnya dengan senyum kecil. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu, entah rasa ingin tahu atau semacam sikap menilai.

“Oh iya, Kev,” Papa Robby menepuk lututnya pelan. “Kenalin juga ini Shaka.”

Pemuda itu tersenyum dan mengulurkan tangan. “Hai, aku Shaka.”

Kevin menjabatnya, mengangguk sopan. “Kevin.”

Shaka menjawab dengan nada ringan, “Aku udah sering denger tentang kamu dan Davina.”

Nama itu sontak membuat Kevin sedikit kaku. Ia menatap Shaka dengan cepat, lalu menatap ayahnya. “Davina?”

Papa Robby tersenyum kecil, tapi kali ini ekspresinya lebih serius. “Iya, Kev. Shaka ini ... calon tunangan Davina.”

Udara di ruang itu seolah berhenti sesaat.

Kevin terpaku. Senyumnya yang tadi hangat langsung pudar. “Tunangan ... Davina?” ulangnya pelan, seperti memastikan apakah telinganya tidak salah dengar.

Mama Ema menatap suaminya, kemudian memandangi Kevin dengan raut hati-hati.

“Papa baru mau bilang ke kamu malam ini,” ucapnya lembut. “Rencana pertunangan Davina sama Shaka ini udah dibicarain dari beberapa waktu lalu. Keluarga Shaka datang buat ngobrolin tanggalnya.”

Kevin berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, tapi ada sesuatu di dadanya yang terasa bergetar aneh, antara bingung, canggung, dan entah apa.

Pak Hendra ikut bicara, suaranya penuh semangat. “Kita memang udah lama sahabatan sama keluarga Robby. Jadi waktu Shaka pulang dari Jepang, kami pikir nggak ada salahnya kami meneruskan janji dulu yang akan menjodohkan keduanya."

Kata-kata yang keluar dari bibir Pak Hendra tak begitu jelas terdengar. Dia masih cukup terkejut. Kevin lalu memandangi Davina. Adik tirinya itu hanya menunduk. Sepertinya dia tak menolak perjodohan ini.

1
Ida Nur Hidayati
tanda tanda kamu hamil Davina...
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
Sri Gunarti
di gangung 🤦‍♀️
Sri Gunarti: gantung
total 1 replies
Teh Euis Tea
hebat kevin wlupun jauh dia databg untuk tangung jawab, masalah hrs di tanggung ber2, jgn takut kevin davina apapun resikonya kalian jgn menyerah
shenina
pinisirinn... lanjut mam..
Ervina Ardianto
Apa ini novel alurnya mau dipercepat ya?
🌷Vnyjkb🌷
👍👍gitu dong, mslah d hadapi brsma, jgn ada drama davi pergi, atau ortu yg campur tangan berlebihan, malah bikin kusut mslah
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak
Nar Sih
seperti nya bnr kmu hamil vina,dan mungkin ini awal dri penderitaan mu juga jauh dri kevin ,moga aja dia tau klau kmu hamil dan mau tanggung jwb
Mutia
Davina apa bodoh, gak tau resiko bakal hamil...
anju hernawati
tetaplah tegar davina dengan apa yang sudah terjadi padamu ......
olyv
woww menyalah mama tiri 🔥🫢👊
sunshine wings
Testpack dulu Davina dan kasi tau keputusannya pada bang Kevin kemudian pikirkan solusinya sama² ya sayang.. ❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
Pasti bang Kevin akan tanggungjawab..
sunshine wings
Apa Davina hamil ya? ❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
jangan sampe menyesal papa..
sunshine wings
Kok gitu sih pa.. Dengan mengorbankan perasaan dan kebahagiaan anak².. Fahamilah biar sedikit daripada papa kehilangan dua²nya sekaligus..
sunshine wings
Nikahkan aja pa..
sunshine wings
bikin iri aja bang 😍😍😍😍😍
sunshine wings
❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
Pagi bang.. Melting salting Davinanya.. 🥰🥰🥰🥰🥰
sunshine wings
Udah tau itu salah Davina ya betulkan jalannya.. Jangan hanya ikutkan hawa nafsu semata.. Sabar ya bang Kevin dan Davina pasti dimudahkan urusannya kalo ikut jalan yg betul.. 💪💪💪💪💪❤️❤️❤️❤️❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!