Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang surat untuk Sari
Air dingin dan berlumpur menghantam Bian dengan kekuatan yang mematikan. Ia terhempas, tergulung-gulung di antara batu-batu sungai, kehilangan Liontin Tumbal, dan hampir kehilangan kesadaran. Hal terakhir yang ia ingat adalah wajah sedih Arwah Sari sebelum banjir bandang menelan mereka.
Ketika Bian membuka mata, ia mendapati dirinya terdampar di tepi sungai, di hamparan pasir dan kerikil. Tubuhnya sakit di setiap inci. Di sampingnya, Tiara batuk-batuk keras, memuntahkan air lumpur. Lilin Hitam dan ransel mereka hilang.
"Tiara! Kau baik-baik saja?" Bian merangkak mendekat, memeluk istrinya.
"Ya... tapi... Liontinnya hilang," Tiara berbisik, suaranya parau. "Liontin itu dan Lilinnya... semuanya hilang."
Mereka kehilangan kompas mereka, kunci pembebasan Sari, dan inti kutukan Mbah Pawiro. Mereka kini benar-benar kosong, tetapi setidaknya, mereka selamat dari banjir.
Bian memeriksa sekeliling. Mereka berada di area hutan yang lebih terbuka, ditandai dengan banyak pohon bambu dan tanah yang lebih kering.
Saat Bian mencoba berdiri, ia melihat Jaga yang tergeletak beberapa meter di depannya, di antara akar-akar bambu. Jaga, yang tubuhnya bebas dari kendali Mbah Pawiro berkat air yang disucikan dan dipadamkannya Lilin, kini hanya seorang pria tua yang terluka parah.
Bian dan Tiara bergegas menghampiri Jaga. Pria besar itu membuka matanya, dan untuk pertama kalinya, matanya tampak jernih, bebas dari bayangan.
"Liontin..." bisik Jaga, napasnya tersengal-sengal. "Kunci... Sari... harus bebas."
"Liontinnya hilang, Jaga. Hanyut di sungai," kata Bian, frustrasi.
Jaga menggeleng keras, seolah menolak takdir. Ia mengulurkan tangannya yang gemetar, menunjuk ke arah celah di antara rumpun bambu yang lebat.
"Kakek... Pranoto... Aku bukan hanya penjaga janji. Aku... adalah saksi janji itu. Liontin itu hanya kuncinya. Yang Sari butuhkan adalah... Cinta Sejati."
Jaga berbicara dengan susah payah, setiap kata adalah perjuangan.
"Aku tahu... di mana kakekmu... menyembunyikan cintanya... dan surat untuk Sari. Tempat yang paling gelap... di mana kebahagiaan mereka seharusnya bersemayam."
Jaga memejamkan mata, mengumpulkan sisa tenaganya, dan berbisik satu kata yang jelas:
"Gua... Bunga Abadi..."
Jaga kemudian menunjuk ke arah rumpun bambu itu, lalu menunjuk ke Liontin Tumbal yang hilang di sungai.
"Carilah... batu yang merindukan... Sari..." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Jaga ambruk, nafasnya terhenti.
Jaga, si penjaga bisu yang jujur, telah menggenapi janjinya kepada Pranoto dan kini beristirahat selamanya.
Bian dan Tiara berdiri dalam keheningan yang menyakitkan. Mereka tidak punya waktu untuk berduka. Mereka harus menemukan "Gua Bunga Abadi" itu.
Mereka mengikuti petunjuk Jaga, menyusup ke rumpun bambu. Setelah berjalan selama lima belas menit, mereka menemukan sebuah bukit kecil yang tampak seperti gundukan tanah yang diselimuti oleh akar-akar bambu. Di puncak bukit itu, terdapat celah sempit yang mengarah ke bawah, sebuah gua.
Mereka menyalakan senter. Gua itu kecil, kering, dan suasananya damai, berbanding terbalik dengan teror yang mereka hadapi. Di tengah gua, di atas sebuah altar batu kecil, Bian melihat sebuah kotak kayu yang sangat tua, diletakkan di samping sebuah batu nisan sederhana yang di atasnya tidak tertulis nama, hanya tanggal 30 September.
"Ini pasti Gua Bunga Abadi," bisik Tiara. Di atas kotak kayu itu, tergeletak setangkai bunga kering yang tampak diawetkan sempurna, seolah bunga itu tidak pernah mati.
Mereka membuka kotak kayu itu. Di dalamnya, ada sebuah cincin pernikahan perak dan sepucuk surat yang telah menguning, ditulis dengan tulisan tangan Kakek Pranoto.
Bian membaca surat itu, suaranya tercekat:
......Sari, cintaku. Aku lari bukan karena pengecut. Aku lari untuk mencari cara membatalkan sumpahmu. Aku tahu Pawiro akan mengorbankanmu, dan aku menyembunyikan peti besi itu di kota agar kau tidak terikat pada tanah Desa Raga Pati. Aku gagal. Aku tidak bisa menyelamatkanmu. Liontin itu adalah lambang pernikahan kita. Aku menyembunyikannya di tanah Raga Pati, yang dikutuk, berharap kau akan mencarinya sebagai istriku, bukan sebagai Tumbal... Maafkan aku, Sari. Temukanlah cinta sejati di tempat ini....
Bian dan Tiara tersentuh oleh pengakuan dosa Pranoto. Surat itu adalah Cinta Sejati yang dimaksud Jaga. Surat itu adalah penebusan janji.
Saat Bian mengangkat surat dan cincin itu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di luar gua. Bukan langkah Jaga yang terseret, melainkan langkah kaki yang rapi, perlahan, dan terorganisir.
"Kami sudah menemukan kalian," suara dingin dan familiar itu menggema dari luar, bukan suara Mbah Pawiro, tetapi suara Pak Rahmat, Kepala Desa.
Kepala Desa Rahmat, kini berdiri di mulut gua, memegang parang. Di belakangnya, berdiri tiga pria desa yang mengenakan jubah hitam.
"Pak Rahmat? Anda di sini?" tanya Bian, bingung.
Kepala Desa Rahmat tersenyum pahit. "Tentu saja, Nak Bian. Kami tahu Liontin itu dan Lilin itu akan kembali ke sumbernya. Dan aku tahu kau akan menemukan Gua Bunga Abadi. Aku adalah orang yang paling bertanggung jawab di desa ini."
Tiara menyadari kebetulan yang mengerikan. "Anda! Anda adalah Rekan Kakek Pranoto yang tidak percaya takhayul! Anda yang menyimpan Lilin itu!"
Pak Rahmat mengangguk. "Ya. Aku adalah kaki tangan yang tidak percaya yang disebut Pranoto. Aku menyimpannya di peti besi. Aku percaya padanya, tetapi aku tidak percaya pada Kutukan. Aku mengira itu hanya dongeng. Tapi, begitu Lilin itu kembali menyala, aku tahu aku harus memilih pihak."
Pak Rahmat menunjuk Lilin Hitam. "Kini aku telah menemukan lilin itu. Aku menemukannya di tepi sungai, di mana kalian meninggalkannya. Dan Mbah Pawiro yang sekarang adalah bagian dari Lilin telah menunjukkan kepadaku kebenaran yang lebih besar."
Pak Rahmat maju, matanya dipenuhi keyakinan fanatik. "Mbah Pawiro tidak mati. Ia sekarang ada di Lilin, dan ia telah memberiku kekuatan. Aku yang sekarang adalah Juru Kunci yang baru. Dan aku membutuhkan darah keturunan Pranoto untuk mengikat Arwah Sari selamanya dan mengakhiri kekacauan di desa kami."
Bian dan Tiara menyadari bahwa mereka telah berlari dari Mbah Pawiro yang dirasuki Jaga, hanya untuk berlari ke Kepala Desa Rahmat yang dirasuki Mbah Pawiro melalui Lilin Hitam.
"Kau tidak bisa mengikat Sari!" teriak Bian. "Dia pantas bebas! Kakekku menulis surat penebusan ini!"
Bian menunjukkan surat Pranoto.
Pak Rahmat tersenyum jahat. "Cinta Sejati? Kau pikir surat itu bisa membebaskannya? Tidak. Surat itu hanyalah pemancing yang membawanya kembali ke tanah ini. Liontin itu hilang, dan sekarang, kau akan menjadi tumbal terakhir untuk mengikat Sari padaku!"
Pak Rahmat memberi isyarat. Para pengikutnya maju, memegang tali dan parang.
Tiara tahu mereka harus membebaskan Sari menggunakan surat ini. Tiara merobek surat itu menjadi dua bagian.
"Jika kau ingin Sari, kau harus menerima Cintanya!" teriak Tiara.
Saat Tiara hendak melempar potongan surat itu ke Api Suci di sungai yang kini telah padam karena banjir, Pak Rahmat berteriak histeris.
"Ambil itu! Jangan biarkan dia membakar surat itu!"
Para pengikut Pak Rahmat menyerbu. Bian mendorong Tiara menjauh.
Saat Bian jatuh, ia menabrak batu nisan tanpa nama di Gua Bunga Abadi.
Tiba-tiba, dari dalam batu nisan itu, terdengar suara lirih dan sangat sedih:
"Di mana kamu, cintaku... Aku menunggumu di sini..."
Itu adalah suara Sari.
Bian menyadari bahwa Gua Bunga Abadi adalah tempat Sari dikuburkan, dan batu nisan itu adalah tempat rohnya bersemayam.
Saat suara Sari terdengar, Arwah Sari muncul di gua, kini wujudnya padat dan muram. Ia tidak menyerang, tetapi ia menatap surat Pranoto yang dipegang Tiara.
"Surat itu milikku!" raung suara Mbah Pawiro dari mulut Pak Rahmat.
Pak Rahmat berlari ke arah Tiara. Tepat saat ia hendak meraihnya, sesosok bayangan hitam yang sangat cepat melintas di mulut gua, menyerang Pak Rahmat.
Itu adalah Lilin Hitam yang terlepas dari tangan Pak Rahmat!
Lilin itu berguling cepat, memasuki gua, dan menggelinding ke arah batu nisan Sari.
Dan yang paling mengejutkan, di atas batu nisan, sebuah liontin tulang yang sama dengan Liontin Tumbal, tiba-tiba muncul di permukaan batu nisan, bersinar.
Lilin dan Liontin Tumbal baru saja bertemu di kuburan Sari!
Dan mereka menyadari kebenaran yang mengerikan, Liontin yang hanyut di sungai adalah palsu. Liontin yang asli selalu berada di kuburan Sari, menunggu untuk disatukan kembali dengan kutukan.
Saat Lilin Hitam menyentuh Liontin Tumbal yang asli, api hijau meledak, menelan seluruh Gua Bunga Abadi!
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"