Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertempuran Emosional
Oasis Azhar. Surat jaminan atas hak perairan di oasis Azhar.
Kalimat itu menembus dinding pertahanan mental Yasmeen, menjatuhkan semua strateginya.
Ia telah siap melawan tawaran uang, tuntutan aset non-vital, atau bahkan sanksi, tetapi bukan jalur kehidupan Nayyirah sendiri.
Mustafa tersenyum puas, seolah ia baru saja meluncurkan belati langsung ke ulu hati Sayyidah kecil itu.
Namun, jika ada satu hal yang ia pelajari dari kehidupan lalu, itu adalah bagaimana menyembunyikan keterkejutan. Rasa takut, kepanikan, dan amarah luar biasa itu disaring menjadi ketenangan beku dalam hitungan detik.
Yasmeen mencondongkan tubuh sedikit, memegang tepi meja dengan tangan yang bergetar nyaris tak terlihat.
“Al-Sharif Al-Mustafa,” suaranya sangat rendah, seolah ia berbicara dari dasar sumur.
“Saya tidak mengerti maksud Anda. Sayyid Zahir, Ayahanda saya, tidak memiliki otoritas hukum untuk menyerahkan kendali atas aset vital Emirat.”
“Oh, tapi beliau melakukannya, Sayyidah,” sahut Mustafa, tawa sinisnya meluas.
“Sebagai wali dan suami mendiang Emirah, otoritasnya bersifat sementara, ya, tetapi ketika berhubungan dengan janji kompensasi kepada Kekaisaran, janji itu mengikat secara spiritual. Tepat di sinilah janji itu tertulis.”
Mustafa menepuk gulungan di sampingnya. “Penyerahan administratif, tentu saja, hanya berlaku hingga Yang Mulia dewasa. Setelah itu, perjanjian ini bisa kita negosiasikan ulang.”
Negosiasikan ulang, pikir Yasmeen getir. Setelah mereka membangun pos militer di sana dan memasang pagar. Itu tidak bisa ditarik kembali.
Oasis Azhar bukan sekadar sumber air, tetapi merupakan kunci pertanian Nayyirah. Jika Oasis jatuh ke tangan sekutu Hazarah, seluruh ekonomi akan lumpuh, dan Nayyirah akan menjadi budak pangan Kota Agung, persis seperti yang terjadi sepuluh tahun kemudian di kehidupan lalunya.
“Penyerahan administrative, atau penyerahan kepemilikan penuh?” tanya Yasmeen tajam.
“Hanya administrasi dan kontrol atas aliran irigasi utama, yang ditransfer kepada Perusahaan Air Kekaisaran,” jawab Mustafa dengan pura-pura acuh.
“Jangan khawatir, Sayyidah. Itu hanya memastikan Nayyirah tidak kekurangan air, dengan imbalan... layanan. Anda harus tahu, mengulur waktu dari Permaisuri adalah tindakan yang sangat mahal.”
Mustafa berdiri, seolah diskusi ini sudah selesai. “Saya akan menunggu tanggapan formal dari Anda mengenai dokumen tersebut hingga malam hari. Sampai jumpa lagi, Emirah kecil.”
Mustafa membungkuk dangkal, mengambil gulungan itu, dan meninggalkan Aula Penerimaan, diiringi rombongannya. Suara sepatu bot mereka bergema keras, seperti palu yang menghantam paku terakhir di peti mati Nayyirah.
Keheningan kembali ke ruangan itu. Tariq melangkah maju, raut wajahnya sama gelapnya dengan badai gurun.
“Sayyidah,” katanya dengan suara tercekat, “ini pengkhianatan di tingkat tertinggi. Ayah Anda… dia menjual darah kami.”
Yasmeen, masih duduk di singgasana besar itu, mengepalkan tangan kanannya begitu erat hingga kuku-kuku jarinya menusuk telapak tangannya.
Rasa sakit fisik itu membantunya fokus. Jika ada setetes saja rasa kasih sayang yang tersisa untuk Sayyid Zahir, rasa itu kini menguap tak bersisa.
“Khalī Tariq, segera cari Wazir Khalid. Saya ingin semua dokumen yang berkaitan dengan alokasi tanah, irigasi, dan konsesi di Oasis Azhar dikumpulkan di sini. Jangan lewatkan sehelai kertas pun,” perintah Yasmeen, nadanya tak lagi diplomatis, tetapi sangat otoriter.
“Amankan pula semua jurnal perjalanan Zahir, surat-menyurat dengan ibukota sejak Jaddī sakit, dan semua perjanjian rahasia yang pernah ia tandatangani atas nama Nayyirah. Ini adalah perburuan.”
“Baik, Yang Mulia. Tapi jika kita menuduh Zahir menjual aset, bukankah dia akan membantah dan mengirim surat kepada Sultan?” tanya Tariq.
“Biarkan dia membantah,” kata Yasmeen dingin. “Reputasinya sudah tercabik oleh skandal racun Ruqayyah dan penangkapan Faris yang dituduh mencuri. Tidak ada Wazir atau rakyat yang akan mempercayai seorang pria yang hampir meracuni putrinya sendiri.”
Ia menatap Tariq dengan tatapan tajam. “Saya akan tunjukkan pengkhianatannya secara terbuka di depan para pejabat, bukan di belakang pintu tertutup. Sekarang, pergi.”
Dua jam kemudian, Yasmeen duduk di Ruang Perpustakaan yang remang-remang, dikelilingi tumpukan gulungan perkamen, diapit oleh Tariq dan Wazir Khalid yang kelelahan dan penuh amarah.
“Ini dia, Yang Mulia,” kata Wazir Khalid, suaranya gemetar saat ia menunjuk ke sebuah dokumen konsesi yang samar. “Kami menemukan surat bayangan. Sayyid Zahir membuat janji ini bukan melalui administrasi formal Emirat, tetapi melalui perjanjian dagang dengan keluarga Al-Muntasir di Kota Agung. Keluarga Al-Muntasir dikenal sebagai sekutu utama Permaisuri Hazarah. Ini adalah janji penjualan, yang akan berlaku efektif begitu beliau—Sayyid Zahir—dipastikan memimpin Emirat sementara, atau segera setelah Anda meninggalkan Nayyirah.”
Tariq menggebrak meja dengan tinjunya. “Harga yang tertulis hanya setetes uang. Uang receh dibandingkan dengan nilai air itu!”
“Tentu saja, Tariq,” kata Yasmeen, melingkari perjanjian itu dengan jemarinya.
“Ini bukan tentang uang. Ini tentang kontrol. Zahir hanya ingin Kekaisaran membersihkan jalan baginya, mengambil saya pergi, dan memberinya hak untuk mengatur di Nayyirah tanpa campur tangan, sampai Emirat ini kering.”
Khalid menundukkan kepalanya, wajahnya malu. “Kami tidak pernah menduga beliau bisa melakukan hal serendah ini, Yang Mulia. Air Oasis adalah darah kita.”
“Lalu kita harus menunjukkan kepada Nayyirah betapa murahnya darah kita dijual,” kata Yasmeen. Ia berdiri, sutra hijaunya tampak begitu mencolok di tengah kertas-kertas usang. “Bawa Sayyid Zahir kemari. Bawa dia dalam keadaan yang paling... menyedihkan. Dia akan menghadapi persidangan pertamanya, sekarang.”
Ketika Zahir diseret ke dalam Ruang Perpustakaan oleh dua pengawal, Tariq dan Khalid, wajahnya sudah penuh amarah yang kental dengan ketakutan. Penahanan rumah tangganya selama satu hari telah mengikis kepercayaan dirinya, dan dia tahu Yasmeen sedang bergerak menuju pukulan mematikan.
Zahir berjuang dari pegangan para pengawal. “Lepaskan aku! Kalian semua tidak punya hak! Aku Ayah Sayyidah, aku pemimpin rumah tangga ini! Apa yang kalian lakukan adalah pemberontakan!”
Ia berhenti saat melihat Yasmeen. Anak itu berdiri tegak di balik meja, diselimuti aura ketenangan yang mengancam, seolah ia adalah dewi penghakiman.
“Duduklah, Abī,” kata Yasmeen, isyarat tangannya singkat dan tanpa emosi.
Zahir menolak duduk, ia menunjuk Yasmeen dengan jari telunjuk yang gemetar.
“Kau sudah gila, Yasmeen! Kau mengacaukan rencana yang aku buat demi keselamatanmu! Mustafa datang untuk membawamu pergi dan melindungimu dari takdir Emir Harith yang menuntut. Tapi kau menolak! Kau menghina mereka!” teriak Zahir.
“Dan apa yang kau korbankan untuk ‘keselamatanku’, Abī?” balas Yasmeen, suaranya menampar. Ia mendorong dokumen perjanjian Oasis Azhar ke seberang meja. “Apakah keselamatan seorang gadis kecil seharga Oasis Azhar? Seharga mata air yang memberi kehidupan kepada sepuluh ribu rakyat Nayyirah?”
Zahir melirik sekilas pada dokumen itu, matanya melebar sejenak, lalu dia memalingkan muka, berakting seolah ia tak mengenalnya.
“Itu kebohongan! Fitnah! Aku tidak pernah menyetujui janji konyol seperti itu!” bentak Zahir. Tapi kemudian matanya bertemu dengan tatapan beku Wazir Khalid dan Tariq, dan pertahanannya goyah.
“Tentu saja kau setuju,” ujar Yasmeen, menyambung pertahanan Zahir. “Al-Sharif Al-Mustafa tidak mungkin membuat klaim seperti itu tanpa bukti yang kau berikan sendiri, Abī. Janji penjualan itu dibuat kepada Al-Muntasir, sekutu Permaisuri Hazarah, agar mereka melindungimu dari konsekuensi penyelewengan dana Emirat, yang aku yakin ada di dokumen lain di bawah tumpukan ini.”
Yasmeen menjeda. Ia melihat betapa pucatnya wajah Zahir. Ini bukan lagi drama; ini adalah kehancuran dirinya.
“Aku hanya ingin melindungi Nayyirah dari murka Sultan!” Zahir berteriak histeris, suaranya pecah. “Kau hanya seorang gadis kecil, Yasmeen! Apa yang kau tahu tentang geopolitik? Jika Sultan murka, dia akan menghapus Nayyirah dari peta. Aku hanya menukarkan Oasis yang terpencil dengan kehidupan seluruh Emirat! Itu adalah pilihan yang pragmatis!”
“Pragmatis?” Yasmeen tertawa, tawa kecil yang terdengar sangat menyeramkan di ruangan yang dipenuhi buku. “Kau menjual tulang punggung kami agar kau bisa hidup mewah dari sisa-sisa yang tidak disentuh Kekaisaran! Jangan sebut dirimu ayah! Ayah tidak menjual masa depan putrinya hanya agar dirinya terhindar dari konsekuensi kesalahan yang ia buat!”
Wazir Khalid dan Tariq hanya berdiri diam, wajah mereka muram, kini benar-benar melihat kejahatan Zahir tanpa topeng.
“Aku telah melahirkanmu, Yasmeen!” desis Zahir, seluruh kepura-puraannya hilang. “Aku suami ibumu! Kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini!”
Yasmeen menyilangkan tangan di dadanya. “Ayahku telah mati bersamaku di kehidupan lalu, Sayyid Zahir. Dan suami ibuku... ah, suami ibuku adalah seorang pengecut yang meracuni anaknya sendiri dan menjual negerinya demi beberapa keping perak.”
Tariq dan Khalid tersentak mendengar ucapan kejam itu, namun Yasmeen tidak berkedip.
“Penjara rumah tangga akan dilanjutkan,” perintah Yasmeen, suaranya sekarang terdengar final. “Khalid, segera siapkan surat formal untuk Al-Sharif Al-Mustafa. Tolak permintaannya. Katakan padanya bahwa perjanjian yang ditandatangani oleh Sayyid Zahir tidak memiliki dasar hukum dan tidak akan diakui oleh Emirat Nayyirah.”
“Jika kau menolak,” raung Zahir, wajahnya membiru karena marah dan keputusasaan, “Mereka akan mengambilnya secara paksa! Kau akan melihat Nayyirah jatuh dan airnya berhenti mengalir, dan itu semua karena kau!”
Yasmeen menatap Zahir untuk terakhir kalinya, tatapan yang lebih dingin dari musim dingin di gurun. “Aku tidak akan membiarkanmu menang. Ambil dia, Tariq. Dan pastikan dia tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk Faris.”
Saat Zahir diseret keluar, melolong dan berteriak, Yasmeen merosot kembali ke kursinya, rasa jijik dan kelelahan memenuhi jiwanya. Konflik dengan Zahir bukan lagi pertempuran emosional, melainkan perang pemusnahan yang bersih.
Sore Hari.
Yasmeen telah menyelesaikan penolakan formal untuk Al-Sharif Al-Mustafa dan mengurus surat perintah yang diperlukan untuk pengasingan Zahir. Namun, sebelum surat-surat itu disegel, ia mengambil langkah penting berikutnya: ia mengirim pesan rahasia kepada Kabilah Al-Jarrah.
Ia menyuruh Umm Shalimah membawa pesan itu secara rahasia. Pesan itu hanya terdiri dari beberapa baris singkat, merujuk pada kode kesetiaan lama: Panah telah dipatahkan, dan Air Terjun Merah sedang menanti. Segera datang.
Kabilah Al-Jarrah adalah kekuatan militer di perbatasan utara, pikirnya. Jika Mustafa mencoba mengambil Oasis Azhar secara militer, Nayyirah membutuhkan pasukan yang loyal pada Jaddī.
Baru saja Yasmeen menyelesaikan semua dokumen di Ruang Perpustakaan dan merasakan secuil kelegaan karena telah menangkis pukulan terberat Zahir, pintu ruangan terbuka dengan suara hantaman keras.
Khalī Tariq masuk, bukan dengan langkah militer yang terkontrol, melainkan terhuyung. Wajahnya yang biasanya tegas kini panik total, keringat dingin membasahi pelipisnya.
“Sayyidah! Ya Tuhan, ini lebih buruk dari yang kita duga!”
“Ada apa, khali? Bicara yang jelas!” tuntut Yasmeen.
“Faris! Pelayan pribadi Zahir… dia tidak ada! Dia sudah hilang dari kamarnya sejak pagi,” Tariq terengah-engah, mencoba menguasai napasnya. “Dan itu bukan yang terburuk. Kami menemukan ini.”
Tariq menghampiri meja dan melemparkan secarik kertas kecil yang terlipat cepat. Kertas itu ditulisi dalam sandi rahasia yang biasa digunakan para penjaga. Tulisan itu berbunyi: Tugas diselesaikan. Menuju ke utara, untuk pengamanan aset.
Tariq menatap Yasmeen dengan mata membelalak. “Kami menyelidikinya. Pelayan di gerbang utara melihatnya pergi terburu-buru, membawa bekal makanan. Faris, dia akan pergi ke Oasis Azhar malam ini!”